• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Minggu, 17 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi Surat

Aku dan Yogyakarta: Orang Kalah yang Berjubah Istimewa

Muhammad Alfaridzi by Muhammad Alfaridzi
11 November 2020
in Surat
0
Gambar Artikel Aku dan Yogyakarta: Orang Kalah Berjubah Istimewa

Sumber Gambar : https://trendland.com/editorial-illustration-by-spiros-halaris/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

“….Bingung.” Ya, memang bingung yang sungguh membingungkan.

Kata kerja sekaligus kata sifat itu yang menghinggap  pada diri dan ingatanku saat ini. Seduhan kopi yang pekat dan berbatang-batang kretek tetap setia menemani kebingunganku. Entah pukul berapa sekarang? Yang jelas, keheningan malam sudah hinggap pada purnama; kebisingan sudah lepas dari gerak-gerik manusia. Tetapi aku−khususnya pikiran dan perasaanku−masih enggan berdiam diri. Memang pada dasarnya tak tahu diri.

Mereka−pikiran dan perasaan−bersatu menggaungkan mosi tidak mau diam. Pikiranku berjalan ke sana kemari mencari arah; perasaanku sedang menyusuri hutan rimba tanpa peta; sedangkan bibir dan tanganku menyibukkan diri dengan menghisap kretek dan secangkir kopi.

“Ah… Pahit sekali.” Gumamku senewen.

Ampas kopi yang kuseruput itu berhasil membuatku mengamini akan salah satu kepahitan dunia ini. “Ampas ini saja pahit rasanya, apalagi nasibku dan genealoginya?” 

Ocehan dan sumpah serapah mulai keluar dari mulut yang kebingungan ini. Sebab tamu yang tak diundang tiba-tiba saja memasuki kesunyian ini. Dia adalah: kisah, suka, duka, cinta, dan keterlenaan yang senyap. Lagi-lagi, tamu itu ingin kulahap sekejap saja dengan menutup mata, tidur pulas dan mimpi yang puas. Karena apa? Karena, bagiku, tidur adalah bentuk try out kematian yang singkat dan nikmat. 

 “Oh…. Tidak!” 

Aku gagal mengkudeta kenyamanan bantal dan kasur yang sekonyong-konyong kehilangan wibawa. Baru saja kuingat, bahwa kopi pahit yang kuminum berhasil memenangkan perebutan jatah kantukku malam ini. Sialan!

“Baiklah. Sudah terlanjur menyala. Akan kupadamkan malam ini juga semuanya: pikiran, kenangan, begitu juga perasaan yang kering kerontang meradang…”

Aku mulai lagi bab “bingung” dan segala tetek-bengeknya. Segudang solusi harus turut kupersiapkan untuk menjadi martir. Syukurlah, kretek masih merindu api. Dengan begitu asap-asap itu harus tetap menjadi kawanku melucuti kebingungan ini. 

Kretek sudah mengeluarkan asap dari hembusan nafasku.  Pertanda bahwa pernafasanku akan siap sedia diajak berselancar ke rimba yang penuh benang kusut. 

“Kita mulai!” Seruku geram.

Pikiranku sangat penuh dengan benang kusut kisah kehidupan, seakan tak tau lagi mana ujung dan akhir semua kekusutan itu. Ingatan-ingatanku berusaha mencari ujung dan pangkal dari semua ini, kuajak pula tanganku bekerja dengan memegang kretek di jemari sebelah kanan. Abu bekas bakaran api kretek itu telah jatuh ke tanah sedikit demi sedikit, tetapi pencarianku akan ujung dan pangkal semua ini belum juga bersua muaranya.

Sambil kupejamkan mata,  kuhisap dalam-dalam lagi kretek itu,  “Ah…. Ini semua masalah cinta!” 

Bukan ujung atau pangkal benang kusut tadi yang kudapat, justru rangkuman kekusutan itulah yang menjadikannya tepat. Ya, sungguh banal. Ternyata ini semua terangkum dalam kamus kehidupanku yang terdapat pada bab cinta, halaman rindu, dan paragraf kekosongan. Ternyata bukan tentang cinta kisah kasih di sekolah saja. Tapi segala aspek cinta yang menyelubungi kehidupanku

*** 

Yogyakarta, begitu sebutan daerah yang, katanya, amat istimewa ini. Terkhusus bagi para pelancong dan para pejalan yang memiliki uang. Seakan istimewanya hanya dihargai dengan belanja dan memanjakan mata saja. Padahal tidak cukup itu! Bagiku Yogyakarta bukan kota yang istimewa, jika ia hanya sekadar menguras saldo dengan belanja dan memanjakan para penikmatnya dengan keindahan wisatanya. Sekali lagi, keistimewaan Jogja melampaui itu.

“Sialan! Kenapa malah meromantisasi keistimewaan kota ini? keistimewaan diriku saja tak jelas rimbanya. Bukankah setiap makhluk ciptaan Tuhan memiliki keistimewaan masing-masing?”

Hampir satu tahun plus satu semester diriku menjajaki kota istimewa ini, namun belum kutemui keistimewaannya−untuk aku pribadi.

“Sudah…sudah…. Fokuslah, Bung!” Aku kembali bangkit dari lamunan sia-sia.

Sekarang mari kita kembali ke rangkuman benang merah yang kutemui tadi. Sebut saja: “cinta.” Bagiku, cinta hanya menghendaki satu kata kerja, yaitu, menerima. Menerima apapun yang akan terjadi pada diriku, dirinya, dan diri kita. Mengapa demikian? Sebab telah kutelanjangi serba-serbi “menerima” itu dalam kisah cintaku, meskipun hasilnya menjadikanku bingung stadium akhir.

Rasa-rasanya berjalannya pemerintahan Pak Dhe Jokowi ini memiliki satu titik temu dengan perjalanan hidupku. Titik temu itu adalah kebingungan yang terus membabi buta. Jika pemerintahan rezim ini menemukan kebingungan dengan UU Cipta Kerja dengan respon pembangkangan sipil serta aksi demonstrasi di mana-mana, maka aku mendapati kebingungan dengan aksi unjuk rasa pikiran dan perasaan yang menuntut untuk disinkronkan. Lucu memang.

 “Rumit. Ruwet. Mbulet, memang hidup ini.”

Kalau ditelusuri dari ‘teori’ yang terangkum dalam benang merah tadi, aku menemukan titik sentralnya, yaitu: “kekalahan.” Aku adalah seorang pendosa sekaligus pendoa yang takluk oleh cinta. Takluk setakluk-takluknya, sekalah-kalahnya. Menurut pandangan subjektif-ku, cinta adalah bagaimana kita bisa menerima apa yang terjadi. Namun apa yang terjadi? Aku menjumpai kerumitan dalam menerima begitu saja apa yang terjadi. Pasrah? Hanya sebabkan gelisah yang tak mengenal kata sudah.

Kebingungan yang telah mengkristal di benakku itu benar-benar mujarab dalam menghancur-leburkan apa yang telah dibangun oleh cinta. Tak perlu palu, cangkul, dan buldoser untuk menghancurkannya. Cukup satu benturan lembut dari kata “perpisahan”-lah yang berhasil menghancur-leburkan semua.

Sejenak, kuambil jeda dengan hisapan kretek, “Pecahkan saja gelasnya! Biar rame.” Begitu ujar si Cinta. Malam ini terasa sungguh berisik dengan carut-marutku tentang cinta, yang membuatku bingung.  Aku tak tahu lagi, harus bagaimana memuntahkan semua rasa yang telah kuterima. Apakah dengan rasa sedih, resah, gembira, atau bahkan tertawa terbahak-bahak laiknya orang menonton Sule dan Andre di Opera Van Java. Sayangnya OVJ kini telah berpulang dari TV kita.

Aku tak tahu lagi, harus bagaimana? Bingung itu seakan-akan menyeretku pada sosok Zainuddin dalam kisah legendaris karya Buya Hamka.

“…Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati. Dua bulan saya tergeletak di tempat tidur. Kau jenguk saya dalam sakitku. Menunjukkan bahawa tangan kau telah berinang. Bahawa kau telah jadi kepunyaan orang lain. Siapakah di antara kita yang kejam, Hayati?” Begitu yang kuingat dari lantunan hati Zainuddin yang patah dan pasrah. 

Namun aku bukan dan tak akan menjadi Zainudddin seutuhnya . Aku hanya orang bingung yang kalah dalam cinta, cinta yang kudamba dan kuterka. Zainuddin lebih memilih menulis dan berkarya dalam menerima kekalahan dalam cinta. Sedangkan aku? Hanya memilih untuk menyelami samudra “bingung”. Sebab tak tahu lagi harus bagaimana bersikap sebagai orang yang kalah dan patah.

Namun, setelah berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, ijtihadku menyelami rimba kebingungan dan kekalahan ini mulai menemukan hilirnya. Berhulu dari kekalahan, patah hati, dan kegagalan cinta, kunaiki kapal yang bernama Jogja. Kutemukan hilirnya yang istimewa: Jogja punya keindahan dan romantisme istimewa rupanya, terlebih malamnya yang selalu membuka pintu untuk orang-orang kalah, sepertiku.[]

Tags: bingungcintaistimewapatah hatiyogyakarta
ShareTweetSendShare
Previous Post

Sepasang Mata

Next Post

Romantisme Kopi Sachet Angkringan

Muhammad Alfaridzi

Muhammad Alfaridzi

Pemuda yang belajar menulis dari kekalahannya. Dapat disapa di Instagram @farid.bung

Artikel Terkait

Rumit Melilit Silit
Surat

Rumit Melilit Silit

24 Januari 2022

Lagi-lagi begini lagi, Dul. Quotes, maqolah, atau kata-kata mutiara itu akhirnya ya cuma jadi pajangan di beranda media sosial. Entah...

Pencarian di Sudut Rindu
Surat

Pencarian di Sudut Rindu

1 Desember 2021

"Apa kabar?" "Sehat kan?" "Bagaimana keadaanmu?" "Apa kau masih ingat denganku?" Bernada sekali kalimat itu, intonasinya tepat saat saya mengucapkannya...

Sambatologi

Jalan Sunyi dengan Ribuan Bunyi

24 Oktober 2021

Setelah perhelatan panjang bersama dengan soal-soal ujian fakultas yang entah kapan berhasil membuat saya sedikit berkualitas, saya sempatkan waktu untuk...

Hadir itu Bukan Kamu
Surat

Hadir itu Bukan Kamu

25 Agustus 2021

Hai, aku tidak peduli jika tulisan ini dianggap bodoh oleh orang lain, juga tidak cemas kalau tulisan ini tak pernah...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Tut Wuri Golek Rai

Tut Wuri Golek Rai

25 November 2020
Konsep Cahaya Menurut Suhrawardi dalam Epistimologi Ishraqi (Tasawuf Falsafi)

Konsep Cahaya Menurut Suhrawardi dalam Epistimologi Ishraqi (Tasawuf Falsafi)

20 April 2022
Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

Menguak Kebodohanmu Melalui Rekomendasi Netflix-ku

29 Maret 2023
Pemimpin yang Ibda’ Binafsik

Pemimpin yang Ibda’ Binafsik

19 Juni 2021
Puisi yang Mengantarkan Kematian

Puisi yang Mengantarkan Kematian

25 Februari 2021
Takbiran Buruh, Hardiknas Ki Hadjar Dewantara dan Lebaran Pascapandemi

Takbiran Buruh, Hardiknas Ki Hadjar Dewantara dan Lebaran Pascapandemi

2 Mei 2022
Perbedaan Sikap dan Budaya Orang Jerman dan Indonesia

Perbedaan Sikap dan Budaya Orang Jerman dan Indonesia

24 Maret 2022
Gambar Artikel Sali dan Suli.

Sali dan Suli

6 November 2020
Panjang Sama Panjang

Panjang Sama Panjang

17 Februari 2021
Yang Mengelucak dari Lembar-Lembar Buku Pepak

Yang Mengelucak dari Lembar-Lembar Buku Pepak

18 Februari 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.