“….Bingung.” Ya, memang bingung yang sungguh membingungkan.
Kata kerja sekaligus kata sifat itu yang menghinggap pada diri dan ingatanku saat ini. Seduhan kopi yang pekat dan berbatang-batang kretek tetap setia menemani kebingunganku. Entah pukul berapa sekarang? Yang jelas, keheningan malam sudah hinggap pada purnama; kebisingan sudah lepas dari gerak-gerik manusia. Tetapi aku−khususnya pikiran dan perasaanku−masih enggan berdiam diri. Memang pada dasarnya tak tahu diri.
Mereka−pikiran dan perasaan−bersatu menggaungkan mosi tidak mau diam. Pikiranku berjalan ke sana kemari mencari arah; perasaanku sedang menyusuri hutan rimba tanpa peta; sedangkan bibir dan tanganku menyibukkan diri dengan menghisap kretek dan secangkir kopi.
“Ah… Pahit sekali.” Gumamku senewen.
Ampas kopi yang kuseruput itu berhasil membuatku mengamini akan salah satu kepahitan dunia ini. “Ampas ini saja pahit rasanya, apalagi nasibku dan genealoginya?”
Ocehan dan sumpah serapah mulai keluar dari mulut yang kebingungan ini. Sebab tamu yang tak diundang tiba-tiba saja memasuki kesunyian ini. Dia adalah: kisah, suka, duka, cinta, dan keterlenaan yang senyap. Lagi-lagi, tamu itu ingin kulahap sekejap saja dengan menutup mata, tidur pulas dan mimpi yang puas. Karena apa? Karena, bagiku, tidur adalah bentuk try out kematian yang singkat dan nikmat.
“Oh…. Tidak!”
Aku gagal mengkudeta kenyamanan bantal dan kasur yang sekonyong-konyong kehilangan wibawa. Baru saja kuingat, bahwa kopi pahit yang kuminum berhasil memenangkan perebutan jatah kantukku malam ini. Sialan!
“Baiklah. Sudah terlanjur menyala. Akan kupadamkan malam ini juga semuanya: pikiran, kenangan, begitu juga perasaan yang kering kerontang meradang…”
Aku mulai lagi bab “bingung” dan segala tetek-bengeknya. Segudang solusi harus turut kupersiapkan untuk menjadi martir. Syukurlah, kretek masih merindu api. Dengan begitu asap-asap itu harus tetap menjadi kawanku melucuti kebingungan ini.
Kretek sudah mengeluarkan asap dari hembusan nafasku. Pertanda bahwa pernafasanku akan siap sedia diajak berselancar ke rimba yang penuh benang kusut.
“Kita mulai!” Seruku geram.
Pikiranku sangat penuh dengan benang kusut kisah kehidupan, seakan tak tau lagi mana ujung dan akhir semua kekusutan itu. Ingatan-ingatanku berusaha mencari ujung dan pangkal dari semua ini, kuajak pula tanganku bekerja dengan memegang kretek di jemari sebelah kanan. Abu bekas bakaran api kretek itu telah jatuh ke tanah sedikit demi sedikit, tetapi pencarianku akan ujung dan pangkal semua ini belum juga bersua muaranya.
Sambil kupejamkan mata, kuhisap dalam-dalam lagi kretek itu, “Ah…. Ini semua masalah cinta!”
Bukan ujung atau pangkal benang kusut tadi yang kudapat, justru rangkuman kekusutan itulah yang menjadikannya tepat. Ya, sungguh banal. Ternyata ini semua terangkum dalam kamus kehidupanku yang terdapat pada bab cinta, halaman rindu, dan paragraf kekosongan. Ternyata bukan tentang cinta kisah kasih di sekolah saja. Tapi segala aspek cinta yang menyelubungi kehidupanku
***
Yogyakarta, begitu sebutan daerah yang, katanya, amat istimewa ini. Terkhusus bagi para pelancong dan para pejalan yang memiliki uang. Seakan istimewanya hanya dihargai dengan belanja dan memanjakan mata saja. Padahal tidak cukup itu! Bagiku Yogyakarta bukan kota yang istimewa, jika ia hanya sekadar menguras saldo dengan belanja dan memanjakan para penikmatnya dengan keindahan wisatanya. Sekali lagi, keistimewaan Jogja melampaui itu.
“Sialan! Kenapa malah meromantisasi keistimewaan kota ini? keistimewaan diriku saja tak jelas rimbanya. Bukankah setiap makhluk ciptaan Tuhan memiliki keistimewaan masing-masing?”
Hampir satu tahun plus satu semester diriku menjajaki kota istimewa ini, namun belum kutemui keistimewaannya−untuk aku pribadi.
“Sudah…sudah…. Fokuslah, Bung!” Aku kembali bangkit dari lamunan sia-sia.
Sekarang mari kita kembali ke rangkuman benang merah yang kutemui tadi. Sebut saja: “cinta.” Bagiku, cinta hanya menghendaki satu kata kerja, yaitu, menerima. Menerima apapun yang akan terjadi pada diriku, dirinya, dan diri kita. Mengapa demikian? Sebab telah kutelanjangi serba-serbi “menerima” itu dalam kisah cintaku, meskipun hasilnya menjadikanku bingung stadium akhir.
Rasa-rasanya berjalannya pemerintahan Pak Dhe Jokowi ini memiliki satu titik temu dengan perjalanan hidupku. Titik temu itu adalah kebingungan yang terus membabi buta. Jika pemerintahan rezim ini menemukan kebingungan dengan UU Cipta Kerja dengan respon pembangkangan sipil serta aksi demonstrasi di mana-mana, maka aku mendapati kebingungan dengan aksi unjuk rasa pikiran dan perasaan yang menuntut untuk disinkronkan. Lucu memang.
“Rumit. Ruwet. Mbulet, memang hidup ini.”
Kalau ditelusuri dari ‘teori’ yang terangkum dalam benang merah tadi, aku menemukan titik sentralnya, yaitu: “kekalahan.” Aku adalah seorang pendosa sekaligus pendoa yang takluk oleh cinta. Takluk setakluk-takluknya, sekalah-kalahnya. Menurut pandangan subjektif-ku, cinta adalah bagaimana kita bisa menerima apa yang terjadi. Namun apa yang terjadi? Aku menjumpai kerumitan dalam menerima begitu saja apa yang terjadi. Pasrah? Hanya sebabkan gelisah yang tak mengenal kata sudah.
Kebingungan yang telah mengkristal di benakku itu benar-benar mujarab dalam menghancur-leburkan apa yang telah dibangun oleh cinta. Tak perlu palu, cangkul, dan buldoser untuk menghancurkannya. Cukup satu benturan lembut dari kata “perpisahan”-lah yang berhasil menghancur-leburkan semua.
Sejenak, kuambil jeda dengan hisapan kretek, “Pecahkan saja gelasnya! Biar rame.” Begitu ujar si Cinta. Malam ini terasa sungguh berisik dengan carut-marutku tentang cinta, yang membuatku bingung. Aku tak tahu lagi, harus bagaimana memuntahkan semua rasa yang telah kuterima. Apakah dengan rasa sedih, resah, gembira, atau bahkan tertawa terbahak-bahak laiknya orang menonton Sule dan Andre di Opera Van Java. Sayangnya OVJ kini telah berpulang dari TV kita.
Aku tak tahu lagi, harus bagaimana? Bingung itu seakan-akan menyeretku pada sosok Zainuddin dalam kisah legendaris karya Buya Hamka.
“…Hampir saya mati menanggung cinta, Hayati. Dua bulan saya tergeletak di tempat tidur. Kau jenguk saya dalam sakitku. Menunjukkan bahawa tangan kau telah berinang. Bahawa kau telah jadi kepunyaan orang lain. Siapakah di antara kita yang kejam, Hayati?” Begitu yang kuingat dari lantunan hati Zainuddin yang patah dan pasrah.
Namun aku bukan dan tak akan menjadi Zainudddin seutuhnya . Aku hanya orang bingung yang kalah dalam cinta, cinta yang kudamba dan kuterka. Zainuddin lebih memilih menulis dan berkarya dalam menerima kekalahan dalam cinta. Sedangkan aku? Hanya memilih untuk menyelami samudra “bingung”. Sebab tak tahu lagi harus bagaimana bersikap sebagai orang yang kalah dan patah.
Namun, setelah berhari-hari, berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun, ijtihadku menyelami rimba kebingungan dan kekalahan ini mulai menemukan hilirnya. Berhulu dari kekalahan, patah hati, dan kegagalan cinta, kunaiki kapal yang bernama Jogja. Kutemukan hilirnya yang istimewa: Jogja punya keindahan dan romantisme istimewa rupanya, terlebih malamnya yang selalu membuka pintu untuk orang-orang kalah, sepertiku.[]