Kemarin tanggal 1 Mei adalah Hari Buruh Internasional, yang kebetulan hari itu pula menjadi malam takbiran umat Muslim diselenggarakan. Kalimat takbir menggema, dengan mikrofon di mana-mana, bersahutan dengan suara sirine dan orang-orang bertakbir keliling setelah dua tahun sempat ditiadakan. Hari Raya. Hari bermain-main dan bersuka-suka.
Entah apakah itu mengganggu umat agama lain atau tidak, namun sebagai suatu perayaan, setiap agama memiliki hari rayanya masing-masing. Dan kali ini giliran umat Muslim yang menjalani pesta hari raya lebaran.
Setelah melakoni ‘bulan pendidikan’ bernama Ramadhan, umat Muslim—yang juga banyak menjadi buruh di penjuru muka bumi—mereka pada akhirnya bisa bersorak sorai.
Di Indonesia sendiri, ada yang sempat ikut menggelar aksi tahunan menyuarakan hak-hak mereka mulai dari tuntutan agar UU Ketenagakerjaan direvisi karena tidak membela pekerja, melainkan investor dan pengusaha. Ada pula yang merayakannya dengan berkeliling menabuh bedug, meneriakkan takbir di atas mobil pikep L300.
Memandang panorama tersebut dan irisan waktu yang kebetulan ini, saya tidak ingin kehilangan momen. Maka di sinilah saya akan merefleksikan sejumlah poin tentang momentum Hari Buruh 1 Mei, Hardiknas 2 Mei dan Lebaran Idul Fitri di tahun ini.
Hampir Semua Kita Adalah Buruh
“Dalam sehelai benang yang terkandung di bajumu, ada jejak keringat dari ratusan manusia yang tak kau kenal dan sedang berjuang demi kebutuhan keluarga mereka. Mulai dari buruh pemanen kapas, petani, peternak, sopir, pedagang, admin, sales, bakul nasi yang rutin kau utangi, dan banyak lagi.” Kira-kira beginilah saya pernah menulis di Twitter dahulu.
Berkaca dari situ, lantas kenapa kita begitu pede untuk merasa mandiri? Padahal kemandirian atau independensi mutlak itu tidak ada, kecuali mitos. Sementara di masa sekarang, teramat melimpah corak pendidikan dan parenting kita yang menuntut seseorang agar mandiri—yang sekalipun pada lapis makna tertentu bisa jadi baik—namun pada lapis sisi yang lain justru berdampak buruk.
Salah satu contoh dampak buruk doktrin kemandirian tersebut adalah ketidakmampuan individu dalam menakar dan menghargai jasa orang lain—yang sangat mungkin tidak disadarinya. Kadang seseorang merasa mandiri, bisa mengurus KTP, SIM, nyuci pakaian, masak, sampai daftar kuliah dan hal lainnya dengan dirinya sendiri. Namun ia lupa, bahwa makanan yang ia beli, pakaian yang ia kenakan, pasti melibatkan multi-peran dari berbagai profesi manusia.
Kesadaran seperti ini amat jarang disuguhkan di pendidikan usia dini kita, apalagi di ruang publik. Imbasnya, jangan sambat ketika bermunculan generasi yang bersikap perlente, congkak, angkuh sambil merasa mulia berlebihan dengan profesi tertentu dan memandang rendah profesi orang lain. Seolah dia yang paling wah, sedangkan yang lainnya wlek!
Alhasil, dokter muda merasa mulia berlebihan, sambil menganggap tukang rongsokan sebagai kaum rendahan. Mahasiswa pascasarjana merasa punya derajat lebih tinggi ketimbang pasukan penyapu jalanan—yang justru setiap hari terpapar panas matahari dan membuat jalan raya yang kita lalui menjadi resik. Sisanya, silakan tarik contoh sendiri.
Toh, padahal hampir semua kita adalah buruh. Sama-sama manusia yang berjuang demi hidup. Sama-sama pekerja, apa pun bidangnya. Sama-sama pernah netek ke emak dan merangkak di atas bumi. Tapi ilusi kemuliaan sering kali menipu kita. Meniupkan gelembung ego personal sehingga membenihkan generasi yang bermental balon: mengembang ketika dipuji, meletus ketika ditusuk caci-maki.
Toh, padahal hampir semua kita adalah buruh. Seperti sindir Prof. Ariel Heryanto suatu kali di unggahannya: “Selamat Hari Buruh, juga untuk buruh yang tak suka disebut buruh dan lebih nyaman disebut pegawai, dosen, pilot, perawat, jurnalis, artis, dan sebagainya.”
Cita-cita Ki Hadjar Dewantara vs Budaya Koruptif Kita
Sejak ratusan tahun silam, para elite Indonesia sebelum merdeka telah terbukti banyak berlaku koruptif sejak masa penjajahan. Daendels, yang dalam beberapa literatur disebut sebagai biang kerok kerja paksa pembangunan Anyer-Panarukan, menjadi salah satu saksi budaya korupsi yang dilakukan para bupati masa Hindia-Belanda itu–dengan bukti cepat habisnya dana sekian gulden tapi pembangunan belum selesai dan para pekerja tidak sejahtera, malah tersiksa.
Walau masih simpang-siur dan debatable dalam referensi historis—sehingga butuh pencermatan ulang—namun jejak ‘pembangunanisme’ infrastruktur dan budaya korupsi agaknya sudah terlanjur mbalung-sumsum di bangsa kita, terutama di kalangan elite. Darinya lahir eksploitasi manusia, penindasan, kematian, dan aneka bentuk ketidakadilan struktural yang rapi.
Sampai di era digital sekarang, berita termutakhir saja sudah menampakkan hal yang tak kalah miris. Krisis pandemi tidak menghentikan perilaku koruptif para elite politik di negeri ini: mulai dari dana Bansos oleh Juliari Batubara dkk. sampai terbaru kasus Minyak Goreng di Kemendagri plus bromocorah-nya. Tidak aneh jika lembaga pencatat data menilai tren korupsi meningkat 5 tahun terakhir ini dan memberi pukulan kerugian yang besar.
Menengarai hal tersebut, agaknya cita-cita pendidikan Ki Hadjar Dewantara sejak pra-kemerdekaan alih-alih semakin dekat, namun justru semakin menjauh. Bahwa pendidikan yang secara prinsipil harusnya memajukan individu melingkupi multiaspek agar mencapai keharmonisan hidup dengan alam dan masyarakat, kini hanya menjadi slogan semata.
Jargon “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” (di depan memberi teladan, di tengah mengobarkan semangat berkarya, di belakang mengayomi) hanya berakhir sebagai abang-abang lambe. Alias basa-basi politis di setiap perayaan hari besar nasional.
Jadi, sekalipun Hardiknas kali ini, 2 Mei (dari tanggal lahir Ki Hadjar) bertepatan dengan momentum lebaran, itu sama sekali tidak menjamin adanya peningkatan kualitas pendidikan kita, terutama dalam memberangus budaya korupsi. Tapi dalam hal tersebut, saya tidak bermaksud mengajak pembaca untuk pesimistis di hari raya.
Hanya saja, jika pola demikian masih dipertahankan, sambil enggan menerima perubahan pola-metode-pendekatan yang baru sesuai zaman, maka jangan berharap terlalu banyak. Juga anda tidak perlu repot untuk menghabiskan tenaga mengeluh soal generasi yang makin hari makin susah anda atur.
Jangan meradang kalau anak muda, kami, makin nglunjak, rebellious, dan tidak patuh pada para pendahulunya—dengan pelbagai ‘mitologi adab sopan santun’, ‘narasi keberkahan’, dan ‘hierarki penghormatan’ hasil karangan mereka sendiri untuk mempertahankan otoritasnya dan mendapat ketundukan dari orang lain, terutama dari yang lebih muda.
Toh, tidak ada yang kami sorot dari perilaku pak-bapak dan bu-ibu yang sudah tua-tua, kecuali kecil. Jauh lebih banyak teladan buruk dan merusak lingkungan, ketimbang yang tidak. So, maaf-maaf saja.
Lebaran Bisu
Terlepas dari semua itu, saya yang masih muda dan mentah ini tentu tidak pernah bisa memilih lahir di zaman apa dan dari rahim siapa. Sebagaimana juga bapak-bapak dan ibu-ibu generasi tua yang kerap menyalahkan kami karena dampak moral panic dan pergeseran zaman.
Maka dari itu, saya menghaturkan ucapan maaf atas sikap kepedasan mulut saya, kritisisme jempol jemari saya, dan tindak tanduk yang mungkin sengaja saya buat untuk membikin kalian merasa tak jenak dan jengkel. Apalagi yang tidak saya sengaja. Meski begitu, tetap, saya ingin mengucapkan hari lebaran dan mohon maaf lahir batin.
Dalam perayaan yang mungkin ‘semu’ ini—yang anak muda rasa-rasanya sedikit malas untuk berkumpul dengan keluarga besar dan tetangga beserta pusparagam pertanyaan template yang membagongkan (sekalipun padahal bisa direspon biasa saja)—saya sebagai anak muda berlumur kesalahan dan kegagalan masih berharap semoga ke depannya, pasca-pandemi ini, momen lebaran bukan bermakna pelampiasan berahi ekonomi-politik yang justru makin kemaruk.
Bumi sudah makin rusak. Meski jika kelak setelah ia hancur dan manusia ikut musnah, bumi mungkin akan bisa bertahan dan menyembuhkan diri lagi. Namun sebagai individu yang juga masih punya ego, saya tetap ingin sok-sokan menjaganya, demi umat manusia sendiri, demi kami sendiri, atau demi panggilan insting survival diri saya sendiri. Atasnya, saya mengajak para pembaca untuk juga mengharapkannya.
Selamat berlebaran. Lebaran yang bisu, entah karena sudah terbiasa sunyi sepi di ruang nyata, atau karena terlanjur betah ramai di dunia maya. Sehat selalu![]