Perasaan yang kian lama terpendam kadang menyisakan kesedihan batin yang tak berkesudahan. Memendamnya tentu bukan tanpa tujuan. I’m okay, adalah kalimat yang bisa menjadi salah satu tujuan mengapa terlihat baik itu baik untuk mengindahkan keadaan.
Semua orang pasti pernah berada di titik terendahnya masing-masing. Dan di setiap titik dari masing-masing manusia ini pasti memiliki perbedaan. Entah berbeda sakitnya, berbeda jangka waktunya, hingga berbeda penyikapannya.
“Kamu kenapa?”
Pertanyaan yang akan muncul ketika kita berada pada kondisi yang terlihat tidak seperti biasanya. Mendengar pertanyaan itu tak perlu pikir panjang, “Aku nggak apa-apa” akan selalu menjadi jawaban. Tentu, dengan dukungan lipatan sabit pada bibir untuk mendukung kebohongan manis kita ini.
Ketika I’m okay ini menjadi tujuan menutupi kesedihan, maka kebahagiaan hanya datang untuk mampir saja tanpa maksud menetap.
Pernah mengalami keadaan di mana tiba-tiba nangis tanpa sebab apapun? Itulah bentuk lelahnya dirimu atas pemaksaan terlihat baik yang kamu lakukan. Emosi yang timbul pada diri tidak untuk ditutupi, kawan. Emosi hadir untuk disikapi.
Mungkin dengan kita merasa baik, untuk sementara waktu itu akan baik. Namun, tidak 100% baik, bukan? Misal kita sudah merasa bahagia saat ini, itu pun hanya akan menyentuh angka 99% dari ruang kebahagiaan kita, 1%-nya ke mana? 1% ini lah yang kalian tumpuk bertahun-tahun dan meluap di saat yang kalian sendiri tak pernah merencanakannya. Ya, jadilah nangis tanpa sebab seperti itu.
Jangan mengharap bahwa dengan menutupi segalanya, maka segalanya akan tertutup begitu saja. Mungkin benar kau berhasil menutupinya dari khalayak luar. Namun, bagaimana dengan dirimu sendiri? Bukankah sudah terlampau sering kita membohongi diri kita sendiri? Lalu, mau sampai kapan?
Berani berkata “I’m not okay” tidak menjadikan kita menjadi manusia yang lemah. Kejujuran akan membawa kita akan kesadaran sejati. Bahwa dengan jujur, kita sadar atas perasaan yang timbul dari gejolak hati. Dengan jujur, kita tak lagi sibuk berpura-pura terlihat baik untuk menjadi baik. Just be yourself then you will be happy.
Yang hidup dalam keluarga broken home, tidak menjadikannya lebih rendah dari mereka yang hidup dan punya keluarga yang utuh. Yang masih sendiri, tidak menjadikannya lebih rendah dari mereka yang sudah punya pasangan. Yang kehilangan, tidak menjadikannya lebih rendah dari mereka yang masih memiliki. Yang berjuang dengan mental illness-nya, tidak menjadikannya lebih rendah dari yang sehat lahir batinnya.
Hidup bukan perihal perbandingan. Tidak ada tingkatan kesedihan atau kebahagiaan. Kebaikan atau keburukan. Hidup adalah puncak dari penerimaan. Di mana kita mampu menerima atas segala yang terjadi dalam hidup kita, di situlah kita mampu merasa hidup atas kehidupan yang diberikan oleh-Nya.
Kesedihan tidak hadir untuk selamanya menetap di hidup kita. Bukankah setelah hujan akan ada pelangi indah menghiasi mata? Namun, perlu diingat kembali bahwa pelangi pun tak akan selamanya hadir untuk menghiasi hidup kita.
Jika sedih, sedih saja. Tapi, jangan berlebihan dengan terus berlarut di dalamnya. Jika bahagia datang, berbahagialah. Tapi, jangan terlalu hanyut pada kebahagian yang menyilaukan mata.
Tuhan memasangkan segalanya untuk menyeimbangkan kehidupan kita. Tanpa kesedihan, kita tak pernah tahu nikmatnya tawa, bahagia, atau gembira. Tanpa bahagia, hidup hanya akan menjadi tempat kosong yang penuh nestapa.
Nikmati waktu yang ada. Sedih, nangis itu wajar. Itu bukan aib yang perlu ditutupi. Biarkan tangisan meluapkan segala kesedihan yang kamu rasakan hari ini. Lalu, kembalilah dengan tawamu esok hari untuk menambah keindahan di alam jagat ini.
Dan untuk kamu yang merasa bahwa temanmu, saudaramu, anakmu tak baik-baik saja, jadilah manusia yang penuh kehormatan dalam bersikap. Pertanyaan memaksamu yang serba ingin tahu itu tak menjadikanmu terlihat peduli. Itu adalah bentuk keegoisanmu akan suatu hal yang sejatinya bukan untuk dirimu ketahui. Cukup jadi tempat baginya bersandar. Jika ketulusan yang kau tawarkan, kepercayaan darinya akan kau dapatkan.
Lalu, jika kau bertanya apa susahnya jujur dengan apa yang dirasakan?
Bagaimana kita bisa jujur mengatakan sesuatu yang bahkan kita tak ketahui itu apa? I’m okay bukan hanya perihal jawaban agar pertanyaannya selesai, bukan pula hanya perihal untuk menutupi ketidak-baik-baik-sajaan. Tapi, tak jarang kita sendiri tak tahu kita ini kenapa.
Akhir kalimat, ini hanya sebuah pesan untuk diri. Entah diriku sendiri, mungkin dirimu yang lagi baca, atau dirinya yang sedang tak lagi ada kabarnya.[]