Fenomena ‘hijrah’ bukan hal yang asing lagi bagi kita. Saya sendiri kurang begitu paham kapan awal-mula munculnya fenomena hijrah ini. Yang jelas, fenomena ini memang punya dampak yang besar, khususnya, bagi anak muda.
Dari apa yang saya amati, istilah ‘hijrah’ umumnya disematkan pada mereka yang mulanya nggak berhijab, jadi berhijab; yang mulanya nonton vlog Atta Halilintar, jadi nonton kajian-kajian Islam; yang mulanya follow banyak akun olshop, jadi follow akun-akun yang menyebarkan konten islami; yang sebelumnya manggil temannya “bro/sis!”, berganti jadi “ya akhi/ukhti!”; dan perubahan-perubahan sejenisnya.
Sayangnya hal tersebut justru mengindikasikan bahwa istilah ‘hijrah’ mengalami penyempitan makna. Contoh nyata bisa dilihat pada orang-orang yang mengenyam pendidikan di pesantren. Mereka sudah pasti dapat pendidikan agama, setiap hari malahan, tapi kenapa istilah ‘hijrah’ nggak disematkan pada mereka?
Istilah ‘hijrah’ ini nampaknya diambil dari hadis Nabi saw yang diriwayatkan oleh Umar ibn al-Khattab. Terdapat dalam kitab Shahih al-Bukhari dan Shahih Muslim, penggalan terjemah hadis yang dimaksud kurang lebih begini, “…Barangsiapa yang hijrahnya karena Allah dan Rasul-Nya, maka hijrahnya kepada Allah dan Rasul-Nya. Dan barangsiapa yang hijrahnya karena menginginkan kehidupan yang layak di dunia atau karena wanita yang ingin dinikahinya, maka hijrahnya (akan bernilai sebagaimana) yang dia niatkan”.
Bila dilihat dari sisi etimologi, hijrah bermakna “meninggalkan”. Nah, dari sini bisa diketahui bahwa hijrah tidak hanya bisa disematkan pada kriteria-kriteria yang disebut di atas tadi. Messi yang pindah dari Barcelona ke PSG, itu hijrah. Adek berkacamata ninggal aku rabi, itu hijrah. Hijrah dari hati saya ke hati laki-laki yang di sampingnya berikrar “qabiltu nikaha wa tazwijaha”. Jadi, sebenarnya makna hijrah itu luas banget. Bicara soal hijrah, faktanya ia tak hanya diminati oleh anak-anak muda pegiat media sosial. Hijrah juga banyak dilakukan oleh kalangan selebritis.
Beberapa nama artis yang sudah tercatat dalam list ‘insan hijrah’ misalnya Virgoun, Alyssa Soebandono, Dude Herlino, Teuku Wisnu, Shireen Sungkar, Sakti (eks gitaris Sheila On 7), Arie Untung. Tak juga yang belakangan ramai diperbincangkan orang gara-gara statement-nya tentang musik haram, siapa lagi kalau bukan Uki (eks gitaris NOAH).
Hal yang paling menarik adalah apa yang mereka lakukan setelah hijrah. Tidak sedikit di antara mereka yang ikut meramaikan panggung dakwah Islam. Semangat mereka dalam berdakwah nampaknya didorong oleh perintah Nabi saw yang tercantum dalam kitab Shahih al-Bukhari, terjemahnya kurang lebih begini, “Sampaikanlah dariku walau hanya satu ayat!”.
Oke! Saya paham. Mungkin para artis ‘hijrah’ yang berdakwah itu punya niat yang baik dan mulia, ingin mengajak jemaah/followers-nya menuju―seperti yang disebutkan dalam surat al-Fatihah―jalan yang lurus (jalan orang-orang yang telah Engkau beri nikmat kepadanya. Bukan (jalan) mereka yang dimurkai, dan bukan (pula jalan) mereka yang sesat). Tapi, bukankah segala sesuatu itu harus sesuai kapasitasnya, harus proporsional, kan? Termasuk dalam berdakwah. Artinya, bila para artis ‘hijrah’ itu menyampaikan sesuatu harusnya diimbangi dengan kapasitas keilmuannya yang mumpuni. Nggak bisa kalau mereka mengandalkan kemampuan public speaking semata.
Saran saya sih sebaiknya para artis ‘hijrah’ itu belajar membaca Alqur’an dengan tajwid yang bener dulu. Supaya apa? Ketika mereka menyampaikan sebuah ayat pada jemaahnya nggak ngisin-ngisini banget gitu, lho. Ya… masa’ udah lantang bicara hukum (fiqh), tapi baca Alqur’an saja masih bagusan anak-anak TPQ. Apa nggak malu kayak gitu?
Saya berharap setidaknya para artis ‘hijrah’ itu terus menaati kode etik dakwah yang tercantum dalam Alqur’an yakni, “Bil Hikmah, wal Mau’idhatil Hasanah, wa Jadilhum billati Hiya Ahsan”. Lha, ya harus, kalau mereka sampai melanggarnya, bisa-bisa mereka nanti malah jadi sering ngafir-ngafirin orang hanya karena praktik agamanya berbeda dengan mereka. Tembusnya nanti xenophobia alias gagap dan takut pada orang yang berbeda atau asing dengannya (Peny.).
Itu kalau dalam konteks fiqh, konsekuensinya nggak main-main, lho. Misal kita mengafirkan seseorang, karena orang tersebut paham hukum (fiqh) akhirnya ia nggak shalat. Lah, kok bisa gitu? Iya, kan shalat itu diwajibkan untuk orang Islam, bukan orang kafir. Nah, kalau kaya’ gitu kasusnya, kita yang berdakwah bukan menuntun mereka menuju jalan yang benar dong? Malah kita yang secara tidak langsung kecipratan dosa jariyah. Terlepas dari itu, para artis ‘hijrah’ itu sebelumnya telah berkecimpung di dunia hiburan. Artinya apa yang mereka lakukan tujuannya adalah untuk melayani kepentingan dan keinginan pasar.
Prosesi hijrahnya para artis tersebut nampaknya masih terikat dengan semesta mereka sebelumnya. Dakwah yang mereka lakukan bisa jadi masih merupakan bagian dari melayani kepentingan pasar, meski kini pasar mereka punya wajah yang berbeda. Dakwah yang mereka lakukan sebenarnya juga menjadi ujian bagi popularitas mereka. Masihkah bisa bertahan atau justru kian tenggelam?
Melalui keikutsertaan para artis ‘hijrah’ tersebut dalam panggung dakwah, membuat masyarakat jadi tahu bahwa menimba ilmu agama bisa dilakukan di mana pun; termasuk di media sosial yang selama ini lekat dengan mereka seperti Instagram, Twitter, hingga YouTube.
Sayangnya, hal ini menimbulkan gejolak baru. Dakwah ala artis ‘hijrah’ terasa seperti menantang dakwah konvensional yang sebelumnya telah ada, misalnya, dalam pengajian-pengajian di majelis dan pesantren. Di sisi lain, dakwah mereka menjadi indikasi bahwa saat ini tengah terjadi kelunturan otoritas keagamaan. Mereka (para artis ‘hijrah’) bisa dengan bebas berfatwa tanpa peduli seberapa lama mereka mengenyam pendidikan agama; dan hal tersebut ternyata banyak dipercaya oleh sebagian anak muda. Penyebabnya apa? Karena para artis itu sudah terkenal sebelumnya.
Mengacu pada fenomana ini, tampaknya di masa depan masyarakat―terutama anak muda―sudah tidak peduli lagi dengan latar belakang pendidikan keagamaan atau kredibilitas pendakwah. Tolok ukur mereka akan berganti di mana mereka akan lebih peduli dengan berapa ribu followers-nya seorang pendakwah, atau pendakwah itu sudah “centang biru” atau belum.[]