slot gacor slot gacor slot gacor slot gacor
Bunuh Diri, Maut, dan Puisi - Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
Monday, 07 July 2025
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Milenial Gaya Hidup

Bunuh Diri, Maut, dan Puisi

Syukur Budiardjo by Syukur Budiardjo
14 February 2021
in Gaya Hidup
0
https://unsplash.com/photos/WXeJcabNzhE
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Bunuh diri (suicide; bahasa Inggris) merupakan fenomena umat manusia yang berputus asa karena takut menghadapi kenyataan hidup. Mungkin karena depresi atau menderita skizofrenia. Ini bisa jadi dilatarbelakangi oleh kesulitan ekonomi atau problema hidup lain yang melilit seseorang. Ujung dari masalah kejiwaan ini adalah jalan buntu yang tidak terpecahkan.

Berdasarkan kenyataan empiris yang terlihat, cara-cara membunuh dirinya sendiri untuk mengakhiri hidup itu bermacam-macam. Bisa jadi orang bunuh diri dengan tali tambang atau benda lain, seperti kain sarung dan selendang, yang memungkinkan seseorang menggantung diri. Bisa pula orang bunuh diri dengan meminum racun serangga. Orang juga bisa bunuh diri dengan melompat dari ketinggian tertentu. Misalnya melompat dari lantai ke-13 sebuah apartemen, melompat dari jalan layang, dan melompat ke jurang. Bunuh diri juga bisa dilakukan dengan menembakkan senjata api, pistol misalnya, ke bagian tubuh yang mematikan.

Tulisan ini tidak menyinggung bunuh diri yang berkaitan dengan keyakinan agama atau sekte yang dianut oleh sekelompok orang. Namun, tulisan ini lebih mengerucut kepada bunuh diri yang berbuntut maut, sedangkan maut itu sendiri digambarkan secara detail oleh  para penyair dalam sejumlah puisi.

Sementara itu, tulisan Endro S Efendi di Rubrik Sosbud “Kompasiana” 16 Agustus 2019  berjudul “Ini 7 Penyebab Dosen UGM Gantung Diri”, sangat menarik perhatian saya dan memicu lahirnya tulisan ini. Mengutip berita dari Tribunenews.com yang mewartakan seorang dosen teknik elektro Universitas Gajah  Mada (UGM), Budi Setiyanto (55),  meninggal dunia karena gantung diri dengan tambang, Endro S Efendi mengajukan tujuh penyebab masalah yang membuat seseorang mengalami persoalan dan kondisi psikologisnya sangat terganggu, dari sisi teknologi pikiran.

Pertama adalah menghukum diri sendiri. Kedua, pegalaman masa lalu. Ketiga, adanya konflik internal. Keempat, masalah yang belum tertulisankan. Kelima, ada keuntungan atau manfaat tersendiri dari persoalan itu. Keenam, identifikasi atau meniru. Ketujuh, penanaman kepercayaan atau keyakinan.

Membaca Puisi “Sajak”

Apa yang dilakukan Budi Setiyanto adalah pengulangan peristiwa serupa, yaitu bunuh diri. Ini seperti pernah dilakukan oleh Chester Bennington. Chester Bennington, vokalis utama Linkin Park, mengakhiri hidupnya juga dengan menggantung diri dalam usia 41 tahun. Dia lebih memilih jalan demikian dalam mencatatkan sejarah hidupnya.

Namun, barangkali sejarah hidup mereka akan menjadi lain andaikan mereka membaca puisi atau sajak Subagio Sastrowardoyo, sastrawan Indonesia garda depan. Setelah membaca puisi “Sajak”, mereka tentu tak memiliki keinginan bunuh diri. Bahkan, mereka akan mengurungkan niat menggantung diri itu karena ia teringat bait terakhir puisi “Sajak” ini. Sebab, Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali./ Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.//.

Sastrawan Subagio Sastrowardoyo (1 Februari 1924 – 18 Juli 1995) merupakan sastrawan penyair, cerpenis, kritikus, dan tulisans terkemuka, menulis puisi “Sajak” berikut ini.

SAJAK

Apakah arti sajak ini
Kalau anak semalam batuk-batuk
bau vicks dan kayuputih
melekat di kelambu.
Kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor buat
bayar dokter, bujang dan makan sehari.
Kalau terbayang pantalon
sudah sebulan sobek tak terjahit

Apakah arti sajak ini
Kalau saban malam aku lama terbangun:
hidup ini makin mengikat dan mengurung.
Apakah arti sajak ini:
Piaraan anggerek tricolor di rumah atau
pelarian kecut ke hari akhir?

Ah, sajak ini,
mengingatkan aku kepada langit dan mega.
Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali.
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.

— dikutip dari buku kumpulan puisi Dan Kematian Makin Akrab (Jakarta: Grasindo, 1995, halaman 6) —

Oh, ternyata puisi atau sajak dapat mengingatkan kita agar tak berputus asa. Sebab, sajak dapat melupakan kita kepada pisau dan tali, melupakan kita kepada bunuh diri. Meskipun hidup susah karena pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga.

Umur Bagaikan Tali

Umur itu bagaikan tali. Lambat laun memendek karena aus dimakan usia. Melalui hari-hari maut dirajut. Kita bersuka ria dan melupakan maut. Kita dikepung derita dan dibuai gemerlapnya duna, namun menghindari maut. Akan tetapi, jika waktu tiba sesuai dengan takdir yang telah tercatat di garis tangan, kita tak mampu mengelak dan menempelaknya.

Berikut ini puisi “Bagaimana Cara Membunuh Diri? Mari Kuceritakan tentang Kita yang Mengejar Mati” karya penyair Indra Intisa, yang menggambarkan umur sebagai tali itu..

BAGAIMANA CARA MEMBUNUH DIRI?
MARI KUCERITAKAN TENTANG KITA YANG MENGEJAR MATI

umur terus memendek tali
menuju buhul bernama mati.

ia bernama maut.
lahir dari tali yang dirajut.

suatu ketika, kita menipu
tali pun bergelombang.
kita asyik bermain lampu
dengan cahaya benderang.
“Tidakkah lupa akan gelap?”

suatu hari, tali mengusut
di tengah. Ia mainkan kalut
dengan cinta. Kita mabuk oleh kusut.
diam-diam kita hanyut.
“Bolehkah memutus tali di tengah?”

maut hadir sebelum sampai.

29 September 2016

Bunuh Diri Perlahan-lahan

Dalam puisi “Hemat” karya penyair Sutardji Calzoum Bachri yang terdapat di dalam buku kumpulan puisi O Amuk Kapak (1981) dengan gamblang terbaca bahwa dari hari ke hari kita bunuh diri perlahan-lahan. Sebab, dari tahun ke tahun bertimbun luka di badan. Apakah kita menyadari bahwa segobang demi segobang kita menabung maut?

HEMAT

dari hari ke hari
bunuh diri pelan-pelan

dari tahun ke tahun
bertimbun luka di badan

maut menabungKu
segobang-segobang

1977

Tanpa bunuh diri pun seseorang akan menjumpai maut. Ketika kita mengarungi waktu keseharian ini, menuju ke akhir hayat dalam rentang waktu bertahun-tahun tanpa kita sadari kita menuju ke pendakian yang sebenarnya. Menggapai alam keabadian.

Dalam puisi “Sebab” (Haiti, 1981)  penyair Ibrahim Sattah  mengatakan bahwa meski kita berusaha dengan dalih dan cara apa pun, jika saatnya sampai, maut pun akan datang menjemput. Manusia tidak perlu bunuh diri karena cepat atau lambat batas akhir hidup manusia yang bernama maut itu pun akan tiba.
.
SEBAB

ingin kujanjikan laut jadi gurun
ikan dan sekalian hewan
pindahlah ke
bulan
sebab laut sebab pantai
sebab laut bernama laut sebab pantai bernama pantai
sebab maut bernama maut
sebab saatnya
sampai

1980-1981

Andaikan  Budi Setiyanto dan Chester Bennington  telah membaca puisi “Sajak” Subagio Sastrowardoyo, membaca puisi “Bagaimana Cara Membunuh Diri? Mari Kuceritakan tentang Kita yang Mengejar Mati” Indra Intisa, membaca sajak “Hemat” Sutardji Calzoum Bachri, dan membaca puisi “Sebab” Ibrahim Sattah, kisah hidupnya akan berbeda. Budi Setiyanto masih bisa mengajar dan mendidik anak-anak bangsa di kampusnya dan Chester Bennington masih bisa lantang berteriak dengan bernyanyi, hingga maut menjemputnya kelak tanpa  harus membunuh diri.

Optimisme layaknya harus senantiasa kita nyalakan dalam batin kita. Hidup yang mestinya dipahami sebagai kancah perjuangan, harus kita maknai sebagai berani hidup. Bukan berani mati, apalagi mati konyol dengan membunuh diri.

Cibinong, 3 Februari 2021

Tags: bunuh diricara membunuh diripuisi bunuh diriputus asa
ShareTweetSendShare
Previous Post

Pengguna VPN Bukan Berarti Pecinta Bokep

Next Post

Cermin Peradaban

Syukur Budiardjo

Syukur Budiardjo

Penulis dan Pensiunan Guru ASN di DKI Jakarta. Alumnus Fakultas Pendidikan Bahasa dan Seni (FPBS) Jurusan Bahasa Indonesia IKIP Jakarta. Menulis artikel, cerpen, dan puisi di media cetak dan daring. Menulis buku kumpulan puisi Mik Kita Mira Zaini dan Lisa yang Menunggu Lelaki Datang (2018), Demi Waktu (2019), Beda Pahlawan dan Koruptor (2019), buku kumpulan esai  Enak Zamanku, To! (2019), dan buku nonfiksi Strategi Menulis Artikel Ilmiah Populer di Bidang Pendidikan Sebagai Pengembangan Profesi Guru (2018). Akun Facebook, Instagram, dan Youtube menggunakan nama Sukur Budiharjo.

Artikel Terkait

Film “Like & Share”, Ketidaksengajaan dan Trauma Kekerasan Seksual
Milenial

Film “Like & Share”, Ketidaksengajaan dan Trauma Kekerasan Seksual

8 May 2023

Peringatan: tulisan ini mengandung konten sensitif yang barangkali dapat mengganggu dan memicu trauma Anda. _...

Ada Nafas Sahara di Hutan Amazon
Gaya Hidup

Ada Nafas Sahara di Hutan Amazon

30 April 2023

Pernahkah kita terbesit secara sadar kalau udara yang kita hirup, air yang kita minum, makanan yang kita telan...

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!
Gaya Hidup

Pilih Masjid yang Tarawih 8 atau 20? Ada yang Dua-duanya lo!

13 April 2022

Perdebatan tentang jumlah rakaat tarawih yang mewarnai jagat maya tampaknya tak berlaku di Masjid Al-Hikmah Kampung Islam Lebah, Klungkung. Pasalnya...

4 Suguhan Apik yang Ditawarkan Film “Don’t Look Up”
Gaya Hidup

4 Suguhan Apik yang Ditawarkan Film “Don’t Look Up”

27 March 2022

Pada Desember 2021 lalu, Netflix merilis film Don’t Look Up. Sebuah film fiksi ilmiah yang berbumbu komedi. Beberapa nama yang...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Minyak Goreng: Objek Doktrin Ekonomi Politik Klasik “Laissez-faire”

Minyak Goreng: Objek Doktrin Ekonomi Politik Klasik “Laissez-faire”

16 April 2022
Ali Syari’ati: Mempercayai Tuhan Sekaligus Menjaga Alam dan Hubungan Sesama Manusia

Ali Syari’ati: Mempercayai Tuhan Sekaligus Menjaga Alam dan Hubungan Sesama Manusia

16 February 2022
Gambar Artikel Tabiat Arunika dan Kotak Pandora

Tabiat Arunika dan Kotak Pandora

24 November 2020
Ayat-ayat Alam Raya

Ayat-ayat Alam Raya

19 June 2021
Gambar Artikel Puisi Pengasingan

Pengasingan

27 January 2021
Gubuk Sajak

Gubuk Sajak

16 March 2021
Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival

Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival

21 May 2024
Pemimpin yang Ibda’ Binafsik

Pemimpin yang Ibda’ Binafsik

19 June 2021
Pekerja Malam

Pekerja Malam

28 April 2021
Gambar Artikel Syafaat Rasul Menurut Abu Mansur al-Maturidi

Syafaat Rasul Menurut Abu Mansur al-Maturidi

3 December 2020
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

Kategori

  • Event (11)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (9)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (207)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (137)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In