Bunuh diri (suicide; bahasa Inggris) merupakan fenomena umat manusia yang berputus asa karena takut menghadapi kenyataan hidup. Mungkin karena depresi atau menderita skizofrenia. Ini bisa jadi dilatarbelakangi oleh kesulitan ekonomi atau problema hidup lain yang melilit seseorang. Ujung dari masalah kejiwaan ini adalah jalan buntu yang tidak terpecahkan.
Berdasarkan kenyataan empiris yang terlihat, cara-cara membunuh dirinya sendiri untuk mengakhiri hidup itu bermacam-macam. Bisa jadi orang bunuh diri dengan tali tambang atau benda lain, seperti kain sarung dan selendang, yang memungkinkan seseorang menggantung diri. Bisa pula orang bunuh diri dengan meminum racun serangga. Orang juga bisa bunuh diri dengan melompat dari ketinggian tertentu. Misalnya melompat dari lantai ke-13 sebuah apartemen, melompat dari jalan layang, dan melompat ke jurang. Bunuh diri juga bisa dilakukan dengan menembakkan senjata api, pistol misalnya, ke bagian tubuh yang mematikan.
Tulisan ini tidak menyinggung bunuh diri yang berkaitan dengan keyakinan agama atau sekte yang dianut oleh sekelompok orang. Namun, tulisan ini lebih mengerucut kepada bunuh diri yang berbuntut maut, sedangkan maut itu sendiri digambarkan secara detail oleh para penyair dalam sejumlah puisi.
Sementara itu, tulisan Endro S Efendi di Rubrik Sosbud “Kompasiana” 16 Agustus 2019 berjudul “Ini 7 Penyebab Dosen UGM Gantung Diri”, sangat menarik perhatian saya dan memicu lahirnya tulisan ini. Mengutip berita dari Tribunenews.com yang mewartakan seorang dosen teknik elektro Universitas Gajah Mada (UGM), Budi Setiyanto (55), meninggal dunia karena gantung diri dengan tambang, Endro S Efendi mengajukan tujuh penyebab masalah yang membuat seseorang mengalami persoalan dan kondisi psikologisnya sangat terganggu, dari sisi teknologi pikiran.
Pertama adalah menghukum diri sendiri. Kedua, pegalaman masa lalu. Ketiga, adanya konflik internal. Keempat, masalah yang belum tertulisankan. Kelima, ada keuntungan atau manfaat tersendiri dari persoalan itu. Keenam, identifikasi atau meniru. Ketujuh, penanaman kepercayaan atau keyakinan.
Membaca Puisi “Sajak”
Apa yang dilakukan Budi Setiyanto adalah pengulangan peristiwa serupa, yaitu bunuh diri. Ini seperti pernah dilakukan oleh Chester Bennington. Chester Bennington, vokalis utama Linkin Park, mengakhiri hidupnya juga dengan menggantung diri dalam usia 41 tahun. Dia lebih memilih jalan demikian dalam mencatatkan sejarah hidupnya.
Namun, barangkali sejarah hidup mereka akan menjadi lain andaikan mereka membaca puisi atau sajak Subagio Sastrowardoyo, sastrawan Indonesia garda depan. Setelah membaca puisi “Sajak”, mereka tentu tak memiliki keinginan bunuh diri. Bahkan, mereka akan mengurungkan niat menggantung diri itu karena ia teringat bait terakhir puisi “Sajak” ini. Sebab, Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali./ Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.//.
Sastrawan Subagio Sastrowardoyo (1 Februari 1924 – 18 Juli 1995) merupakan sastrawan penyair, cerpenis, kritikus, dan tulisans terkemuka, menulis puisi “Sajak” berikut ini.
SAJAK
Apakah arti sajak ini
Kalau anak semalam batuk-batuk
bau vicks dan kayuputih
melekat di kelambu.
Kalau istri terus mengeluh
tentang kurang tidur, tentang
gajiku yang tekor buat
bayar dokter, bujang dan makan sehari.
Kalau terbayang pantalon
sudah sebulan sobek tak terjahit
Apakah arti sajak ini
Kalau saban malam aku lama terbangun:
hidup ini makin mengikat dan mengurung.
Apakah arti sajak ini:
Piaraan anggerek tricolor di rumah atau
pelarian kecut ke hari akhir?
Ah, sajak ini,
mengingatkan aku kepada langit dan mega.
Sajak ini mengingatkan kepada kisah dan keabadian.
Sajak ini melupakan aku kepada pisau dan tali.
Sajak ini melupakan kepada bunuh diri.
— dikutip dari buku kumpulan puisi Dan Kematian Makin Akrab (Jakarta: Grasindo, 1995, halaman 6) —
Oh, ternyata puisi atau sajak dapat mengingatkan kita agar tak berputus asa. Sebab, sajak dapat melupakan kita kepada pisau dan tali, melupakan kita kepada bunuh diri. Meskipun hidup susah karena pendapatan atau gaji yang tidak mencukupi untuk menghidupi keluarga.
Umur Bagaikan Tali
Umur itu bagaikan tali. Lambat laun memendek karena aus dimakan usia. Melalui hari-hari maut dirajut. Kita bersuka ria dan melupakan maut. Kita dikepung derita dan dibuai gemerlapnya duna, namun menghindari maut. Akan tetapi, jika waktu tiba sesuai dengan takdir yang telah tercatat di garis tangan, kita tak mampu mengelak dan menempelaknya.
Berikut ini puisi “Bagaimana Cara Membunuh Diri? Mari Kuceritakan tentang Kita yang Mengejar Mati” karya penyair Indra Intisa, yang menggambarkan umur sebagai tali itu..
BAGAIMANA CARA MEMBUNUH DIRI?
MARI KUCERITAKAN TENTANG KITA YANG MENGEJAR MATI
umur terus memendek tali
menuju buhul bernama mati.
ia bernama maut.
lahir dari tali yang dirajut.
suatu ketika, kita menipu
tali pun bergelombang.
kita asyik bermain lampu
dengan cahaya benderang.
“Tidakkah lupa akan gelap?”
suatu hari, tali mengusut
di tengah. Ia mainkan kalut
dengan cinta. Kita mabuk oleh kusut.
diam-diam kita hanyut.
“Bolehkah memutus tali di tengah?”
maut hadir sebelum sampai.
29 September 2016
Bunuh Diri Perlahan-lahan
Dalam puisi “Hemat” karya penyair Sutardji Calzoum Bachri yang terdapat di dalam buku kumpulan puisi O Amuk Kapak (1981) dengan gamblang terbaca bahwa dari hari ke hari kita bunuh diri perlahan-lahan. Sebab, dari tahun ke tahun bertimbun luka di badan. Apakah kita menyadari bahwa segobang demi segobang kita menabung maut?
HEMAT
dari hari ke hari
bunuh diri pelan-pelan
dari tahun ke tahun
bertimbun luka di badan
maut menabungKu
segobang-segobang
1977
Tanpa bunuh diri pun seseorang akan menjumpai maut. Ketika kita mengarungi waktu keseharian ini, menuju ke akhir hayat dalam rentang waktu bertahun-tahun tanpa kita sadari kita menuju ke pendakian yang sebenarnya. Menggapai alam keabadian.
Dalam puisi “Sebab” (Haiti, 1981) penyair Ibrahim Sattah mengatakan bahwa meski kita berusaha dengan dalih dan cara apa pun, jika saatnya sampai, maut pun akan datang menjemput. Manusia tidak perlu bunuh diri karena cepat atau lambat batas akhir hidup manusia yang bernama maut itu pun akan tiba.
.
SEBAB
ingin kujanjikan laut jadi gurun
ikan dan sekalian hewan
pindahlah ke
bulan
sebab laut sebab pantai
sebab laut bernama laut sebab pantai bernama pantai
sebab maut bernama maut
sebab saatnya
sampai
1980-1981
Andaikan Budi Setiyanto dan Chester Bennington telah membaca puisi “Sajak” Subagio Sastrowardoyo, membaca puisi “Bagaimana Cara Membunuh Diri? Mari Kuceritakan tentang Kita yang Mengejar Mati” Indra Intisa, membaca sajak “Hemat” Sutardji Calzoum Bachri, dan membaca puisi “Sebab” Ibrahim Sattah, kisah hidupnya akan berbeda. Budi Setiyanto masih bisa mengajar dan mendidik anak-anak bangsa di kampusnya dan Chester Bennington masih bisa lantang berteriak dengan bernyanyi, hingga maut menjemputnya kelak tanpa harus membunuh diri.
Optimisme layaknya harus senantiasa kita nyalakan dalam batin kita. Hidup yang mestinya dipahami sebagai kancah perjuangan, harus kita maknai sebagai berani hidup. Bukan berani mati, apalagi mati konyol dengan membunuh diri.
Cibinong, 3 Februari 2021