Di Batas Kota Ini
Peluru itu telah mengingatkan jiwaku
detik terakhir, di atas tanah-tanah berserakan jasad
Mataku terlalu penat melihat derita panjang itu
reruntuhan bumi, perang berkecamuk
Semua resah, gelisah menyanggah tidur malam
dalam pikiran tidak tenang
Aku mencoba menulis sajak malam
walau jiwa seakan menanti giliran
sejenak pikiranku mengembara, mengingat batas-batas perjuangan
sesungguhnya aku buta untuk memaknainya
dan waktu pun terlalu panjang untuk kulalui
sebuah masa saat aku masih terbuai oleh dongeng tidur
Kini peluru-peluru itu telah bersemayam pada pikiran manusia
tak ada lagi jasad korban perang
mungkin karena zaman sudah terlalu letih mengusung darah
atau kita sudah terlampau rindu berbaring pada pasir-pasir putih
di antara deru angin dan ombak
seperti kita mengusir keraguan
di batas kota, yang tumbuh dengan cinta
saat siang-malam melintas begitu lembut
meninggalkan perang, yang tak pernah berakhir
adalah perang nalar tak pernah berakhir
2021
Petaka Senja
Aku gersang
kering bagai pasir
begitu lama berkelana di padang tandus
hingga aku tak pernah tahu
tentang cinta
Adalah sebuah bingkai
menyeruak dari kaki langit
seperti lukisan yang tertikam cahaya
jatuh pada pembaringan
panorama senja
Aroma segar
entah dari mana datangnya
seakan membungkus bait-bait sajakku
hingga aku terkesima, dahaga pun sirna
dan melupakan gersangnya padang tandus
pikiran pun mengembara, membuncah dihembus angin
ingin segera meraih, apa makna cinta
Begitu cepat senja menghampiri
melipat bingkai yang belum terukir
ketika aku mulai mengerti sebuah makna
yang selalu menghiasi bibir bidadari
kala pelangi mengiringi telaga pemandian
tempat di mana para bidadari membersihkan diri
Kegelisahanku mulai mengusik
seberapa jauh langkahku bisa memupus keletihanku
sajakku mulai merenung diri
langit hanya menunggu perjalanan waktu
ketika senja harus membenamkan diri
Malang, 2020
Pelantun Kata
di bibirmu, malam merapuh
tanggalkan redup senja
berkelana mengejar waktu
mendendangkan
nyanyian syair gerimis, satukan rindu kita
aroma bulan pun memantik asmara
memadukan geliat para pelantun makna
berjalan mengendap
di antara sisa langkah Arthur Rimbaud
samarkan cahaya
hingga kita begitu gelisah, menatap lekat
rembulan tanpa busana
ingin kutikam malam
menusuk rinai gerimis
bila perlu, kupinjam pedang sajak Rimbaud
ia tertawa di telatah masa
“aku memang jalang”
memaku diri di jiwa pelantun kata
Malang, 2021
Soledad
memenggal waktu
bergegas lari
bersembunyi
di kesunyian sepi
rindu seakan terselimuti
sajak-sajak pun membaca
– kesempurnaan –
setiap hari burung menggema
satukan alam
dalam sajak bisu
riuh di ranting angin
jelmaan gelisah
Malang, 2021
Ingatan Mimpi
senyummu telah mengajarkan
tentang kebenaran cinta
tetapi biarkanlah angin yang melukisnya
hingga menjadi lukisan aroma
yang menebar dan mendekam di ingatan mimpi
Malang, 2021