• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sabtu, 16 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Puisi

Sajak Seorang Preman Sebelum Jadi Penyair

dan sajak-sajak lainnya

Gusti Fahriansyah by Gusti Fahriansyah
17 Februari 2022
in Puisi
0
Sajak Seorang Preman Sebelum Jadi Penyair

Sumber gambar: https://i.pinimg.com/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Sajak Seorang Preman Sebelum Jadi Penyair

Masih kuingat betul jalan menuju kita, kekasih!
Sebelum aku menjadi penyair dan mencintaimu.

Saban hari kota lebih sering menerjemahkan kekosongan
Perkara macet adalah seisi kepalaku dalam sebotol Amer
Yang dibeli saat jam-jam mulai kekeringan
Lalu kuminum di belakang gedung tinggi
Setinggi ngungun kedamaian negeri ini.

Perlu kau tahu, kekasihku.
Di kota segalanya rumah
Seperti pasar, ketika pertama kau menyapa mataku
Dengan senyummu yang pagi dan begitu menampar dada ini
Meski kadang kali aku harus pergi
Menuju gang-gang perumahan demi menjauhi orang-orang
Yang kembali menjual dan membeli kebenaran.

Di depan rumah megah, entah kepunyaan siapa
Aku bertanya-tanya, masihkah layak kucintai engkau, kekasih?
Sebagai manusia yang hilang kepercayaan oleh manusia
Hilang cita-cita akibat mahalnya ideologi
Sebagai bukti suksesnya orang di tangan asing.

Tubuh bertato, kaos blong, celana setengah sobek di lutut
Serta senjata tajam di pinggang
Menjadikanku abu-abu dari banyak pandang
Saat dibandingkan dengan pria berdasi
Yang lebih besar dasinya dari pada janjinya.

Oleh karena itu, jangan kau kecewa
Melihatku di belakang gedung-gedung kota
Memegang sebotol Amer yang merupakan puisi pertamaku
Membawaku jadi penyair dan mencintaimu.

24 Mei 2021

 

Kita Mesti Pandai dalam Bercinta

Kita belum sepakat bahkan sempat berapat:
Kelak pada kerak waktu perseteruan
Api menyala dalam redup muka
Lalu kita berlagu, di hati paling syahdu
Serta tangis yang sering lupa dilukis.

Tubuh sama-sama disita masa muda
Cinta tumbuh tangguh, di hari kita sibuk
Menghalau berbagai cemburu masuk
Dan membuat hati kita membusuk

Kita harus pintar merawat masa
Kesibukan mengurus usus lebih utama
Menyita hari libur
Yang biasanya kita semalaman lembur
Dan diskusi tentang usia tua nanti.

Kepandaian dalam cinta
Mesti kita kaji, lebih-lebih
10 tahun lagi, bumi akan tambah berat isi.

Januari 2022

 

Puisi Mati di Hari Minggu

Belakangan ini, percintaan kita begitu puitis
Kau terus menyebutku penyair dan penyair,
Tahan mulutmu itu kekasihku!

Betapa air mata menetesi kuburan Rousseau
Yang mati di tengah abad perebutan bumi
Dan tenggelam dalam dada mereka sendiri.

Bagaimana kau menyebutku penyair, kekasihku
Bermula pada hari pertama
Aku kerap menerjemahkan lampu merah
Tempat kau berjeda merebut jam kantor

Di sekeliling orang yang tak jauh beda denganmu:
Melipat cinta di kota rahasia.
Lalu kau mendoakan puisi akan berawal dari matamu
Dimana hujan datang, rindu kian bertandang.

Tidak kekasih, malah tangan ini gemetaran
Kota dan puisiku mengalami agresi diksi
Sejak kematian Rousseau, aku mencintai dua hal
Satu adalah dirimu, satunya adalah kota ini
Yang terlalu dalam mencintai manusia

Menciptakan revolusi besar-besaran
Sajak-sajak hilang ditimbun pembangunan
Cara cinta manusia bukan seperti
Percakapan puisiku kepada matamu
Yang kaubaca dengan lengkung bibir sempurna

Memang, kau telah kuyakini sebagai perempuan
Yang tak putus juang dari air mata.
Puisi menghamili engkau dan pesat
Di surat kabar hari Minggu
Tapi, Rousseau menangis di hadapan puisiku
Yang satu halaman dengan berita penindasan.

2021.06.10

 

Perjalanan Kata-kata

Kita dikisahkan dalam antologi penyair, makna diramu dari diksi yang dilahirkan oleh pinggul perawan, sisa cucur lelaki yang memberinya sebatang puisi. Baris demi baris, dielus hingga halus, sampai marah paling tabah, terjadi pada bait pertama. Kita yang lugu menurut dan termangu, berkhayal citacita seluas samudera

pada bait kedua, hasrat muncrat, dada halnya dadu di hadapan gadis baru: inikah mencintai? Mulai mengenal hari minggu, style rambut dan baju-baju. Tipikal rindu tumbuh satu persatu: di suatu malam, dengan beberapa seduh kesedihan, menjadi sajak-sajak. Hingga lentang khatulistiwa mengenal nama kita di almanak, membumi, dan dirasa banyak khalayak. Halnya korupsi yang tak letih berpoligami, menjadikan angka-angka merah yang kita rayakan sebagai hari lumrah

kita, kota, juga kata-kata bersatu di bait ketiga. Harum, serupa olahan punggung ayah, yang dimasak dalam air tabah ibu. Menyajinya pada piring beling, yang kita nikmati di balik jendela: menjaga sajak yang sulit ditebak, yang akan kekal pada hari-Nya

10 Juli 2021

 

Di Semesta Kita Pernah Bersepeda

Dulu, kita berkeliling, mengayuh dada satu sama lain. Lorong rusak-jalanan tanjak, masih kita kayuh tangguh; semesta kita gapai seluruh. Lalu, kita duduk di suatu ketinggian; puncak yang tak sanggup kita gambarkan. Kibar rambutmu daun diterpa angin, riak-teriakmu membelah jagat langit. Sedang, diriku melukis utuh tubuhmu, di atas kanvas, pada lukisan senja pertama.

Dulu, ketinggian itu, semesta menjadi saksi, sekaligus mempertaruhkan diri, dengan sepeda yang kita tunggangi berdua. Aku pedal hingga lupa pegal, kau peluk diriku sampai suluk waktu: kedua tangan serta kaki kita sama-sama menerjemah doa. Pada suatu waktu, ada dua hal yang tak bisa di tawar, kitab adat memangku takdir, serta lidah ayah-ibu yang membekam bibir. Kita dilanda nyeri saban hari. Kakiku mengayuh makin suri. Sedang, kedua tanganmu lapang merenggang, membuat segalanya pulang.

Sejak itu, aku tabahkan tubuh, melemparnya ke kota jauh. Mengganti nama yang asa, menjadi sia-sia. Tentu, tanah tempat kita bersepeda, tak lagi hijau untuk kakiku. Maka, di kota yang begitu sesak dengan kata-kata, kurampai sisa waktu yang separuh: riak-teriakmu, lembut-rambutmu, serta senja itu, kurebas tuntas dalam dada, lalu direbus jadi puisi.

Tentang tanah tempat kita bersepeda,  memeluk semesta, mengayuh doa: berbelasungkawa.

Mata Pena, Juli 2021

Tags: gusti fahriansyahmetaforpuisisajaksastra
ShareTweetSendShare
Previous Post

Menerka Kiblat Dakwah Generasi Muda di Masa Depan

Next Post

4 Nilai Humanistik dalam Film “Hotel Transylvania: Transformania”

Gusti Fahriansyah

Gusti Fahriansyah

Berasal dari Desa Torbang Batuan Sumenep. Menggeluti sastra mulai dari Majelis Sastra Mata Pena, Komunitas Puisi Bekasi, Sanggar Gemilang, LPM Retorika STKIP PGRI Sumenep. Juara1 LCPN SIDERIS INDONESIA, Juara II LCPN Aklamasi UNDIKHSA. Karyanya terbit dibeberapa media cetak/online dan antologi bersama.

Artikel Terkait

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
Puisi

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya

14 Agustus 2025

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya setiap malam ia menyetrika tubuhnya di depan kaca mencari lipatan-lipatan yang membuat lelaki itu malas pulang...

Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
Puisi

Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya

3 Agustus 2025

Hisap Aku hingga Putih bulan merabun serbuk langit bebal pohon dan batu tak bergaris hitam coreng malam yang sumuk punggung...

Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
Puisi

Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya

20 Juli 2025

Status Baru Ibu Ia tidak menangis di depan siapa pun. Tapi aku tahu, ada yang basah tiap kali ia mencuci...

Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
Puisi

Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya

22 Juni 2025

Kiat Marah yang Payah  Malam hari yang dingin mencekam cepat menusuk pori-pori. Dan keniscayaan lupa mendekam di hati dan kantong...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Jika Pulang Selalu Tentang Pergi

Jika Pulang Selalu Tentang Pergi

22 Juni 2021
Dongeng Pak Tua Menjangkau Cahaya

Dongeng Pak Tua Menjangkau Cahaya

23 Februari 2021
Perilaku Umat Beragama Kiwari: Sebuah Ironi

Perilaku Umat Beragama Kiwari: Sebuah Ironi

29 Maret 2021
Gambar Artikel Orbital Drago : Ragam Pengalaman di Satu Tempat

Orbital Dago: Ragam Pengalaman di Satu Tempat

17 November 2020
Gambar Artikel Filsuf yang Curhat dan Nasehat Seorang Jomblo

Filsuf yang Curhat dan Nasehat Seorang Jomblo

11 Januari 2021
Homo Digitalis dan Kebutuhan Kita pada Filsafat

Homo Digitalis dan Kebutuhan Kita pada Filsafat

17 Januari 2022
Dua Lelaki

Dua Lelaki

23 April 2021
https://unsplash.com/photos/g4I_Lq-p4o0

Pengguna VPN Bukan Berarti Pecinta Bokep

14 Februari 2021
Gambar Artikel Mind Management

Mind Management

27 November 2020
Belajar Mengitari Israel

Belajar Mengitari Israel

19 April 2023
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.