Sajak Seorang Preman Sebelum Jadi Penyair
Masih kuingat betul jalan menuju kita, kekasih!
Sebelum aku menjadi penyair dan mencintaimu.
Saban hari kota lebih sering menerjemahkan kekosongan
Perkara macet adalah seisi kepalaku dalam sebotol Amer
Yang dibeli saat jam-jam mulai kekeringan
Lalu kuminum di belakang gedung tinggi
Setinggi ngungun kedamaian negeri ini.
Perlu kau tahu, kekasihku.
Di kota segalanya rumah
Seperti pasar, ketika pertama kau menyapa mataku
Dengan senyummu yang pagi dan begitu menampar dada ini
Meski kadang kali aku harus pergi
Menuju gang-gang perumahan demi menjauhi orang-orang
Yang kembali menjual dan membeli kebenaran.
Di depan rumah megah, entah kepunyaan siapa
Aku bertanya-tanya, masihkah layak kucintai engkau, kekasih?
Sebagai manusia yang hilang kepercayaan oleh manusia
Hilang cita-cita akibat mahalnya ideologi
Sebagai bukti suksesnya orang di tangan asing.
Tubuh bertato, kaos blong, celana setengah sobek di lutut
Serta senjata tajam di pinggang
Menjadikanku abu-abu dari banyak pandang
Saat dibandingkan dengan pria berdasi
Yang lebih besar dasinya dari pada janjinya.
Oleh karena itu, jangan kau kecewa
Melihatku di belakang gedung-gedung kota
Memegang sebotol Amer yang merupakan puisi pertamaku
Membawaku jadi penyair dan mencintaimu.
24 Mei 2021
Kita Mesti Pandai dalam Bercinta
Kita belum sepakat bahkan sempat berapat:
Kelak pada kerak waktu perseteruan
Api menyala dalam redup muka
Lalu kita berlagu, di hati paling syahdu
Serta tangis yang sering lupa dilukis.
Tubuh sama-sama disita masa muda
Cinta tumbuh tangguh, di hari kita sibuk
Menghalau berbagai cemburu masuk
Dan membuat hati kita membusuk
Kita harus pintar merawat masa
Kesibukan mengurus usus lebih utama
Menyita hari libur
Yang biasanya kita semalaman lembur
Dan diskusi tentang usia tua nanti.
Kepandaian dalam cinta
Mesti kita kaji, lebih-lebih
10 tahun lagi, bumi akan tambah berat isi.
Januari 2022
Puisi Mati di Hari Minggu
Belakangan ini, percintaan kita begitu puitis
Kau terus menyebutku penyair dan penyair,
Tahan mulutmu itu kekasihku!
Betapa air mata menetesi kuburan Rousseau
Yang mati di tengah abad perebutan bumi
Dan tenggelam dalam dada mereka sendiri.
Bagaimana kau menyebutku penyair, kekasihku
Bermula pada hari pertama
Aku kerap menerjemahkan lampu merah
Tempat kau berjeda merebut jam kantor
Di sekeliling orang yang tak jauh beda denganmu:
Melipat cinta di kota rahasia.
Lalu kau mendoakan puisi akan berawal dari matamu
Dimana hujan datang, rindu kian bertandang.
Tidak kekasih, malah tangan ini gemetaran
Kota dan puisiku mengalami agresi diksi
Sejak kematian Rousseau, aku mencintai dua hal
Satu adalah dirimu, satunya adalah kota ini
Yang terlalu dalam mencintai manusia
Menciptakan revolusi besar-besaran
Sajak-sajak hilang ditimbun pembangunan
Cara cinta manusia bukan seperti
Percakapan puisiku kepada matamu
Yang kaubaca dengan lengkung bibir sempurna
Memang, kau telah kuyakini sebagai perempuan
Yang tak putus juang dari air mata.
Puisi menghamili engkau dan pesat
Di surat kabar hari Minggu
Tapi, Rousseau menangis di hadapan puisiku
Yang satu halaman dengan berita penindasan.
2021.06.10
Perjalanan Kata-kata
Kita dikisahkan dalam antologi penyair, makna diramu dari diksi yang dilahirkan oleh pinggul perawan, sisa cucur lelaki yang memberinya sebatang puisi. Baris demi baris, dielus hingga halus, sampai marah paling tabah, terjadi pada bait pertama. Kita yang lugu menurut dan termangu, berkhayal citacita seluas samudera
pada bait kedua, hasrat muncrat, dada halnya dadu di hadapan gadis baru: inikah mencintai? Mulai mengenal hari minggu, style rambut dan baju-baju. Tipikal rindu tumbuh satu persatu: di suatu malam, dengan beberapa seduh kesedihan, menjadi sajak-sajak. Hingga lentang khatulistiwa mengenal nama kita di almanak, membumi, dan dirasa banyak khalayak. Halnya korupsi yang tak letih berpoligami, menjadikan angka-angka merah yang kita rayakan sebagai hari lumrah
kita, kota, juga kata-kata bersatu di bait ketiga. Harum, serupa olahan punggung ayah, yang dimasak dalam air tabah ibu. Menyajinya pada piring beling, yang kita nikmati di balik jendela: menjaga sajak yang sulit ditebak, yang akan kekal pada hari-Nya
10 Juli 2021
Di Semesta Kita Pernah Bersepeda
Dulu, kita berkeliling, mengayuh dada satu sama lain. Lorong rusak-jalanan tanjak, masih kita kayuh tangguh; semesta kita gapai seluruh. Lalu, kita duduk di suatu ketinggian; puncak yang tak sanggup kita gambarkan. Kibar rambutmu daun diterpa angin, riak-teriakmu membelah jagat langit. Sedang, diriku melukis utuh tubuhmu, di atas kanvas, pada lukisan senja pertama.
Dulu, ketinggian itu, semesta menjadi saksi, sekaligus mempertaruhkan diri, dengan sepeda yang kita tunggangi berdua. Aku pedal hingga lupa pegal, kau peluk diriku sampai suluk waktu: kedua tangan serta kaki kita sama-sama menerjemah doa. Pada suatu waktu, ada dua hal yang tak bisa di tawar, kitab adat memangku takdir, serta lidah ayah-ibu yang membekam bibir. Kita dilanda nyeri saban hari. Kakiku mengayuh makin suri. Sedang, kedua tanganmu lapang merenggang, membuat segalanya pulang.
Sejak itu, aku tabahkan tubuh, melemparnya ke kota jauh. Mengganti nama yang asa, menjadi sia-sia. Tentu, tanah tempat kita bersepeda, tak lagi hijau untuk kakiku. Maka, di kota yang begitu sesak dengan kata-kata, kurampai sisa waktu yang separuh: riak-teriakmu, lembut-rambutmu, serta senja itu, kurebas tuntas dalam dada, lalu direbus jadi puisi.
Tentang tanah tempat kita bersepeda, memeluk semesta, mengayuh doa: berbelasungkawa.
Mata Pena, Juli 2021