Ibu, Rindu Tumbuh di Labirin Dada,
Di Antara Sepasang Usia Kita
Sesuatu berdesir di labirin dadaku membentuk irama.
Mungkin rindu, mungkin pula kenangan purba.
Aku menerjemahkannya sembari mengatur ulang
rencana perjalananku yang sibuk, dan menempatkan
hari pertemuan denganmu di daftar paling atas.
Di kepalaku tak hilang–bahkan akan terus menebal
catatan tentang masa kanakku yang lugu
yang tekun engkau basuh dengan hangat doa-doa subuh,
mendampingiku menjadi besar dan tumbuh
dalam tumpukan peristiwa pada sepasang usia kita,
sepasang usia yang kerap memburu dua perihal
berbeda; usiaku mengejar–menuju dewasa,
sedang usiamu menjelma wajah renta
dan ada kekhawatiranku terselip di dalamnya,
meski kurahasiakan.
Di damai bola matamu, ada yang terang menyala,
kendati hitam putih cuaca kerap menyerangnya.
Di sanalah, kutahu, engkau menyimpankan banyak harapan bercahaya, yang membuatku
semakin jatuh cinta, kepadamu.
Permohonanmu melahirkan perisai menghalangi
cuaca buruk melukaiku.
Ada yang terus menjejak di ingatan,
mengetuk pikiranku berulang serupa penanda,
ketika banyak hal mulai mengancam
membuatku, hampir, lupa; engkau,
yang kusebut dan kupelihara sebagai mimpi,
akan terus menjadi mimpi.
Keberadaanmu ruang teduh tempatku pulang,
meski sepasang usia kita telah melewati
bentang perjalanan gelap dan terang.
Mengenai Cinta
/1/
Cinta tumbuh di telaga matamu yang menggenang.
Aku ikan terus berenang, bertemu masa kanak
yang lembut dan tenang.
/2/
Cinta dan hatimu serupa rumah pulang dengan
pekarangan teduh, tempat segala biji kasih sayang
tumbuh sempurna dan perdu.
/3/
Cinta juga doa; kita diajarkan tabah di dalamnya,
untuk tetap kuat berjalan menuju pulang, ke arah senja.
/4/
Cinta adalah puisi yang tak henti ditulisi dan dieja,
yang tak pernah habis kata-kata. Senantiasa merekah
sebagai kuntum bunga di wajah tanahmu yang tua.
/5/
Tentang bijaksana, ada yang selalu mengajarkan kita
serupa guru. Lagi-lagi, cinta.