KANDANG MENJANGAN MENGGUGAT
Otakmu gemetar merangkai tangkapan.
Menyuntingnya, bahkan sebelum menyusunnya.
Seakan aku bukanlah hal konkret
dan kau perlu membangunku.
Aku bukan kandang menjangan.
Mana ada menjangan perlu rumah
berbentuk vagina, berkursi satu, berlantai dua.
Masyarakat pun tahu, hingga akhirnya
menamakanku Panggung Krapyak.
Namun, kautahu bukan,
makhluk hidup mestilah bernafas.
Dan adakah selain pentas
yang pantas kunafaskan?
Aku ingin segera ada
supaya tawaf pengelana tak sia-sia.
Ayo, lekas usaikan kerjamu,
Bangun aku, bangun aku.
(2023)
Baca juga: Ode untuk Martir Pengetahuan
MENJANGAN-MENJANGAN HUTAN KRAPYAK
1/
Sehelai kain sampur berenang-renang di udara
belantara hutan selatan berusaha lestari di ingatan kami.
Panjang kainnya membentangi sela pohonan,
memenuhi atap hutan hewan-hewan pada heran.
Ia mendekat. Alangkah percayanya kami
terhadap keanggunan serta kehalusannya,
kala ia naungi, ia tangkup, dan ia peluk
tubuh-tubuh kami.
Barulah ketika kaki-kaki kami tak lagi bertapak bumi,
risau tumbuh di hati. Dan bukankah telah terlambat?
Perlahan ia putari, ia lilit, dan ia bungkus
tubuh-tubuh kami.
Dibawanya kami semua naik ke langit.
Air mata kami jatuh, menjelma hujan
menusuk-nusuk hati hutan.
2/
“Jangan bersedih, Hutan,”
sesosok wanita, dengan sutra hijau membebat tubuhnya.
Dari betisnya menguar aura ayu bangsawan. Tampak
dadanya tak terlalu berusaha ‘tuk pikat siapa saja.
“Siapa kau?”
Wanita itu tersenyum.
Ia turunkan tangannya hingga menyentuh tanah, pun lutut dan kakinya.
Di posisi njengking itu, sutra di seluruh tubuhnya bersinar dan terbakar.
Seperti daun ditusuki cahaya. Jalar api ‘kan melingkar dan melebar,
setiap yang dilewati jalarnya, ‘kan alami kelahiran kedua.
Jadilah telapak wanita itu keras dan kotak, pun tangannya.
Kulitnya yang bersih dan mulus menjadi kuning dan berbulu.
Dadanya hilang dan datar, sementara putingnya berpindah
ke bawah, bertambah jumlahnya.
Sampailah jalar itu pada lehernya,
tanggungkan elok wajah manusia
sempurna menjangan.
Yang tak diketahui hutan adalah
jangan pernah percaya pada kecantikan.
Ia tak pernah tahu, kelak dirinya ‘kan dibabat
menjadi rumah bagi adegan dan juga peran.
Kami tentu tahu, sebab di sini,
semua tampak jelas. Dan bukankah
pengalaman adalah sebaik-baik pelajaran?
(2023)
Baca juga: Puisi “Doa Pengembara”
JOLANG[1] DAN SUJANA[2]
Di hari hilangnya, sang istri berkata
: Jolang sempat membuka bahasan terkait pengolahan daging menjangan
dan cuaca terlampau ceria ‘tuk sekedar bayangan turun hujan.
Di hari hilangnya pula, orang-orang Panggung berkata
: konon, kumis kiri Raden Jolang sempat terangkat,
disertai mulut yang mencuih, sebelum sehelai kain hijau
mencekik lehernya. Naik ke langit.
Tak lama petugas kerajaan tiba dan tanyakan duduk perkara.
Datanglah mereka, istri Jolang dan orang-orang panggung itu.
Namun, tiap kali mulut mereka terbuka, ‘tuk bercerita yang sebenarnya,
tenggorokan tetiba menyempit, terasa seakan terdapat kain yang melilit.
Jadilah dari sekian banyak kata di dunia,
kata kecelakaanlah yang keluar dari mulut mereka.
Dan kini Jolang miliki nama baru,
nama panggung: Panembahan Seda Krapyak.
169 tahun setelahnya, datanglah Sujana
ke tempat terakhir kali Jolang
mengangkat kumisnya.
Sehelai kain sampur berkibar, dan berkata
: akankah kau juga menolak topi putih untuk proyek pembangunanku?
Sujana mengangkat kumis.
Setelah mulutnya mencuih, ia menjawab
: demikiankah cara menolak nama panggung darimu?
Sampur hijau itu memutar diri, mengembus angin, menyibak reranting,
membawa serta dedaun dan pasir. Melalui pendar kilau hijau, keluarlah
paras ayu sesosok wanita, tersenyum pada Sujana;
dan Sujana terbangun, basah.
Esoknya didatangkanlah pandai mimpi.
Pada Sujana, ia menjelaskan
: tak ada lagi yang perlu dijelaskan, Yang Mulia.
Beberapa mimpi tak menyimpan misteri.
Jadilah bangunan itu berdiri.
Bangunan yang kini gemar kita tawafi.
Sujana menerima pujian atasnya.
Sedang di kolong langit,
para menjangan merana
bersama Jolang.
(2023)
Baca juga: Puisi “Istirahat dan Pelukan Ibu”
SURAT WASIAT PAK CAMAT
Sebelum kepergiannya tiga bulan lalu,
Pak Camat menulis:
Aku mesti menceritakan ini.
Meski khawatir berakhir busuk dan malang
seperti para menjangan juga Raden Mas Jolang.
Aku mesti menceritakan ini:
Wanita Selatan mengunjungi kantorku suatu hari.
Ia ajukan naskah. “Selamat siang, Pak.”
Aku tahu maksud kedatangannya.
“Sekarang ini, kaki lautmu tengah berpijak di sebuah kantor
kelurahan, bukannya lembaga penerbitan.”
Aku mengangkat kumis kiriku dan mencuih.
Ia hanya mengerling.
Matanya mata biru yang hijau.
Kedalaman laut mengubang di sana.
Sampur mengibar keluar menyala-nyala.
Jadilah kumesti membaca naskah itu.
Dan kalian berhak tahu, sejatinya,
Kandang Menjangan tak pernah menggugat.
(2024)
______________________
[1] Raden Mas Jolang atau Anyakrawati, susuhunan kedua dari Mataram
[2] Raden Mas Sujana atau Sri Sultan Hamengkubuwana I, raja pertama Kesultanan Yogyakarta
______________________
Penulis: Abdillah Danny
Editor: M. Naufal Waliyuddin