• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sabtu, 18 Oktober 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Puisi

Hikayat Seorang Lelaki yang Bersikejar dengan Matahari

Sayidina Ali Karamallahu Wajhah

Yohan Fikri M by Yohan Fikri M
16 Februari 2021
in Puisi
0
Hikayat Seorang Lelaki yang Bersikejar dengan Matahari

https://unsplash.com/photos/C8HVCiuu8c0

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Hari masih bermandikan gulita dan jalanan Makkah

semasih lelap dalam tidurnya, tetapi lelaki itu sudah berbanjur peluh

menyibak pedut-kabut yang menyaput dingin shubuh

—berkejaran dengan laju matahari.

 

“Siapa yang akan tiba lebih lekas? Langkah kaki yang bergegas

seperti ingin memangkas jarak ataukah lidah matahari

yang nanti julur meninggi setegak tombak?”

 

Bunyi derap terompah yang terburu juga dengus napas

yang menggebu, seakan siratkan damba paling doa:

“Semoga saat nanti kaki ini tiba, masih dapat hamba cegat

laju salat di simpang rakaat pertama.”

 

Namun, di tengah langkahnya yang tergesa, ia malah terhadang

seorang lelaki tua yang berjalan amat lamban sebagai siput memikul cangkang

merambat di pucuk-pucuk batang ilalang, pagi hingga petang.

Maka, diperlambatnyalah langkah kaki sebab ia mengerti

bahwa pada yang tua ia musti takzim sebagai akhlak karim paling intim.

 

Sedang di penghujung rukuk, Allah telah mengutus Jibril

tuk menyampirkan sayapnya di punggung Muhammad, dan Mikail

agar menghalau singsing matahari supaya tak segera terbit meninggi,

“Semua itu demi kau, Ali! Sungguh hanya demi Kau;

sahibunnur dalam hati yang kalis dari takabbur!”

 

Ia terkejut ketika sampai di ambang pintu masjid,

lelaki tua itu tak masuk, dan malah terus berjalan terbungkuk ke arah ufuk.

“Adakah ia tak seiman denganku?” tanyanya kepada matahari

yang tak memberinya sepatah pun jawaban, kecuali

hanya seterik isyarat yang menyuruhnya lekas menyusul rakaat.

 

Gading Pesantren, 2021

  

Hikayat Umar dari Paruh Burung Ushfur

  • Sayidina Umar Radhiyallahu Anhu

 

“Barangkali, selain tulang ekor, yang tak akan musnah dilumat mulut tanah,

adalah cinta. Sebab cinta, tak lain ialah detak jantung agama.”

 

Di gelap singup alam barzakh, Ia barangkali tak lebih dari jenazah,

tertimbun segunduk tanah. Nyali setajam mata sebilah jenawi

kini kilatnya telah raib seakan menjelma pisau majal,

setelah dikafani oleh ketakutan paling putih.

Dan Ia, Sang Singa Padang Pasir itu hanya mampu menggigir

digerinda rasa khawatir bila nanti bernasib naas dihajar Munkar dan Nakir.

 

Syahdan, dahulu, Ia pernah memerdekakan seekor burung mungil

yang malang nasibnya dicencang seorang anak kecil.

Ia sungguh iba —sungguh hanya iba. Karenanya, Ia membeli si burung malang

dengan harga yang cukup lapang untuk mengganti rasa kehilangan di dada anak itu.

Lalu, seraya tersenyum lega, Ia melepasnya agar bebas mengepak

sepasang sayap dan terbang tinggi menembus langit lazuli.

 

“Sadarkah, Kau? Bahwasanya di sela paruh burung ushfur yang kau

selamatkan nasibnya itu, telah tersemat sebiji kurma yang pelepahnya

kelak bakal menaungi tubuhmu ketika di sorga?”

 

Selepas Ia wafat, sebiji sesawi pun tak pernah ia sangka bahwa

amal baik yang hanya secuplik, rupanya telah menyentuh welas Tuhan paling Rahman.

Sehingga Ia selamat dari banat gada malaikat, dan terbang melanglang ke sorga.

Hingga suatu hari, burung itu berkicau merdu dalam mimpi para ulama,

merawiceritakan sirah kesalamatanmu, dan mendendangkan hikayat lewat

tembang kasih sayang dari hatimu, tatkala banyak orang hanya mengingat

nyalang mata pedang serta begar zirah perang bila mengenangmu.

 

Gading Pesantren, 2021

 

Hikayat Sebuah Pelarian

 

Dalam sunyi perut ikan paus, Yunus bin Mata mendengar

denyut jantung ikan yang telah menelannya, seperti berteriak serak

menyumpah-serapahinya. Ia lalu terkenang akan firman Tuhan

yang mengutusnya agar nyalakan pijar lentera,

menyibak gelap-kabut yang telah lama selimuti Nainawa.

 

Namun, Ia merasa tak kuasa —sungguh merasa tak kuasa

bila musti mengemban firman yang kadung disampirkan Tuhan

di tampuk pundaknya. Maka, berlayarlah Ia ke laut,

berharap dengan begitu, terlarung segala kalut dan rasa takut.

 

Tetapi, dari dermaga kota Jaffa menuju Tarsis, langit adalah ular

yang tak henti mendesiskan badai, angit ribut membuat laut

menjelma rambut kusut. Sedang, meski jangkar telah dilempar,

layar telah diturunkan, serta kurban-kurban juga telah dilangitkan,

dendam kesumat badai semasih saja sukar dilerai.

 

“Adakah yang lebih mampu melukai dada Tuhan, selain utusan

yang melarikan diri dari takdirnya?” Dan takdir, satu-satunya yang tak kuasa Ia anulir.

Undian yang dilempar para awak kapal, telah menjatuhkan namanya

sebagai pecundang yang musti dibuang demi selamatkan nyawa penumpang.

 

Masih Ia ingat jelas, maut yang nyaris merajahi seluruh tubuhnya

merupa air yang mengepung seisi rongga dadanya. Tetapi, Tuhan rupanya tak begitu

saja melepasnya. Kini, dalam sunyi perut paus yang menelan nasibnya,

kedua telapak tangannya tertangkup meratapkan doa-doa,

dan setiap air mata yang bercucurun dari matanya, menjelma

sesal paling azali, sehingga langit menyimak trenyuh dan Tuhan pun mengamini.

 

Kini, Ia tersadai di dataran tandus bagai seonggok kapal yang lapuk dipiuh waktu.

Sebatang pohon labu telah ditumbuhkan Tuhan, tambun lagi berair

untuk menyusui nasibnya yang ringkih digerus lapar dan dahaga, serta

kelalaian yang telah menjerumuskan langkahnya. “Kembalilah ke Nainawa, Yunus!

Serukan arah dan perintah kepada mereka yang buta dan tak mengerti

bagaimana kiri dan kanan semestinya dibedakan!” Dan Yunus pun pergi ke Nainawa,

berbekal sebatang tongkat yang terbuat dari firman Tuhannya.

 

Gading Pesantren, 2021

Tags: ali bin abi thalibkisah nabikisah sahabatnabi yunusUmar bin Khattab
ShareTweetSendShare
Previous Post

Surat Terbuka untuk Sunyi

Next Post

Tuntunan Merayakan Bulan Asmara ala Jomblo

Yohan Fikri M

Yohan Fikri M

Mahasiswa di Pendidikan Bahasa, Sastra Indonesia dan Daerah, Universitas Negeri Malang. Bergiat di Komunitas Sastra Langit Malam. Puisinya dimuat di berbagai media dan antologi bersama dan menjuarai berbagai kompetisi menulis puisi. Dapat dihubungi melalui akun instagramnya @yohan_fvckry.

Artikel Terkait

Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
Puisi

Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya

7 September 2025

Ketika Kita Sama-Sama Telanjur Tinggal kau mengikat sepatumu di teras aku mengikat napas agar tidak membentur kalimatmu di antara kita...

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
Puisi

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya

14 Agustus 2025

Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya setiap malam ia menyetrika tubuhnya di depan kaca mencari lipatan-lipatan yang membuat lelaki itu malas pulang...

Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
Puisi

Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya

3 Agustus 2025

Hisap Aku hingga Putih bulan merabun serbuk langit bebal pohon dan batu tak bergaris hitam coreng malam yang sumuk punggung...

Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
Puisi

Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya

20 Juli 2025

Status Baru Ibu Ia tidak menangis di depan siapa pun. Tapi aku tahu, ada yang basah tiap kali ia mencuci...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Dari Pesisir

Dari Pesisir

12 Agustus 2021
Seorang Lelaki dan Sungai

Seorang Lelaki dan Sungai

3 Januari 2022
Nanda dan Kisah Pilunya

Nanda dan Kisah Pilunya

19 Juli 2021
People vector created by vectorpocket - www.freepik.com

Metropolis Berduli

12 Desember 2021
Proses Menuju dan Lika-Liku Menjalani Hidup di Jerman

Proses Menuju dan Lika-Liku Menjalani Hidup di Jerman

17 Desember 2021
Kenapa Lagu Jawa Trending Terus Di Youtube? Ini Jawabannya

Kenapa Lagu Jawa Trending Terus Di Youtube? Ini Jawabannya

17 Maret 2022
Ode untuk Martir Pengetahuan: Puisi-puisi Moch Aldy MA

Ode untuk Martir Pengetahuan: Puisi-puisi Moch Aldy MA

11 Januari 2023
Gambar Artikel Pecel Lele Batas Kota

Pecel Lele Batas Kota

8 November 2020
Resolusi Parmin

Resolusi Parmin

6 Februari 2021
Kidung Rindu

Kidung Rindu

11 Juni 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.