Hari masih bermandikan gulita dan jalanan Makkah
semasih lelap dalam tidurnya, tetapi lelaki itu sudah berbanjur peluh
menyibak pedut-kabut yang menyaput dingin shubuh
—berkejaran dengan laju matahari.
“Siapa yang akan tiba lebih lekas? Langkah kaki yang bergegas
seperti ingin memangkas jarak ataukah lidah matahari
yang nanti julur meninggi setegak tombak?”
Bunyi derap terompah yang terburu juga dengus napas
yang menggebu, seakan siratkan damba paling doa:
“Semoga saat nanti kaki ini tiba, masih dapat hamba cegat
laju salat di simpang rakaat pertama.”
Namun, di tengah langkahnya yang tergesa, ia malah terhadang
seorang lelaki tua yang berjalan amat lamban sebagai siput memikul cangkang
merambat di pucuk-pucuk batang ilalang, pagi hingga petang.
Maka, diperlambatnyalah langkah kaki sebab ia mengerti
bahwa pada yang tua ia musti takzim sebagai akhlak karim paling intim.
Sedang di penghujung rukuk, Allah telah mengutus Jibril
tuk menyampirkan sayapnya di punggung Muhammad, dan Mikail
agar menghalau singsing matahari supaya tak segera terbit meninggi,
“Semua itu demi kau, Ali! Sungguh hanya demi Kau;
sahibunnur dalam hati yang kalis dari takabbur!”
Ia terkejut ketika sampai di ambang pintu masjid,
lelaki tua itu tak masuk, dan malah terus berjalan terbungkuk ke arah ufuk.
“Adakah ia tak seiman denganku?” tanyanya kepada matahari
yang tak memberinya sepatah pun jawaban, kecuali
hanya seterik isyarat yang menyuruhnya lekas menyusul rakaat.
Gading Pesantren, 2021
Hikayat Umar dari Paruh Burung Ushfur
- Sayidina Umar Radhiyallahu Anhu
“Barangkali, selain tulang ekor, yang tak akan musnah dilumat mulut tanah,
adalah cinta. Sebab cinta, tak lain ialah detak jantung agama.”
Di gelap singup alam barzakh, Ia barangkali tak lebih dari jenazah,
tertimbun segunduk tanah. Nyali setajam mata sebilah jenawi
kini kilatnya telah raib seakan menjelma pisau majal,
setelah dikafani oleh ketakutan paling putih.
Dan Ia, Sang Singa Padang Pasir itu hanya mampu menggigir
digerinda rasa khawatir bila nanti bernasib naas dihajar Munkar dan Nakir.
Syahdan, dahulu, Ia pernah memerdekakan seekor burung mungil
yang malang nasibnya dicencang seorang anak kecil.
Ia sungguh iba —sungguh hanya iba. Karenanya, Ia membeli si burung malang
dengan harga yang cukup lapang untuk mengganti rasa kehilangan di dada anak itu.
Lalu, seraya tersenyum lega, Ia melepasnya agar bebas mengepak
sepasang sayap dan terbang tinggi menembus langit lazuli.
“Sadarkah, Kau? Bahwasanya di sela paruh burung ushfur yang kau
selamatkan nasibnya itu, telah tersemat sebiji kurma yang pelepahnya
kelak bakal menaungi tubuhmu ketika di sorga?”
Selepas Ia wafat, sebiji sesawi pun tak pernah ia sangka bahwa
amal baik yang hanya secuplik, rupanya telah menyentuh welas Tuhan paling Rahman.
Sehingga Ia selamat dari banat gada malaikat, dan terbang melanglang ke sorga.
Hingga suatu hari, burung itu berkicau merdu dalam mimpi para ulama,
merawiceritakan sirah kesalamatanmu, dan mendendangkan hikayat lewat
tembang kasih sayang dari hatimu, tatkala banyak orang hanya mengingat
nyalang mata pedang serta begar zirah perang bila mengenangmu.
Gading Pesantren, 2021
Hikayat Sebuah Pelarian
Dalam sunyi perut ikan paus, Yunus bin Mata mendengar
denyut jantung ikan yang telah menelannya, seperti berteriak serak
menyumpah-serapahinya. Ia lalu terkenang akan firman Tuhan
yang mengutusnya agar nyalakan pijar lentera,
menyibak gelap-kabut yang telah lama selimuti Nainawa.
Namun, Ia merasa tak kuasa —sungguh merasa tak kuasa
bila musti mengemban firman yang kadung disampirkan Tuhan
di tampuk pundaknya. Maka, berlayarlah Ia ke laut,
berharap dengan begitu, terlarung segala kalut dan rasa takut.
Tetapi, dari dermaga kota Jaffa menuju Tarsis, langit adalah ular
yang tak henti mendesiskan badai, angit ribut membuat laut
menjelma rambut kusut. Sedang, meski jangkar telah dilempar,
layar telah diturunkan, serta kurban-kurban juga telah dilangitkan,
dendam kesumat badai semasih saja sukar dilerai.
“Adakah yang lebih mampu melukai dada Tuhan, selain utusan
yang melarikan diri dari takdirnya?” Dan takdir, satu-satunya yang tak kuasa Ia anulir.
Undian yang dilempar para awak kapal, telah menjatuhkan namanya
sebagai pecundang yang musti dibuang demi selamatkan nyawa penumpang.
Masih Ia ingat jelas, maut yang nyaris merajahi seluruh tubuhnya
merupa air yang mengepung seisi rongga dadanya. Tetapi, Tuhan rupanya tak begitu
saja melepasnya. Kini, dalam sunyi perut paus yang menelan nasibnya,
kedua telapak tangannya tertangkup meratapkan doa-doa,
dan setiap air mata yang bercucurun dari matanya, menjelma
sesal paling azali, sehingga langit menyimak trenyuh dan Tuhan pun mengamini.
Kini, Ia tersadai di dataran tandus bagai seonggok kapal yang lapuk dipiuh waktu.
Sebatang pohon labu telah ditumbuhkan Tuhan, tambun lagi berair
untuk menyusui nasibnya yang ringkih digerus lapar dan dahaga, serta
kelalaian yang telah menjerumuskan langkahnya. “Kembalilah ke Nainawa, Yunus!
Serukan arah dan perintah kepada mereka yang buta dan tak mengerti
bagaimana kiri dan kanan semestinya dibedakan!” Dan Yunus pun pergi ke Nainawa,
berbekal sebatang tongkat yang terbuat dari firman Tuhannya.
Gading Pesantren, 2021