PERTEMUAN KITA
untuk pertemuan kita
aku menyebutnya pertemuan para pertapa
yang merampungkan ayat-ayat sunyi.
malam meniadakan kita
walau komar memancar di daundaun akasia
kita bicara dengan kepekaan rasa yang paling purba
untuk percakapan kita ini
aku lebih suka menyebutnya pertemuan tukang jampi
karena kata-kata kita seperti mantra.
saat pagi, saat kopi turun dari tangan istri
kita merapikan wajah kita
menjadi wajah bayi
bicara seperti kiyai
barangkali aku menyebutnya pertemuan para nabi
karena kata dan adab akan ditulis dalam kitab
lalu kita tersenyum
mengumpama diri
jadi nabi.
Tanjung, 2015
WANITA ITU SUDAH TAK DAPAT BERSEMBUNYI
musim mangga kali ini wanita itu sudah tak dapat bersembunyi
daun yang gugur telah berganti buah yang sedang mekal
seperti pada perutnya yang makin mekar.
adalah silam saat hujan, saat malam
ia melukis sejarah dari gairah yang parah
setelah perkelahian malam itu ia bersumpah tak kan kembali
karena berdiri di bawah mangga itu, seperti dalam tungku
pada kekasih yang mengabaikannya, yang tak menikahinya
ia meminta mangga ditebang agar hilang segala kenangan.
tapi kini, usai isa, saat hujan, seperti waktu silam, setiap hari ia datang
memungut mangga muda, mangga yang selalu membuat tidurnya terjaga
mangga yang mulanya selalu menggairahkanya dalam pelukan
kini menggairahkannya di meja makan.
buah mangga mulai memerah, juga hari-harinya mulai dijarah
dijarah oleh ketakutan. Buncit yang tak bisa dielakkan
mangga muda di meja makan dengan sabar berkabar
dan rahasianya terbongkar.
Tanjung, 2014
DARI FOTO YANG KAU KIRIMKAN
dari foto yang kau kirimkan ku lihat kau duduk
pada sebuah kursi di pekarangan negeri jiran
pada matamu kau menggelayutkan genang
pada kantung matamu menyimpan sisa malam
apa kau dijarah hingga darahmu tak lagi merah
apa perapian di tubumu telah dipadamkan hingga tak ada lagi gairah
tak perlu kau bicara
dari foto yang kau kirimkan aku bisa melihat duka.
pulanglah
sebelum kami menangis darah.
Tanjung, 2014
AKU MASIH MELIHAT WANITA ITU
: Eko Wahono
aku masih melihat wanita itu
bersembunyi di kantung matamu
malam merabukinya jadi jejak rindu:
rindu yang kau panen dalam setiap semedi
tempat dimana kau selalu bersama
kini menjadi semacam luka dan setumpuk dendam
menjadi semacam hidangan di meja makan
tapi kau tidak mengutuki waktu
kau menerimanya seperti teman yang selalu mengejekmu
kau tertawa dalam penjara bayang-bayang
juga tangis yang selalu menggerimis di hatimu
setiap kali kau pulang dengan sekantung untung
aku melihat darahmu seperti dihisap
maka tak kuasa kau membuka pintu
karena kesunyian kamar memburumu sampai ke kalbu
wanita itu tak ada lagi disitu, di dapur, di kasur, di depan tv juga di depan almari
yang selalu melipat bajumu usai mencumbui mimpi-mimpi
kini kau selalu bicara tentang dia
sampai kau lupa entah berapa kali kau mengulangnya
datang malam kau tenggelam
dalam separuh jiwa menuju silam
dan separuhnya dalam ketakutan
Tanjung, 2014
GADIS MASOCHIST
saat aku menjumpaimu, kau bicara tentang luka
luka yang membuatmu bahagia
kau berkisah bagaimana jarum membuat sejarah
bagaimana api membuat jejak
lalu kau katakan bentuknya seindah sajak
pada tubuhmu.
kukatakan kau bukanlah pohon gaharu
karena luka ia mengirim aroma surga
gadis masochist
gadis yang bicara sadis
izinkan aku menitip rindu dan cemburu
pada semut api yang sengaja kau biarkan
memenuhi bak mandimu
maka tiap malam kuberdoa
semoga tuhan mengutukiku
jadi kalajengking gurun
menyengatmu sampai ke jantung
barangkali dengan begitu
aku bisa tetap membahagiakanmu.
Tanjung, 2014
PESAN IBU KEPADA MENANTUNYA
“anakku kemanapun suamimu pergi, jangan terlalu kau sesali
kau tetap saja disini, merapikan kenangan
yang ia tinggalkan. kelak ia akan kembali juga
karena waktu dengan segala rahasianya
akan tetap membututinya. kalau tidak hatinya yang kalah
maka tubuhnya bagai pelepah pisang yang patah.
jika sudah demikian, ia akan datang minta perhatian
meyerahkan diri tanpa harga diri
menyerahkan hidup tanpa pernah menuntut
anakku aku tahu perasaanmu, kau harus tahu
bahwa seorang isteri akan lelah menahan amarah
dan waktu mengajarkan dan memaksanya berpasrah
seorang isteri tampak seperti wanita yang sabar dan tabah
tapi sesungguhnya ia tak pernah bersabar
hatinya bagai api yang terus berkobar
ia hanya lelah, dan lelah membuatnya tampak tabah.
anakku ia pasti kembali
karena hanya lelaki tua dan tak berdaya yang bisa setia.”
Tanjung, 2015