Kepada sinar redup
Katakanlah, engkau hanya sejenak tertidur
Membelai kelopak-kelopak kuncup
Piuh-pilin cahaya mengucur,
Kepada sayup nan kian mengecup
Gemerlap bumi bukanlah lawanmu
Pendar-peri, janganlah pudar
Sorot cahaya paling terangmu
Agar pandang tak buyar,langkah laju tak
Sukar…sukar..
Bersinarlah..
Selayaknya purnama, seharusnya Aurora
Sepijar Venus, sebening Mars berkalung Phobos-Deimosnya
Begitulah kiranya senandung yang selalu dirindukan bumi
Pada kerajaan bimasakti yang terus berdiri
Di angkasa, dalam lukisan abadi Sang Ilahi..
Paralayang, 1 Maret 2016
Rumput Liar, Menancap Padat, Duduk, Gemerlap Lampu Kota,
Kelap-Kelip Ruang Bicara, Asing—menembus batas ismaya; Kepadaku, diri bertanya :
Didalam secangkir kopi,
Merenang peluh petani menagih janji
Ampas kecut barista mewah meruah ulah
Sepah-sepah basah
Meja-kursi, langit-langit, audio musik,
Satu mulut beradu ke mulut lain
Mengetok palu tanpa puisi
Dialektika semacam asap rokok yang dikepulkan laring ke udara
Menjelma sublim, lantas bertanya :
Pada ke mana tanah dan sawah yang kutanam sayah-sayah?
Kasta Kopi, 3 Maret 2021
Metafora Anak Alam
Apa yang dapat mengubah debu menjadi angin syahdu?
Mereka bilang, Desaku
Saat pekarangan tumbuh di pelipis mata, subur di tanah hati, elok di ranah laku.
Apa yang lebih garang dan panas dari sinar sebilah mentari?
Mereka bilang, Desaku
Saat gubuk-gubuk merobek tuna, menerawang jendela dunia,
menancapkan kreatifitas bagai paku.
Apa yang lebih hangat dari uap secangkir kopi di malam hari?
Mereka bilang, Desaku
Saat lukisan alam tak termakan rayap teknologi,
mendekap keserawungan penuh arti, mewarnai hari-hari dengan
kesederhanaan serta angan di dalam hati.
Katanya, desanya mengajarkan lebih dari apa yang orang-orang serukan
Katanya, metafora alam semesta lebih berarti daripada
melimpahnya harta yang mengumpat raga
Katanya pula, itulah tempat ia lahir dan mati
Ya disana, di desanya..
Gubuk Ekalaya Jabung, 10 Maret 2018