• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Senin, 18 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Cerpen

Mimpi Reyot

Anam Mushthofa by Anam Mushthofa
2 Juli 2021
in Cerpen
0
Mimpi Reyot

http://www.agimsulaj.com/Vignette/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Pukul 12:00 siang ia baru bangun dari kasur kardus tipis hasil mulung kemarin sore. Biasanya ia selalu bangun pagi-pagi sekali sebelum matahari terbit, sebelum sekawanan ayam keluar kandang mencari makan, dan sebelum embun hilang di dedaunan. Namun kali ini ia benar-benar kesiangan dan orang-orang di sekitar pun hanya abai tak membangunkan karena dari segi pakaian dan wajahnya sudah lusuh–mungkin orang di luar dirinya mengira ia adalah gelandangan yang tak mempunyai tujuan hidup. Selepas bangun ia segera membereskan kardus lalu pergi, tanpa pamit.

“Sialan, orang-orang pasti sudah mengira aku adalah gelandangan. Gara-gara semalam kejebak hujan.” Gumamnya dalam hati sambil berlari kecil.

Sembari berjalan di bawah matahari dan menenteng kardus ia tak henti-hentinya mengibaskan tangan ke pakainnya dari ujung kerah sampe celana pendek yang robek. Ia berusaha menyeimbangi bayangan yang di sampingnya, melewati ruko-ruko yang penuh bicara, melintasi pedagang-pedagang yang penuh suara. Wajahnya sedikit tersenyum miring membelah keramaian. Sedangkan pasar harus ia lewati dan tinggalkan dini hari untuk menyambung hidup dari waktu ke waktu.

Ia mencoba berjalan lebih pelan lagi untuk pulang dan mengingat-ingat malam serta hujan deras yang mengguyur di waktu itu. Satu langkah dua langkah bercumbu dengan panas, memeluk debu-debu jalanan, bersenggama dengan suara kendaraan yang berlalu-lalang, matanya menatap tajam merekam jalanan, kaki-kakinya yang telanjang berteman akrab dengan aspal-aspal kota.

Langkahnya terkulai lemah membaca jalan yang biasa ia lalui di pagi atau sore sepulang memulung. Ia memikirkan anaknya. Terbayang wajah anaknya yang semalam ditinggal lapar dan hujan, beberapa kecemasan memenuhi relung pikiran tapi untuk berlari agar cepat-cepat sampai rumah masih bingung dan penuh keraguan. Ia tak berhasil membawa cita-cita anaknya untuk makan kenyang nan enak. Ia gagal membawa surga untuk masuk ke rumahnya. Berkali-kali ia menggerutu pada langkah kakinya yang terus-menerus berjalan mengimbangi permainan Tuhan, bahwa hari ini sarapan pagi harus digabung dengan makan siang. Rasa syukur atas hidup harus ia bagi dengan anak semata wayangnya.

Jalan menuju rumah liarnya sangatlah tidak layak untuk mimpi-mimpi orang kaya: penuh lubang dan genangan comberan berhari-hari. Tidak layak untuk dilewati oleh sepatu-sepatu pantofel yang mengkilap dan berdecit saat digosok. Jalan itu hanya berteman ramah dengan kaki-kaki yang senasib dengan mas Onto, yang berangkat pagi menggendong harapan dan pulang sore membawa kenyataan hanya untuk makan.

Sejak saat itu, jalanan menjadi asing dari segala keriuhan kota. Hanya angin dan panas yang berlalu-lalang ketika siang hari. Jika malam tiba, hanya sekumpulan gelap yang bertengger dan lampu redup di ujung gang serta beberapa tikus, kecoa, dan kucing liar yang saling mondar-mandir menyibak malam. Dan memang alangkah baiknya jika malam tak sering hujan, sehingga malamnya tak sibuk menambal lubang-lubang kecil bekas atap yang bocor. Atau mentadahinya dengan ember. Dan jika panas menerpa, seluruh isi rumah hanya bisa memanggil-manggil angin dari banyak arah atau secarik kardus saja untuk dikibaskan di bagian badan.

Mas Onto terus berjalan menebas panas, membelah laju angin, mencipta bayang-bayang sempurna di depannya. Keringat perlahan mengelus halus wajahnya lalu turun menyapu bagian lehernya yang kemudian berulang kali diusap oleh legam kulitnya.

“Dari mana saja, Mas?”

Sebelum menuju rumahnya yang liar, ada sebuah bangunan rumah yang sedikit terbawa modernisasi. Dihuni oleh buruh pabrik dengan istri dan satu anak. Kebetulan saja hari itu sedang libur bagi buruh. Biasanya rumah itu sangatlah sepi di jam-jam menuju terik matahari menyengat panas. Dengan kaki telanjang dan pakaian lusuh, ia berhenti lalu mendongakkan kepalanya.

“Dari pasar, Mas.” Dengan kerutan senyum dan wajah yang dipaksa ramah.

“Sini, Mas, mampir dulu,” ajaknya sambil membersihkan kursi depan yang sedikit berdebu.

Karena tak enak hati, ia sedikit membagi waktu untuk tetangganya yang lumayan jauh dari keadaan rumah sambil memikirkan, apa yang harus ia lakukan setelah pulang nanti.

“Maklumlah, buruh pabrik jadi kursinya banyak debu. Berangkat pagi pulang petang seperti itu-itu saja. Jadi gak sempet bersihin kursi, apalagi di depan rumah kaya gini.” Tuturnya sambil menyulut rokok.

“Ya gak papa, Mas,” tanpa menoleh, ia hanya sibuk melihat rumahnya yang kecil dari kejauhan.

“Semalam waktu gerimis kaya ada anak kecil berjalan di depan bolak-balik. Pas saya tengok dari jendela, gak ada.” Sambungnya mencari bahan obrolan, “dari pasar jualan atau apa, Mas?”

“Saya gelandangan, Mas… intinya apa saja saya kerjain asalkan itu benar dan gak mengganggu orang lain.” Lalu diam dan menunduk memikirkan anak kecil yang diceritakan, jelas itu adalah anak semata wayangnya yang menunggu sosok bapaknya pulang.

“Berarti bukan gelandangan, dong, Pak.”

“Tapi orang-orang seperti menganggap saya gelandangan.” Sambil mengangkat kepala dan menatap tajam wajahnya, ia lanjut membahas, “Acap kali mereka memandang dengan tatapan sinis ke saya. Tak tahu apa yang sedang dipikirkan orang-orang tentang keadaan saya. Atau mungkin wajah dekil dan kaos lusuhnya, yah….” Jawabnya lugas sembari senyum.

Sekarang keadaan pikiran dan hatinya benar-benar belingsatan memikirkan anaknya. Posisi duduknya mulai gelisah. Rasanya ingin pamit dan langsung berlari menuju rumah.

“Ya sudah, Mas, saya pamit dulu.” Dengan muka sedikit kalut dan terburu-buru, ia bangkit dari duduknya lalu berjalan agak pelan meninggalkan tetangganya.

“Ya sudah,” jawabnya sedikit heran.

Rasa gelisah dan khawatir mengiringi jalannya yang tinggal beberapa meter lagi sampai. Badannya yang penuh keringat ketakutan dan dadanya yang sedikit sesak mengkhawatirkan. Ia terus melangkah satu per satu seolah kakinya sedang mengeja jalanan yang panas.

Bayangan anaknya terselinap dalam lumbung benaknya. Berenang riang menyelami harapan. Terakhir kali ia dengar ketawanya yang ringan saat dirinya bercerita almarhum ibunya yang suka berbicara pada tetumbuhan. Bayangan itu benar-benar lekat mengarungi pikirannya, membangkitkan kekuatan untuk berjalan lebih cepat. Kini ia tak lapar lagi, pikirannya yang ramai dengan bayangan anaknya adalah sarapan yang mengenyangkan.

“Ilma,” sambil mengetuk pintu triplek yang sedikit bercelah dan keropos.

Tak ada jawaban dari dalam. Wajahnya kembali bingung dan khawatir kembali datang.

Tok tok tok!

“Ilma…”

Ia dorong pintunya dengan sisa-sisa tenaga ternyata pintunya tak terkunci.

Melihat Ilma tergeletak di bawah keranjang, ia langsung berlari merebahkan tubuhnya merangkul anak semata wayangnya lalu dibopong dibawa ke atas ranjang. Wajah anaknya sedikit memucat dan terkulai lemah. Deru nafasnya letih menyapu halus telinga. Sambil memandangi wajah anaknya ia kembali menyelami bayangan anaknya sewaktu riang bercerita tentang cita-citanya.

“Bila nanti besar, aku ingin jadi ibunya orang-orang pemulung seperti halnya Kartini bagi martabat perempuan-perempuan Indonesia,” ucapnya sambil senyum polos kepada bapaknya.

Air matanya tak kuasa ditahan saat memandangi wajah anaknya. Bulir air matanya jatuh dan menetes lembut di pipi sang anak yang lekas membuatnya sadar.

“Pak…” ilma pun terbangun dan suaranya terdengar letih.

Esok hari dan seterusnya, seorang bapak dan anak semata wayangnya akan bertarung lagi dengan kehidupan. Mengeja panas aspal jalanan, dan sekali waktu tersenyum bersama-sama seolah meledek kemiskinan yang mendera mereka.[]

Tags: anakbapakcerpengelandanganhiduporang tua
ShareTweetSendShare
Previous Post

Perempuan di Mata Asghar Ali Engineer

Next Post

Beruntung Kita Selalu Bisa Melihat Sisi Baik dari Setiap Bencana

Anam Mushthofa

Anam Mushthofa

orang pinggiran yang ingin terus menulis

Artikel Terkait

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
Cerpen

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 Juli 2025

Selain rindu, barangkali kau tak punya alasan untuk apa pulang ke Palpitu. Sebuah pertanyaan tentang keadilan bagi ibumu juga belum...

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
Cerpen

Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab

11 Juli 2025

Sore seperti keliru membaca waktu, demikian orang-orang bilang tentang udara di desa Watu Rinding. Ia terlambat panas, tergesa dingin. Kabutnya...

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
Cerpen

Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib

20 Mei 2024

“Ini sudah masuk bulan Agustus, Maemuna,” ucap Dae la One sembari membongkar perlengkapan sunat miliknya. “Aku ingat dua minggu lagi...

Cerpen

Calon Kepala Desa

5 Maret 2024

Rampung sepuluh tahun jadi pegawai desa, kini tugasnya selesai. Bukan ia tidak mau berjuang lagi. Tapi ini sudah di luar...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Puisi Selamanya Laut. Kumpulan Puisi Faris Al Faisal

Selamanya Laut

14 Januari 2021
Di Atas Sebuah Kertas

Di Atas Sebuah Kertas

13 September 2021
Nona dan Seikat Bunga Merah

Nona dan Seikat Bunga Merah

10 Agustus 2021
Tips Menjaga Kesehatan Mental Anak Muda di Masa Pandemi

Tips Menjaga Kesehatan Mental Anak Muda di Masa Pandemi

7 Desember 2021
Anthony Giddens: Agensi dan Strukturasi Sosial

Anthony Giddens: Agensi dan Strukturasi Sosial

30 November 2022
Perempuan Sumba dan Budaya Kawin Tangkap

Perempuan Sumba dan Budaya Kawin Tangkap

23 Juni 2021
Alam Pikiran

Alam Pikiran

9 Juni 2021
Ya Afu, Ya Jingan!

Ya Afu, Ya Jingan!

12 Juli 2021
Pemberdayaan Perempuan sebagai Pemangku Peradaban

Pemberdayaan Perempuan sebagai Pemangku Peradaban

10 April 2022
Lapangan Tembak

Lapangan Tembak

10 Februari 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.