Sayup-sayup suara dengan nuansa mencekam menyambar daun telingaku. Iramanya mengandung ancaman. Tidak jelas dari mana asal suara itu. Berdasarkan penyelidikan singkatku, suara itu menguar dari balik hujan saat petir menyambar-nyambar.
Tapi itu hanya perkiraanku. Aku tak mau dipusingkan dengan hal demikian setiap malam saat hujan musim kemarau. Suara itu sudah seperti anting bagi daun telinga: seberapa pun buruknya, ia tetap penghias. Lantas aku kembali menarik kain tipis yang terlalu mewah untuk disebut selimut.
Beberapa menit berlalu dengan mata yang dipaksa pejam, telingaku masih sibuk menyerap tetesan hujan musim kemarau. Suaranya semakin tajam menusuk genteng rumah. Kemudian petir menyusul dengan kilatan terang dan gahar, kuduga, mengecup spitzer yang berada tepat di atas kamarku. Bohlam kuningku berkedip hebat, lalu padam.
Suara itu menggema lagi dengan nuansa lebih mencekam. Tapi bukan dari balik hujan musim kemarau, melainkan dari sisa-sisa ketakutanku yang semakin menebal.
Aku memutuskan untuk bangkit dari tidur yang belum pantas disebut tidur. Melangkah keluar kamar. Melihat sekitar. Terang. Mataku terbelalak setelah kusadari hanya listrik di rumah ini yang padam. Apakah token listrik habis? Tidak. Kemarin sore aku memastikan masih menggunakan meteran listrik analog. Artinya kelistrikan di rumah ini tidak mengandalkan token, yang bisa padam sewaktu-waktu.
Aku melangkah menuruni tangga untuk memastikan tombol meteran listrik tidak condong ke tanda off. Merayap dalam gelap. Meraba dinding yang dingin. Tidak ada lilin dan lupa di mana terakhir kali kuletakkan telepon genggamku. Aku terus berjalan dengan mengandalkan mata kaki—kali ini kau pemimpinnya, bisikku kepada mata kaki.
Terdengar samar suara langkah kaki-kaki kecil seperti sedang meloncat-loncat. Dari suaranya, kuperkirakan telapak kakinya tidak lebih lebar dari kaki bayi manusia. Aku yakin akan hal itu. Tapi tidak bisa kupastikan makhluk apa gerangan dengan keahlian meloncat-loncat dalam kegelapan. Aku tidak memedulikan lebih lanjut. Apa pun makhluk itu, pasti tidak mengancam.
Meteran listrik semakin dekat jika merasakan temperatur dinding. Semakin dingin, maka semakin dekat dengan luar rumah. Meteran listrik berada di luar rumah, tepatnya di balik pintu utama.
Siluet garis pintu mulai terlihat. Syukurlah penglihatanku perlahan kembali, batinku. Sebelum kuambil langkah mantap, suara kaki-kaki kecil itu kembali mendekat. Tegas. Nyaring. Suara lompatan diperdengarkan. Whuss. Semacam siluet seekor hewan pemburu membaur dengan siluet pintu. Sekilas. Kemudian hilang dalam kegelapan.
Besarnya tidak melebihi anjing belakang rumah, dan memiliki ekor cukup panjang. Sepertinya ia melompat dari tempat yang cukup tinggi. Aku menjeda langkah. Kupastikan makhluk abstrak itu tidak mengancamku. Atau, setidaknya gerakanku tidak mengusiknya sehingga ia tidak memiliki alasan untuk menyerangku.
Ah, mana mungkin makhluk seukuran itu bisa menyakitiku, batinku. Lalu kaki kiri kutapakkan dengan mantap.
“Jangan khawatir…”
Suara terdengar jelas dan nyaring tanpa halangan, tapi tidak bernada ancaman. Suara itu seperti peringatan. Kebalikan dari suara pertama dengan gema halus tapi menusuk. Tapi dari mana suara yang terdengar belum selesai itu? Kurasa bukan dari balik hujan musim kemarau.
“Terbiasalah. Semua akan baik-baik saja.” Suara itu kembali bersambut ketika ujung jempol kaki kananku menyentuh dingin lantai.
“Siapa kau?” tanyaku mendesak.
“Aku adalah lompatan kaki-kaki kecil yang kau dengar barusan,” jelasnya.
Kakiku yang semula melangkah mantap, kini gemetar hebat. Aku mengambil langkah mundur perlahan. Aku mulai memahami bahwa suara itu berasal dari makhluk berekor yang melintas di muka siluet pintu.
“Kau tidak perlu takut. Aku bukan Ancaman. Aku adalah Peringatan.”
Persetan dengan Ancaman atau Peringatan. Keduanya sama saja di tengah kegelapan, umpatku kepada makhluk abstrak itu sembari mundur perlahan.
“Tenanglah. Kita bisa bicara baik-baik,” pintanya seperti ucapan mantanku terakhir kali. Persis.
“Baiklah. Lagi pula aku juga terdesak dan tidak bisa melihat dalam gelap,” kataku dengan gigi gemertak. “Jadi, makhluk apa sebenarnya dirimu dan apa maumu?” Aku menebak dia adalah seekor kucing dengan tubuh di atas normal.
“Yang jelas, aku bukan seekor kucing. Aku adalah Peringatan,” katanya datar tanpa irama, dan tebakan batinku disalahkan. Matanya bersinar di dalam gelap, seperti mata kucing, tapi terlalu besar untuk ukuran mata kucing.
“Setiap hujan musim kemarau tiba, aku muncul untuk memperingatkan setiap orang di rumah ini. Itulah mengapa aku disebut Peringatan,” katanya sambil melompat ke tempat yang lebih tinggi. Siluetnya mulai nampak lagi dan sinar matanya meredup sebagai konsekuensi.
“Kau ingin memperingatkanku soal apa?” tanyaku mengikuti topik pembicaraannya. Sebenarnya aku ingin sekali menanyakan kenapa perawakannya seperti kucing. Tapi tidak jadi, karena pasti tidak ada jawabannya.
“Soal suara bernada ancaman yang kau dengar, sebelum listrik padam.”
“Itu bukan suaramu? Suara yang selalu muncul setiap malam saat hujan musim kemarau turun.”
“Bukan,” jawabnya singkat.
***
Aku mendengarkan cerita makhluk abstrak tentang suara itu, sampai tanpa sadar aku sudah duduk bersila.
Semuanya bermula sekitar 20 tahun silam: sebuah peristiwa berdarah terjadi di rumah ini. Saat kekacauan, pembakaran, dan penjarahan terjadi di mana-mana. Tepat saat hujan musim kemarau turun.
Rumah ini dihuni oleh seorang wanita muda beranjak dewasa. Matanya sipit kucing. Kulitnya kuning pucat. Model pakaiannya selalu memikat mata bak gadis metropolitan. Barangkali itu yang membuatnya tetap mencolok, meski puluhan tahun lalu tidak ada lampu penerangan di punggung jalan. Wanita itu seperti kunang-kunang terakhir, yang bagi lelaki mana pun yang melihatnya akan timbul hasrat ingin memiliki.
“Apa yang terjadi kemudian?” bisikku pada diri sendiri nyaris tanpa suara, namun terdengar juga oleh makhluk abstrak itu.
“Lelaki dengan pakaian serba hitam, nyaris membaur dengan gelap, merangsek masuk ke rumah ini. Dari tingkahnya, jelas ia berniat jahat. Sejurus kemudian, lelaki itu menyekap wanita muda di sudut rumah. Lalu…” Makhluk abstrak itu menjeda cerita. Nampak siluetnya sedang menjilati kaki lalu mengusapkannya ke kepala. Aku tidak bisa tidak menyebutnya seekor kucing kali ini.
“Lalu?” tagihku dengan suara tegas.
Makhluk abstrak itu menghentikan jilatannya. Aku rasa ia tersadar ada cerita yang belum ia selesaikan. Kemudian berdiri dan meloncat dari satu tempat ke tempat lain. Ditemukannya tempat yang lebih gelap. Matanya kembali bersinar tajam. Lantas berbicara lagi.
“Kau masih tidak bisa menebak akhir ceritanya?”
“Aku ingin dengar langsung darimu, sebagai orang… maksudku makhluk… yang menyaksikan langsung kejadian itu.”
“Merepotkan,” sinisnya. “Jelas, lelaki itu memperkosa wanita muda. Ia sempat berteriak kencang dengan hentakan kaki sana-sini. Tapi ia tidak tahu bahwa sekeras apa pun teriakannya, tidak seorang pun akan datang menolongnya. Sebab, di mana-mana terjadi penjarahan dan pemerkosaan. Dan mirisnya, bukan hanya dia seorang yang mengalami nasib naas itu. Ada banyak wanita lain di luar rumah ini yang mengalami hal serupa. Namun bedanya, hanya dia yang berakhir dengan kematian,” lanjutnya dengan suara getar.
“Ouh,” aku menghela napas. Kemudian kutanyakan hubungan tragedi tersebut dengan suara yang aku dengar barusan, suara yang mengancam. Kata makhluk abstrak, itu adalah suara dari arwah wanita muda. Ia masih menuntut balas atas tragedi yang menimpanya. Suara itu akan terus menggema dan menghantui mereka yang memaksakan kehendak kepada para wanita.
Aku mengingat-ingat, sejauh ini aku tidak pernah memaksakan kehendak, bahkan punya niat buruk terhadap wanita pun tidak. Mungkin kepada pacarku—tentunya sekarang adalah mantan—yang waktu itu kucumbu habis-habisan. Jelas aku melakukan itu atas persetujuannya. Tepatnya, kami melakukan atas kesenangan bersama. Lantas, kenapa aku juga mendengar suara itu?
“Kau penghuni rumah ini, maka kau mendengarnya sebagai konsekuensi. Bukan objek ancamannya. Wanita itu sekadar ingin menunjukkan bahwa ia tetap mampu melawan meski telah dikirim ke dimensi lain,” jelas makhluk abstrak, menyela ingatan banalku.
Sekarang aku paham dan tidak perlu khawatir di setiap malam saat hujan musim kemarau. Benar metaforaku, suara itu adalah anting bagi daun telinga.
“Btw,” makhluk abstrak bersuara, “setelah wanita muda dibunuh, darahnya mengalir ke luar rumah dan diguyur hujan musim kemarau. Pagi hari, setelah reda, di depan rumah tumbuh mawar merah dengan mahkota merekah segar, tanpa ada yang menabur benih sebelumnya. Sejak saat itu, rumah ini tidak ada yang menghuni hingga kau tiba.”
Hujan musim kemarau mengurangi intensitasnya. Suara gerombolan kucing di luar rumah terdengar nyaring, saling sahut membentuk gelembung irama.
“Kurasa ada yang memanggilku. Aku pergi dulu.” Makhluk abstrak itu pamit sambil meloncat, lalu menyublim di kegelapan. Sesaat kemudian, lampu rumah menyala.[]
Yogyakarta, Agustus-Oktober 2021