Adegan Pertama
Mataku terbuka saat suara misterius itu tetiba muncul. Sekejap ada, sekejap lenyap. Aku berpaling ke samping tempat tidur. Mendadak rasa penasaranku berubah cemas ketika aku sadar bahwa ia tidak ada di sampingku. Bergegas aku menuju ke muka pintu. Dan saat hendak kubuka, tanganku tertahan karena suara misterius itu kembali muncul.
“Untuk apa kau ke sini? Cepat pergi!”
Segera kutempelkan telinga ke pintu, itu persis seperti suaranya. Tapi tidak dapat kupastikan karena suara itu seperti orang yang tersekap. Pelan. Nyaris menyatu dengan embusan angin.
“Kenapa? Apa aku salah?”
Aku terperanjat. Kali ini terdengar suara pria yang berat dan menggema. Dan tanganku yang sudah menggenggam gagang pintu lagi-lagi tertahan.
“Aku sudah punya suami!”
“Kalau begitu aku akan menemui suamimu.”
“Kau gila!”
“Sejak kau menghilang dan menikah dengan laki-laki itu, aku memang sudah gila!”
“Tolong, pergilah! Aku tidak mau ia tahu. Kami sudah bahagia.”
“Kau tidak bahagia.”
“Kenapa aku harus tidak bahagia? Dia orang sukses. Kami hidup di rumah mewah, aku punya mobil dan perhiasan, aku bisa beli ini dan itu!”
“Karena kau masih mencintaiku!”
Mendadak percakapan itu hilang. Suasana lengang. Dengan cepat aku menarik gagang pintu. Dan saat pintu itu terbelalak, mataku juga ikut membelalak. Bibirnya yang merah serupa darah beradu dengan bibir kering seorang pria yang tak kukenal. Jantungku sesak. Aku nyaris pingsan.
Adegan Kedua
Pintu itu masih tertutup rapat. Jantungku semakin sesak dan pengap. Beberapa menit yang lalu kamar ini terasa begitu damai. Hangat dan penuh kasih sayang. Namun, dengan sekejap semuanya sirna, beralih menjadi ruangan kelam nan mencekam. Kulirik jam dinding di tepi lemari pakaian, suara dentuman jarum detik semakin menambah kesuraman. Pindah kutatap cicak di langit-langit kamar, satu-dua terhenti, menatapku penuh iba.
Kini suara itu terdengar semakin jelas. Nyaring dan membahana. Aku terduduk di atas kasur sambil mendengarkan ocehan mereka yang seperti anjing kelaparan.
“Aku mohon, cepat pergi dari sini!”
“Kenapa aku harus pergi? Dia sudah melihatnya. Ayo, kita mulai semuanya dari awal lagi.”
“Aku tidak akan meninggalkannya!”
“Untuk apa kau mempertahankan laki-laki seperti itu? Dia tidak lebih dari seorang pecundang. Bahkan saat istrinya bersama laki-laki lain pun, ia hanya sembunyi di dalam kamar.”
Suasana kembali lengang. Aku berdekam di atas tempat tidur.
Apa yang dikatakan pria itu tentu saja benar. Tidak selayaknya aku memilih diam dalam situasi seperti ini. Di mana tanggung jawabku sebagai seorang suami? Tapi apa yang bisa kulakukan untuknya? Perjanjian itu masih berlaku. Dia sendiri yang membuat surat pranikah dan menulis di nomor kesekian bahwa aku tidak boleh mencampuri urusan pribadinya, pun sebaliknya.
Jadi, apa yang harus kulakukan sekarang?
Adegan Ketiga
Langit malam kian mencekam. Udara dingin menusuk-nusuk tubuhku. Kubuka sepasang jendela lebar-lebar, membiarkan embusan angin malam masuk dan membawa udara kamar yang busuk. Kupandangi langit luar, oh, sama pekat dan kelamnya dengan perasaanku sekarang.
“Haha… kau bodoh!”
Aku terkejut. Kuamati setiap sudut kamar. Tak ada yang mencurigakan. Kulirik ke luar. Hening.
“Apa aku berhalusinasi?” tanyaku dalam hati.
Tentu saja dalam rungan ini hanya ada aku, detak jam dinding dan seekor cecak. Cecak? Aku menoleh ke langit-langit kamar.
“Bukankah kau mencintainya?”
Hah? Benarkah cecak itu yang berbicara?
“Kenapa kau malah diam di balik pintu sedangkan istrimu bersama laki-laki lain? Lakukanlah sesuatu!”
“Apa?”
“Tonjok saja wajahnya!”
“Itu tidak mungkin. Aku tidak akan melanggar janjiku!”
“Dia juga sudah melanggar janjinya.”
“Janji apa?”
“Janji pernikahan kalian, bodoh!”
Aku terdiam.
“Sekarang kau buka pintu itu dan lihat apa yang sedang dilakukannya!”
Entah kenapa aku malah menuruti ucapan cecak itu. Bergegas aku menuju pintu dan perlahan membukanya. Sengaja aku tidak membukanya lebar, hanya sebatas cukup untukku mengintip. Sekelebat tangan kasar pria itu mendarat di pipi Ningsih, meninggalkan bekas merah. Aku hendak membuka pintu lebih lebar lalu keluar menghajar pria itu. Sayangnya tubuhku tiba-tiba membatu. Bibirku juga kelu. Semakin kuat aku berusaha bergerak, semakin terasa remuk seluruh tubuhku.
Adegan Keempat
Sebuah ketukan pintu menyadarkanku dari mimpi yang aneh. Ketukannya berulang-ulang hingga menciptakan melodi yang menawan. Dengan lunglai aku berjalan mendekati pintu. Namun, ketika aku sudah lebih dekat, ketukan itu terdengar begitu seram. Aku segera menarik tubuh kebelakang. Menjauhi pintu itu.
“Buka pintunya, Jamal!” ujar suara perempuan.
“Sampai kapan pun Ningsih tidak akan mencintaimu. Ia terpaksa karena tak ingin melukai hati kedua orang tuanya!” timpal suara laki-laki.
Aku mendadak gamang.
“Ceraikan dia sekarang juga. Biarkan dia hidup bahagia bersamaku!”
Tiba-tiba suara perempuan memenggal, “Tidak! Jangan dengarkan dia, Jamal. Aku mencintaimu! Sungguh!”
Langkahku tidak berhenti bergerak mundur. Suara mereka lebih seram dari apa pun yang paling seram. Aku berusaha menutup telinga rapat-rapat. Seketika itu suara mereka mendadak hilang. Suasana kembali sepi dan senyap. Entah adegan apa lagi yang sedang mereka lakukan di balik pintu itu.
Tidak lama sebuah ketukan kembali muncul. Ketukan yang sama seperti sebelumnya. Berulang-ulang dan lembut. Sayup-sayup suara lirih terdengar.
“Tolong buka pintunya, Jamal. Aku mencintaimu.”
Pontang-panting aku naik ke atas ranjang. Lantas menutup telingaku dengan sangat rapat. Jika memang benar ia mencintaiku, kenapa ia tidak pernah mencoba membukanya. Padahal pintu itu tak pernah sekali pun aku kunci.[]
Baguuusss …
Keren, aku baru tahu ada judul cerpen seperti itu, dan amazing .. Bisa jadi inspirasi nih.