Sebagian dari kita mungkin sering mendengar bahwa negara Indonesia merupakan negara beragama—bahkan bisa jadi kita sendiri dari sebagian itu. Negara religius yang mengakui identitas agama bagi warganya. Bukti dari slogan atau simbol yang dipaparkan tersebut bisa dilihat secara langsung di ruang publik seperti media masa online atau offline, di ranah sosial seperti keluarga, sekolah, kampus, dan lain-lain.
Dengan mudah kita bisa menemukannya di KTP (Kartu Tanda Penduduk) dan KK (Kartu Keluarga) yang pasti tercantum kolom agama. Setiap mengadakan kegiatan, pasti berdoa dengan background agama yang dianutnya. Sepulang sekolah pun, masih diharuskan ‘sekolah’ agama hingga malam hari bagi anak-anak Muslim. Orang Kristen mengikuti kebaktian di hari Minggu. Kurikulum pendidikan di Indonesia mencantumkan religiusitas sebagai karakter yang harus diajarkan kepada anak didik. Bahkan di Indonesia sendiri terdapat satu daerah yang menetapkan syariat Islam.
Hanya saja, jika diperhatikan lebih saksama, kebanyakan dari orang-orang tersebut hanya memakai agama sebagai cover atau luarannya saja. Kecenderungan kita dalam beragama lebih mementingkan ritual atau legal formal, tetapi sayangnya justru menunjukkan etika dan etiket yang kurang patut. Sepertinya, bukan hal yang memalukan lagi ketika ada berita persekongkolan korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat yang bahkan sebelumnya telah disumpah oleh Kitab Suci di televisi atau media daring.
Tulisan Salman Habeahan dalam Kompas menunjukkan fakta yang begitu miris: sepuluh negara dengan tingkat korupsi yang paling tinggi terjadi di negara yang diklaim paling agamis. Berbanding terbalik dengan negara yang bersih dari korupsi, yang ternyata negara sekuler.
Seperti angin lalu saja ketika kita melihat persekusi yang dilakukan oleh kaum “mayoritas” terhadap kelompok marginal. Pemuka agama menafsirkan kitab suci sesuai dengan kepentingan dirinya dan kelompoknya saja hingga tak jarang menimbulkan perselisihan. Kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan keluarga yang dilakukan oleh oknum keluarga sendiri bukan hal yang tabu untuk dibicarakan. Berita pelecehan seksual yang dilakukan oleh pemuka agama bukan lagi sesuatu yang dianggap aib. Kabar terbaru yang cukup ramai adalah adanya sekolah yang mewajibkan siswi non-muslim untuk berjilbab. Padahal jika ditelusuri, sekolah tersebut merupakan sekolah negeri yang ada di bawah Kemendikbud, bukan di bawah naungan Yayasan tertentu.
Hal-hal yang disebutkan sebelumnya adalah sebagian kecil dari bentuk ironi dan ekspresi ketidakadilan yang sayangnya selalu berlindung di balik jubah agama tertentu. Sayang sekali intensitasnya semakin masif seiring bergulirnya waktu. Sangat berbeda dengan esensi agama itu sendiri.
Sebelum jauh, perlu dipahami bahwa agama, dalam penelusuran saya, terdiri dari dua kata: “A” dan “Gama“. A memiliki arti “tidak” dan Gama berarti “kacau”. Mudahnya, agama berarti tidak kacau. Dengan beragama, seharusnya kehidupan berjalan dengan tenang, benar, dan lurus. Definisi ini rasanya menjadi antitesis dari realitas masa kini. Realitas-realitas yang telah dipaparkan sebelumnya.
Keagamaan yang mengarah konservatif dari agama-agama besar di dunia terbagi dalam kelas dan ilmu, elite dan massa, kaya dan miskin, ulama dan awam, cermin kesalehan dan janji surga. Tentu hal ini sangat berlawanan dan tidak sesuai dengan bentuk keagamaan publik yang sangat terbuka bagi seluruh manusia, yang mana kita bisa melihatnya dalam sejarah risalah kenabian semua agama.
Jika perlu diingatkan, hampir semua nabi diturunkan di wilayah konflik yang mana terdapat kesenjangan di lingkungan masyarakatnya. Yesus lahir ketika bangsa Yahudi dijajah dan dikuasai oleh Romawi dengan Herodes sebagai pemimpinnya. Kelahiran Yesus telah dinubuatkan jauh sebelum masehi. Orang Yahudi selalu berharap datangnya Mesias yang akan menjadi juru selamat mereka.
Tuhan di Perjanjian Lama menjanjikan pembebasan dosa dengan mendatangkan Mesias. Namun, yang Yahudi harapkan adalah pembebasan dari penjajahan. Dengan kelahirannya ini, Yesus memiliki misi untuk membebaskan penderitaan atas ketidakadilan dan kesenjangan yang terjadi di masyarakat pada masa itu. Bahkan Yesus menjadi simbol perjuangan dan pengorbanan sendiri untuk menyelematkan umat manusia dan membimbingnya menuju upah surga.
Tujuan utama Al-Qur`an yang dibawa oleh Jibril kepada Muhammad adalah menegakkan sebuah tata masyarakat yang adil, berdasarkan etika dan asas egaliterian. Terlihat dari celaannya terhadap ketidakmerataan ekonomi dan ketidakadilan sosial di Mekkah pada masa itu. Dengannya, orang-orang tercegah dari melakukan penyebab bencana di atas bumi dan tenggelam ke dalam kemerosotan akhlak. Resistensi lainnya adalah monotheism yang dibawa oleh Nabi Muhammad sebagai respon dari merajalelanya politheism.
Oleh karena itu, misi Islam sebagai agama yang dibawa oleh Nabi Muhammad adalah untuk menyamaratakan manusia. Tiada lagi kasta perbedaan. Nabi Muhammad menjadi rahmat bagi seluruh alam. Jika di hari ini banyak manusia yang mengaku sebagai umatnya melalukan kebalikan dari apa yang beliau bawakan, lantas apakah benar mereka merupakan bagian umatnya?
Sejatinya jika kita ingin melakukan ritual kegamaan, yang perlu diingat bukan hanya dalam bentuk hafalan tanpa mengimplementasikannya dalam laku kehidupan sehari-hari. Contohnya seperti kita mengetahui perintah untuk berlaku adil. Berlaku adil merupakan hal yang begitu sulit untuk dilakukan. Apalagi mengingat manusia memiliki kecenderungan serakah. Adil di sini tentu harus diupayakan dalam segala hal. Manusia perlu untuk mengusahakan lahir batin agar selalu bersikap adil sesuai dengan tuntunan agama dan etika moral yang berlaku pada masa itu.
Contoh yang lebih spesifik, ketika seseorang dimintai bebersih atau wudlu’ sebelum melakukan ibadah, alangkah baiknya dipahami juga membersihkan kandungan internal diri, yakni hati. Bukan hanya bentuk verbal dan jasmani saja, namun juga esensial dan rohaninya. Perwujudan dari pentingnya wudlu’ tercermin pada baik dan benarnya tingkah laku yang diekspresikan di kehidupan sehari-hari.
Sepanjang yang penulis pahami, pada masa kini ritual keagamaan lebih mengarah pada formalitas. Praktik agama yang dilakukan serasa terasing dari problem objektif umat dan peradaban. Para pemuka agama yang mengumbar janji surgawi dalam setiap ceramah agamanya terlihat hanya seperti hak yang dihegemoni elite agamanya sendiri. Ironisnya, ihwal begini terasa tidak terbuka bagi kalangan awam ilmu agama.[]
Rujukan:
Abdul Munir Mulkhan. 2020. Teologi Kiri: Dari Teologi Individual Menuju Teologi Sosial, Yogyakarta: IRCiSod.