Sastrawan asal Kalkota, India, Rabindranath Tagore pernah mengungkapkan, “the highest education is that which does not merely give us information but makes our life in harmony with all existence.” Uraian tersebut memiliki anasir yang senada dengan pengertian Ki Hajar Dewantara. Pendidikan berposisi sebagai instrumen meningkatkan kualitas individu—melingkupi multiaspek dari budi pekerti, pikiran dan jasmani—supaya mampu menuju kesempurnaan hidup agar selaras dengan alam dan masyarakat. Sementara dalam khazanah intelektual Muslim, pendidikan dikenal mengandung tiga komposisi interdependen: tarbiyah (pengembangan dan pengayoman), ta’lim (pembelajaran), dan ta’dib (pemberadaban secara komprehensif dan berada dalam spektrum yang lebih luas).
Namun agaknya realitas pendidikan masyarakat modern saat ini justru menjauh dari keharmonisan yang dimaksud. Semenjak masuknya arus globalisasi, perkembangan pesat teknologi informasi tidak terhindarkan sehingga mencapai peradaban digital. Ini dapat ditengarai bahwa di samping efek positif, terdapat pula tiga gaya hidup yang berkembang dalam diri manusia modern: pola hidup materialistis, kecenderungan hedonistik, dan budaya kecepatan. Konsekuensi yang dikenyam adalah gelombang persaingan hidup yang ketat, hilangnya ritme hidup yang perlahan (untuk menikmati dan menghirup atmosfer proses), dan karena itu manusia rentan dilanda stress—apalagi ditambah masa pandemi Covid-19 begini.
Sedangkan geliat era digital di mana manusia yang mulanya berposisi sebagai subjek pengguna peranti teknologi, kini secara ironis justru beralih menjadi objek teknologi itu sendiri. Manusia yang pada mulanya menjadwal kegiatan keseharian, sekarang bergeser menjadi objek yang dijadwal oleh gawai, umpamanya. Berpijak dari fenomena itu, maka akan wajar belaka saat menemukan diskursus Erich Fromm dalam The Art of Loving yang jauh-jauh hari sudah mewejang bahwa manusia abad modern kelak akan mengalami ketidakstabilan jiwa. Hal itu merupakan resultan dari rasa teralienasi (terasing) manusia oleh cara berpikir industrial—dengan cara kerja yang harus serba-efisien, teratur, predictable, dan mekanis. Serangkum gejala yang oleh Ritzer disebut sebagai dampak dari McDonaldisasi.
Pola yang mirip itu, tragisnya, selama ini malah diberlangsungkan secara lestari dan cukup prominen dalam dunia pendidikan modern. Manusia selaku individu yang utuh (holistic) dengan pusparagam dimensinya, dalam dunia pendidikan formal masa kini sering kali merasa tertekan oleh usaha penyeragaman dan penyamarataan. Para peserta didik dituntut agar serba-efisien, mekanis, dan teratur dalam cara pandang yang parsial.
Kecerdasan sains matematis masih menjadi idola di kalangan pendidik dan orang tua. Sedang kecerdasan lainnya, seperti sosial dan musikal, seakan dianak-tirikan dalam dunia pendidikan formal dan belum diberi ruang eksploratif secara luas. Padahal upaya ini penting agar setiap individu berkesempatan menggali potensi uniknya sesuai kecenderungan masing-masing.
Maka muncul paradigma multiple intelligences (MI) dari Howard Gardner. Sebagai antitesis dari ‘monopoli’ dan dominasi paradigma IQ, kecerdasan majemuk menawarkan cara pandang berbeda dalam menyikapi setiap potensi individu manusia—terutama peserta didik—yang variatif. Terdapat setidaknya sembilan macam kecerdasan dalam paradigma kecerdasan majemuk, yaitu: matematika, linguistik, spasial, musikal, naturalistik, kinestetik, intrapersonal, interpersonal, dan eksistensial. Di samping mencermati distingsi individual dalam ihwal potensi, paradigma kecerdasan majemuk juga menaruh perhatian kepada tipe kepandaian secara integratif. Selain peran intelektual (IQ), dalam diri individu juga menyimpan anasir emosional (EQ) dan spiritual (SQ) yang ketiganya tidak terpisahkan dan memiliki relasi mutual yang komplementer.
Cara pandang multiple intelligences, dengan demikian, menjadi krusial agar semakin diimplementasikan dalam peta pendidikan secara luas dan sistemik. Kelengkapan multipotensi manusia dalam mencapai tujuan utama pendidikan akan menjadi kurang maksimal apabila atmosfer dan lingkungan pendidikan tidak mendukung kesemua potensi tersebut. Sebuah suguhan yang tidak berlebihan apabila kecerdasan majemuk perlu mendapat sorotan lebih—dan tentunya diambil-terapkan—secara bertahap, komprehensif, untuk kemudian sustainable dan tetap berorientasi pada kebermanfaatan sosial.[]