• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Rabu, 27 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Ceriwis

Balapan yang Dibudayakan

Intan Gandhini by Intan Gandhini
20 Oktober 2021
in Ceriwis
0
Balapan yang Dibudayakan

Sumber: http://theinspirationgrid.com/editorial-illustrations-by-francesco-bongiorni/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Ini adalah kisah yang saya alami beberapa bulan lalu, saat dunia perkampusan membawa saya pada akhir semester tujuh. Sudah mendekati tugas akhir yakni skripsi. Huah, jika membahas pernak pernik bab ini pasti tidak ada koma deh.

Bagi para mahasiswa pasti akan mengalami fase sama seperti saya. Pertama adalah fase balapan mencari judul penelitian, kedua balapan menemukan lokasi penelitian yang terbilang baru, ketiga balapan seminar proposal, keempat balapan bimbingan, kelima balapan sidang skripsi, keenam balapan wisuda. Dan masih banyak balapan lain yang jika saya tuliskan mungkin keyboard laptop saya akan mencelat.

Semuanya pasti pernah mengalami atau bahkan menemui fenomena yang demikian. Meskipun ada yang kemudian tidak menyebutnya dengan balapan, namun istilah itu hanya sebuah gambaran saja dari sekian rentetan peristiwa yang saya alami.

Di awal bulan ke-sembilan tahun lalu, saya sudah menyiapkan beberapa judul untuk diajukan. Begitu pula kawan-kawan saya. Ada yang judulnya sangat eksotis, namun tertolak. Ada juga yang nyentrik, dengan berat hati juga tertolak. Ada yang judulnya hanya beberapa kata saja, tapi beruntung dan akhirnya diterima.

Proses pengajuan judul adalah gerbang utama balapan itu dimulai. Kalau istilah yang lain adalah disik-disikan atau saling mendahului. Untuk apa? Ya untuk memperjuangkan judul yang diajukan supaya cepat disetujui dan melangkah ke tahap selanjutnya.

Saat saya mengajukan rancangan penelitian, ada seseorang yang telah tiba di proses proposal. Dengan entengnya dia berkata, “Ayo cepetan ajuin judulnya, biar cepat-cepat proposalan.”

Kata ‘cepat’ nampaknya indah sekali dia ucapkan. Saya hanya membalas dengan senyuman tipis sambil melangkah meninggalkan orang itu. Tidak lama kemudian saya bertemu dengan kakak tingkat yang juga sedang bimbingan. Dengan bangga dia menyatakan, “Jangan lama-lama skripsian itu, biar cepat lulus dan bisa foto pakai toga.”

Saya hanya bergumam dalam hati: lho, lha siapa to yang sebenarnya lama itu? Bukannya situ malah nunggak satu semester? Yassalaam…

Hadeh…. Rasanya semua orang hanya pandai mengucap tanpa mengolah rasa dalam dirinya terlebih dahulu. Disitulah jiwa kritis saya muncul—karena memang terlatih untuk mengkritisi suatu hal sejak lama. Ya, sejak saya aktif di berbagai organisasi sekaligus sering mengikuti event di luar kampus, maka wajar jika saya sering mengamati hal-hal kecil sekalipun untuk dikritisi.

Semua mahasiswa memang sudah kodratnya untuk menjalani tugas akhir. Karena memang itulah yang akan menjadi penentu untuk bisa dikatakan “lulus” menjadi seorang sarjana. Dan saya yakin, mayoritas mahasiswa sudah menyadari pentingnya menjalani proses tugas akhir tersebut.

Tentang bagaimana dia memikirkan judul yang baik—yang tidak hanya asal comot judul lain saja—agar penelitiannya menjadi lebih berkualitas. Sebab banyak fenomena saya temui bahwa mahasiswa yang cepat dalam lolos seleksi judul pun sebagian besar meneliti suatu hal yang sudah umum di lingkungan sekitar.

Saya tidak bermaksud menyatakan judul-judul yang lain itu jelek lho ya, saya hanya berusaha menjelaskan bahwa dari tahap judul penelitian itu memang sudah seharusnya diupayakan agar menjadi “baik”. Supaya kelak hasil akhir dari penelitian yang kita lakukan akan terus bermanfaat untuk banyak orang. Betul apa betul?

Setelah saya mengajukan judul dan dinyatakan untuk lolos, benar saja, rasanya saya sedang mengikuti lomba lari maraton yang jarak tempuhnya tidak terbatas alias lari terus. Baru saja judul diterima, saya harus dengan segera menyusun proposal. Sama seperti statement saya di atas, bahwa semuanya serba balapan. Saya dituntut harus cepat dalam menyelesaikan setiap tahapannya.

Secara tidak langsung, aroma saling mendahului itu ternyata cukup menyengat. Apalagi saat ada yang bertanya, “Sudah sampai mana?” Wah! Serasa sedang di padang pasir—panas! Budaya seperti itu memang sudah ada sejak lama di berbagai kampus yang pernah saya amati. Bahkan memang pengerjaan skripsi itu adalah sebuah ajang pembuktian, siapa yang rajin, ya dia yang menang.

Namun apakah saling mendahului itu hal yang paling utama? Bukan. Justru di tahap penyusunan tugas akhir itu harus selalu cermat dalam meniti proses dan selalu waspada agar skripsi yang dikerjakan bisa maksimal. Tidak kemudian asal tebang teori kemudian ketika sidang jawabannya, “Maaf, saya belum paham betul”.

Apakah ada yang demikian? Banyak. Hal itu berdasarkan cerita dari pembimbing saya, untuk memotivasi diri saya supaya selalu cermat dalam melangkah. Berdasarkan peristiwa itu kemudian saya memahami. Kehidupan di dunia ini pada dasarnya memang bukan sebuah ajang balapan. Biarpun ada yang mengatakan bahwa hidup ini adalah permainan, bermainlah dan jadilah pemenang. Kalimat itu betul, tujuannya adalah agar kita memiliki daya juang yang tinggi untuk meraih kesuksesan.

Namun pernahkah berfikir, ada satu sisi yang harus turut diperhatikan. Yakni belajar mengambil sebuah hikmah dari setiap hal yang ada. Bagaimana kita menjadi pribadi yang mudah menerima—legowo—atas setiap kejadian yang Tuhan berikan kepada kita. Karena kelak, kita akan tahu betapapun Tuhan punya tujuan indah di balik segala pernak-pernik di dunia.

Dan untuk kamu yang sedang atau akan menjalani proses nyekripsi, teguhlah. Jangan biarkan orang lain mengajakmu untuk merasakan balapan dalam menyelesaikan tugas akhir itu. Semua yang kita lakukan haruslah berdasar pada kemampuan dan keyakinan hati kita. Berangkat dari dorongan internal kita sendiri. Berhenti membandingkan prosesmu dengan yang lain. Sebab mereka tidak merasakan menjadi dirimu, pun kamu tidak akan pernah merasakan menjadi mereka. So, never give up ya![]

Tags: balapan yang dibudayakanceriwisIntan Gandhinikuliahmahasiswaskripsi
ShareTweetSendShare
Previous Post

Dan Kita Asing di Depan Matahari

Next Post

Melepas Kasih dalam Balutan Sastra

Intan Gandhini

Intan Gandhini

Tinggal di Ponorogo. Penulis buku "Catatan Hati di Tengah Pandemi" dan "Stop Wishing Start Doing By Learning". Anggota komunitas Kampus Literasi, Founder komunitas Pelangi Aksara. Juara III Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional di Universitas Sumatera Utara-Medan dan Juara I Lomba Karya Tulis Ilmiah Nasional di Universitas Darussalam Gontor. Bisa disapa via Instagram @intan_ganndhini

Artikel Terkait

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?
Ceriwis

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?

22 Maret 2023

Tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Ia tidak berdasarkan riset akademis yang harus dipertanggungjawabkan. Ini mungkin, lebih tepatnya, sejenis refleksi kultural...

Seni Memahami (Diri)
Ceriwis

Seni Memahami (Diri)

11 April 2022

Saat pertama kali saya mendengar kata "hermeneutika", saya tertarik untuk tahu artinya. Namun, saya tidak sampai mencari makna. Saya mendengar...

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0
Ceriwis

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0

13 Januari 2022

Selama ini, apabila seseorang―bisa juga beberapa orang―membicarakan genduren, pasti nggak akan jauh-jauh dari kata bid’ah. Entah bagaimana ceritanya, topik genduren...

Win-Win Corruption
Ceriwis

Win-Win Corruption

30 Mei 2021

Misalnya ada maling ayam, Ponk, lantas konangan oleh salah satu warga dusun. Karena kondisi malam sepi, satu warga dusun tersebut...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Dan Kita Asing di Depan Matahari

Dan Kita Asing di Depan Matahari

11 Oktober 2021
Gambar Artikel Pendidikan Virtual : Belajar Mandiri di Tengah Pandemi

Pendidikan Virtual: Belajar Mandiri di Tengah Pandemi

20 November 2020
Gambar Artikel Belajar Mencintai Allah Secara Merdeka

Belajar Mencintai Allah Secara Merdeka

19 Desember 2020
Gambar Artikel Serba Serbi Kota Kupang. Bundaran PU.

Serba-Serbi Kota Kupang

5 Desember 2020
Tamu

Tamu

10 Juli 2022
Kebanyakan Fafifu

Kebanyakan Fafifu

3 Mei 2021
Tadabbur via Momentum Hujan

Tadabbur via Momentum Hujan

6 Maret 2022
Perjalanan dan Jarak

Perjalanan dan Jarak

19 April 2021
Anna Maria

Anna Maria

20 September 2021
Gambar Artikel Syafaat Rasul Menurut Abu Mansur al-Maturidi

Syafaat Rasul Menurut Abu Mansur al-Maturidi

3 Desember 2020
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (213)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.