Ini adalah kisah yang saya alami beberapa bulan lalu, saat dunia perkampusan membawa saya pada akhir semester tujuh. Sudah mendekati tugas akhir yakni skripsi. Huah, jika membahas pernak pernik bab ini pasti tidak ada koma deh.
Bagi para mahasiswa pasti akan mengalami fase sama seperti saya. Pertama adalah fase balapan mencari judul penelitian, kedua balapan menemukan lokasi penelitian yang terbilang baru, ketiga balapan seminar proposal, keempat balapan bimbingan, kelima balapan sidang skripsi, keenam balapan wisuda. Dan masih banyak balapan lain yang jika saya tuliskan mungkin keyboard laptop saya akan mencelat.
Semuanya pasti pernah mengalami atau bahkan menemui fenomena yang demikian. Meskipun ada yang kemudian tidak menyebutnya dengan balapan, namun istilah itu hanya sebuah gambaran saja dari sekian rentetan peristiwa yang saya alami.
Di awal bulan ke-sembilan tahun lalu, saya sudah menyiapkan beberapa judul untuk diajukan. Begitu pula kawan-kawan saya. Ada yang judulnya sangat eksotis, namun tertolak. Ada juga yang nyentrik, dengan berat hati juga tertolak. Ada yang judulnya hanya beberapa kata saja, tapi beruntung dan akhirnya diterima.
Proses pengajuan judul adalah gerbang utama balapan itu dimulai. Kalau istilah yang lain adalah disik-disikan atau saling mendahului. Untuk apa? Ya untuk memperjuangkan judul yang diajukan supaya cepat disetujui dan melangkah ke tahap selanjutnya.
Saat saya mengajukan rancangan penelitian, ada seseorang yang telah tiba di proses proposal. Dengan entengnya dia berkata, “Ayo cepetan ajuin judulnya, biar cepat-cepat proposalan.”
Kata ‘cepat’ nampaknya indah sekali dia ucapkan. Saya hanya membalas dengan senyuman tipis sambil melangkah meninggalkan orang itu. Tidak lama kemudian saya bertemu dengan kakak tingkat yang juga sedang bimbingan. Dengan bangga dia menyatakan, “Jangan lama-lama skripsian itu, biar cepat lulus dan bisa foto pakai toga.”
Saya hanya bergumam dalam hati: lho, lha siapa to yang sebenarnya lama itu? Bukannya situ malah nunggak satu semester? Yassalaam…
Hadeh…. Rasanya semua orang hanya pandai mengucap tanpa mengolah rasa dalam dirinya terlebih dahulu. Disitulah jiwa kritis saya muncul—karena memang terlatih untuk mengkritisi suatu hal sejak lama. Ya, sejak saya aktif di berbagai organisasi sekaligus sering mengikuti event di luar kampus, maka wajar jika saya sering mengamati hal-hal kecil sekalipun untuk dikritisi.
Semua mahasiswa memang sudah kodratnya untuk menjalani tugas akhir. Karena memang itulah yang akan menjadi penentu untuk bisa dikatakan “lulus” menjadi seorang sarjana. Dan saya yakin, mayoritas mahasiswa sudah menyadari pentingnya menjalani proses tugas akhir tersebut.
Tentang bagaimana dia memikirkan judul yang baik—yang tidak hanya asal comot judul lain saja—agar penelitiannya menjadi lebih berkualitas. Sebab banyak fenomena saya temui bahwa mahasiswa yang cepat dalam lolos seleksi judul pun sebagian besar meneliti suatu hal yang sudah umum di lingkungan sekitar.
Saya tidak bermaksud menyatakan judul-judul yang lain itu jelek lho ya, saya hanya berusaha menjelaskan bahwa dari tahap judul penelitian itu memang sudah seharusnya diupayakan agar menjadi “baik”. Supaya kelak hasil akhir dari penelitian yang kita lakukan akan terus bermanfaat untuk banyak orang. Betul apa betul?
Setelah saya mengajukan judul dan dinyatakan untuk lolos, benar saja, rasanya saya sedang mengikuti lomba lari maraton yang jarak tempuhnya tidak terbatas alias lari terus. Baru saja judul diterima, saya harus dengan segera menyusun proposal. Sama seperti statement saya di atas, bahwa semuanya serba balapan. Saya dituntut harus cepat dalam menyelesaikan setiap tahapannya.
Secara tidak langsung, aroma saling mendahului itu ternyata cukup menyengat. Apalagi saat ada yang bertanya, “Sudah sampai mana?” Wah! Serasa sedang di padang pasir—panas! Budaya seperti itu memang sudah ada sejak lama di berbagai kampus yang pernah saya amati. Bahkan memang pengerjaan skripsi itu adalah sebuah ajang pembuktian, siapa yang rajin, ya dia yang menang.
Namun apakah saling mendahului itu hal yang paling utama? Bukan. Justru di tahap penyusunan tugas akhir itu harus selalu cermat dalam meniti proses dan selalu waspada agar skripsi yang dikerjakan bisa maksimal. Tidak kemudian asal tebang teori kemudian ketika sidang jawabannya, “Maaf, saya belum paham betul”.
Apakah ada yang demikian? Banyak. Hal itu berdasarkan cerita dari pembimbing saya, untuk memotivasi diri saya supaya selalu cermat dalam melangkah. Berdasarkan peristiwa itu kemudian saya memahami. Kehidupan di dunia ini pada dasarnya memang bukan sebuah ajang balapan. Biarpun ada yang mengatakan bahwa hidup ini adalah permainan, bermainlah dan jadilah pemenang. Kalimat itu betul, tujuannya adalah agar kita memiliki daya juang yang tinggi untuk meraih kesuksesan.
Namun pernahkah berfikir, ada satu sisi yang harus turut diperhatikan. Yakni belajar mengambil sebuah hikmah dari setiap hal yang ada. Bagaimana kita menjadi pribadi yang mudah menerima—legowo—atas setiap kejadian yang Tuhan berikan kepada kita. Karena kelak, kita akan tahu betapapun Tuhan punya tujuan indah di balik segala pernak-pernik di dunia.
Dan untuk kamu yang sedang atau akan menjalani proses nyekripsi, teguhlah. Jangan biarkan orang lain mengajakmu untuk merasakan balapan dalam menyelesaikan tugas akhir itu. Semua yang kita lakukan haruslah berdasar pada kemampuan dan keyakinan hati kita. Berangkat dari dorongan internal kita sendiri. Berhenti membandingkan prosesmu dengan yang lain. Sebab mereka tidak merasakan menjadi dirimu, pun kamu tidak akan pernah merasakan menjadi mereka. So, never give up ya![]