• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Minggu, 17 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Inspiratif Hikmah

Sedekah Berbalas dan Kepamrihan

Ahmad Yusam Tabrani by Ahmad Yusam Tabrani
1 Desember 2020
in Hikmah
0
Gambar Artikel Sedekah Berbalas dan Kepamrihan

Sumber Gambar : https://unsplash.com/photos/roY7Lf1Zxl8

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Di pondokku dulu, pergi ke pasar untuk memenuhi kebutuhan atau sekedar membuang kebosanan biasanya diperbolehkan seminggu sekali. Kesempatan yang biasanya dimanfaatkan untuk membeli kopi, teh, gula, atau kebutuhan lain yang tidak tersedia di kantin pondok.

Ini pengalaman beberapa tahun lalu, saat aku masih sekolah setara kelas dua SMP. Mondok di daerah pantura Lamongan. Pondok yang terbilang sudah cukup tua, Tarbiyatut Tholabah nama pondoknya biasa diakronimkan dengan sebutan tabah.

Dengan kesempatan bisa keluar pondok pada hari libur seminggu sekali seperti itu, banyak anak pondok yang memanfaatkannya untuk ke pasar dan tempat-tempat yang bermanfaat lainnya, seperti ke tukang jahit untuk membetulkan baju, reparasi jam tangan, atau tukang cukur bagi mereka yang kurang percaya dengan model cukuran teman-teman di pondok yang sedikit ahli dalam mencukur. Meski tidak semua santri memanfaatkan kesempatan itu untuk hal kebaikan, seperti izin keluar dengan alasan ke pasar tapi akhirnya pergi bermain PS atau malah ke warnet. 

Dulu aku juga pernah memanfaatkan kesempatan keluar pondok seminggu sekali itu untuk pergi ke pasar. Singkat cerita, ada satu orang temanku pengen buat kopi biar nggak ngantuk. Berhubung di kantin nihil kopi, jadi kita pergi ke pasar buat beli kopi dan gula. Aku masih ingat betul, waktu itu hari Jum’at saat kita libur. Pagi-pagi sekitar pukul 9 aku dan temanku berangkat. Memakai sarung dan baju rapi dengan songkok bergaya khas santri, sambil membawa kartu tanda santri sebagai jaminan pada keamanan.

Santai saja kita keluar, berjalan kira-kira 500 meter dari gerbang pondok. Saat itu aku bawa uang sedikit lebih yang kira-kira cukup buat beli kopi dan gula. Sekalian berjaga-jaga kalau nanti harga kopi dan gula tiba-tiba naik, kita tentu enggan malu bawa uang kurang. Berjalan sekitar lima belas menit akhirnya kita sampai di pasar, langsung saja mencari toko sembako yang terlihat menjual kopi dan gula. Langsung saja aku tukarkan uang yang kita aku bawa dengan kedua komposisi itu.

Ternyata benar prediksiku, uang yang kubelikan kopi dan gula masih ada kembaliannya lima ribu rupiah. Setelah apa yang kucari telah didapatkan, aku mengantar temanku yang ingin beli sesuatu, aku agak lupa saat itu temanku beli apa. Tak berselang lama, kami sama-sama mendapatkan apa yang kami inginkan.

Kami melangkah keluar pasar, dengan wajah sumringah. Tidak jauh dari pasar ada masjid–masjid desa yang tempatnya tepat di pinggir  jalan raya. Tak tahu kenapa kok aku tiba-tiba ingat kalau tadi saat beli kopi dan gula ada kembalian lima ribu rupiah. Kebetulan saat kami lewat masjid, kami melihat kotak amal dan pada saat itu masjid sedang direnovasi.

Spontan terlintas di pikiranku, “bagaimana kalau kembalian beli kopi sama gula ini buat dimasukkan kotak amal masjid saja, itung-itung sedekah jariyah untuk pembangunan masjid”. Terbesit  seperti itu dalam benakku. Lantas kuajak temanku tadi untuk belok sebentar ke masjid buat memasukkan uang ke kotak amal. Setelah itu kita langsung balik ke pondok, ingat kalau izin keluar kita dibatasi oleh keamanan pondok.

Berjalan tak jauh dari masjid itu, sekitar 20 meter, tiba-tiba terdengar suara klakson mobil. Kita terkejut, saya kira ada yang salah dengan cara berjalan kita. Mobil itu tadi ternyata berhenti tepat di depan kami berdua. Aku kebingungan, begitu juga temanku. Tapi setelah memandang kaca mobil agak lama, kaca itu akhirnya dibuka oleh orang di dalam mobil. Aku memandangnya dengan fokus, seolah kenal wajah orang itu. 

“Sam, dari mana saja?” Sapanya kepadaku. Ah, baru ingat ternyata itu pamanku. “Ini habis habis ke pasar cari kopi dan gula.” Jawabku sambil menunduk agak malu.

Paman menyuruhku untuk mendekat, saat aku mendekat ia ternyata membuka laci mobil dan menggenggam beberapa lembar uang untuk dimasukkan ke sakuku. “Ambil ini, buat jajan di pondok.” Ucapnya setelah memasukkan uang itu ke sakuku. Aduh, makin malu saja aku. Setelah berterima kasih, tak lama pamanku melanjutkan perjalanannya. Begitupun aku dan temanku, kami terburu-buru kembali ke pondok.

Sesampainya di pondok aku langsung menuju kamar. Saat menaruh pakaian di lemari baru teringat kembali kalo tadi dikasih uang oleh pamanku. Lantas kukeluarkan, dengan niat untuk menghitung berapa jumlah uang yang pamanku tadi berikan. Pas aku keluarkan uang itu dari saku aku terkejut. “Loh kok pecahan lima ribu semua uang yang paman beri.” Besitku dalam hati. Kuhitung ada sembilan lembar pecahan uang lima ribu rupiah. 

Setelah menaruh uang dalam lemari aku baru ingat. Oh iya tadi aku sedekah lima ribu rupiah di kotak masjid. Baik sekali Tuhan, membalas amal baikku secara langsung dengan sembilan kali lebih banyak. Aku jadi berpikir-pikir, bagaimana kalo aku bersedekah lagi dengan nominal yang lebih banyak. Aku langsung kembali membuka lemari dan melihat sisa uang sakuku di laci. Kulihat masih seratus enam puluh ribu, ditambah uang dari pamanku lagi. 

Jum’at depannya, aku tak tahu apa yang ada di pikiranku. Kenapa tiba-tiba mengambil uang seratus ribu dalam lemari lagi, lantas ikut teman yang juga mau ke pasar. Pas ditanya mau beli apa, aku nggak jawab. Saat temanku masuk ke dalam pasar, aku bilang kalo mau buang air dulu. Langsung deh ke masjid memasukkan uang seratus ribu tadi ke kotak amal yang sama seperti yang Jum’at kemarin. Setelah selesai, aku langsung balik ke temanku. 

Setelah pulang ke pondok dan beberapa hari telah berjalan, tak ada kejadian mengejutkan seperti yang terjadi saat sedekah pertamaku. Dan sampai sekarang aku masih merenung, sambil terus berusaha untuk tidak menyesal ketika bersedekah di jalan Tuhan. Tapi bodohnya aku: bersedekah hanya demi pamrih mendapatkan balasan langsung seperti yang pernah terjadi. Aku menyadari bahwa tulusnya niat jadi unsur penting saat bersedekah. Hal inilah yang terus terngiang padaku sampai sekarang.[]

Tags: balasanhikmahinfaqmemberisedekahzakat
ShareTweetSendShare
Previous Post

Ternak Ilmu(wan)

Next Post

Mamak dan Kudapan Hina

Ahmad Yusam Tabrani

Ahmad Yusam Tabrani

Pemuda kelahiran Gresik, penikmat kopi tanpa glukosa. Mulai menulis sejak kuliah di UINSA Surabaya. Twitter @yusamtab dan Instagram @yusamtab.

Artikel Terkait

Tadabbur via Momentum Hujan
Hikmah

Tadabbur via Momentum Hujan

6 Maret 2022

Sebuah pepatah mengatakan bahwa barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenali Tuhannya. Namun, permasalahannya adalah tingkat kesadaran terhadap diri...

Meneladani Sufi Jenaka: Nashrudin Hoja & Keledainya
Hikmah

Meneladani Sufi Jenaka: Nashrudin Hoja & Keledainya

3 Januari 2022

Nashrudin Hoja adalah seorang tokoh sufi jenaka yang hampir sama tenarnya seperti Abu Nawas. Ia terkenal dengan kecerdasan, celetukan-celetukan dengan...

Ritual Pulang Kerja dan Manusia yang Terlupakan
Hikmah

Ritual Pulang Kerja dan Manusia yang Terlupakan

15 Juli 2021

Bagi orang orang yang bekerja from nine to five, momen pulang kerja tentu sangat ditunggu. Yang sudah hidup bersama pasangan...

Hikmah

Bahagia itu Sederhana

3 Juli 2021

Sore ini awan hitam menutupi langit yang semula cerah. Mendadak gelap dan seakan kelam. Sesekali terdengar suara guntur meski tidak...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Penjaring Ikan di Laut

Penjaring Ikan di Laut

2 April 2021
Pelabuhan Terakhir dan Puisi Buatmu

Pelabuhan Terakhir dan Puisi Buatmu

27 Juli 2021
Pulang

Pulang

22 April 2022
Mengenali Karakter Orang Lewat Tulisan Tangan

Mengenali Karakter Orang Lewat Tulisan Tangan

27 Februari 2023
Eufemisme dan Sarkasme di Era Orla, Orba, dan Oref

Eufemisme dan Sarkasme di Era Orla, Orba, dan Oref

10 Oktober 2021
Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

28 Juli 2025
Sajak Seorang Preman Sebelum Jadi Penyair

Sajak Seorang Preman Sebelum Jadi Penyair

17 Februari 2022
Korelasi Pandangan Ilmu Kalam dan Kiri Islam Hassan Hanafi

Korelasi Pandangan Ilmu Kalam dan Kiri Islam Hassan Hanafi

21 Juni 2021
Dua Lelaki

Dua Lelaki

23 April 2021
Melepas Kasih dalam Balutan Sastra

Melepas Kasih dalam Balutan Sastra

23 Oktober 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.