Andaikata kita-kita ini punya kesadaran kolektif buat menyeimbangkan antara hak dan kewajiban, memberi dan menerima, dan hal-hal timbal balik lainnya. Lalu antara satu kepala dengan kepala yang lain saling memahami, saling menghargai, sehingga perbedaan bukan sama sekali menjadi masalah. Pula untuk menyatukan perbedaan itu bukan menjadi tujuan utama. Beda ya beda saja, tinggal bagaimana membangun konektivitas antar perbedaan.
Kalimat Allah tentang kita ini diciptakan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku buat saling mengenal, selama ini cuma dipahami bahwa yang berbeda-beda dari manusia itu cuma bangsa dan sukunya. Itu pun sebagian besar orang masih plonga-plongo bila ditanya makna dan spesifikasi dari bangsa, suku, negara, ras, etnis, dll dll.
Bahwa Tuhan bikin milyaran manusia yang dengan kuasa-Nya, setiap satu dari milyaran manusia itu pasti punya perbedaan. Pasti. Entah dari segi fisiknya, pola pikirnya, keyakinannya, latar belakangnya, sampai-sampai ke tujuan hidupnya.
Bukan tidak mungkin juga kalau saja ada kesamaan satu sama lain. Sama-sama nyaman dengan paham bahwa Indonesia ini cocoknya jadi negara demokrasi. Sama-sama asyik dengan jalan hidup yang kapasitasnya dimaksimalkan untuk harta dan/atau tahta. Bahkan sama-sama mencintai, sebagaimana Aku dan Dik Kae, hehe.
Toleransi yang digagas dan dipahami orang-orang itu, mencela orang yang berbuat intoleran. Lho, katanya toleransi, kok ada orang intoleran malah dicela, dihina, hingga diuyuhi martabat hidupnya? Kok ya eman-eman tenan, Rek.
Tapi ya sudah lah, memang berharap itu seringkali menyakitkan, namun kadang ya menyenangkan. Wong kita ini cuma menjalani skenario Sutradara terbaik yang tak pernah dapat nominasi Oscar Award, yakni The One and Only, King of The King, Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Juga pemahaman atas “Karepe, kudune, nyatane” (inginnya, harusnya, nyatanya) masih saja blur. Karep yang jadi dasar sebab, harus sesuai pada akibatnya. Tuhan sebagai pemilik hak segala hal tidak diikutsertakan dalam kepanitiaan penyelenggara kehidupan. Lantas kalau harapannya tidak sesuai dengan kenyataan, menyesal lah. Misuh-misuh, marah, menyalahkan orang lain, mencela diri sendiri, dan seterusnya. Pengen hasil baik tapi tak siap dengan hasil yang buruk.
Sama halnya dengan quotes “Badai pasti berlalu” dan pernyataan senada yang bisa ditemukan di timeline motivator di media sosial. Tapi entah ketlingsut atau bagaimana, “Hari yang cerah juga pasti berlalu” tidak turut serta untuk populer. Bahwa kita bersiap untuk cahaya, dan setelah cahaya itu datang, akan ada kegelapan lagi. Apa-apa yang terjadi ini dinamis, lho.
Makanya kita bilang “Ihdinas shirathal mustaqim“, biar apa-apa yang kita tempuh dan apa-apa yang menempuh kita bisa konsisten atau istiqomah. Menanam kebaikan bisa konsisten, memupuknya bisa konsisten, menyiraminya bisa konsisten, dengan jalan yang sebijaksana mungkin, agar keindahan-Nya bisa kita capai.
**
Duduk-duduk metingkrang di pinggiran Malioboro, adalah ibadah yang selalu bikin kangen. Bersama sahabat sekaligus murid saya, Mohammad Ainu Rizqi , selalu membawakan seperangkat alat mbambung berupa tembakau dan kopi. Ngobrol sana-sini mulai dari puisi, musik, hingga rabi.
Maka malam minggu di Malioboro adalah malam yang punya potensi besar untuk mengeluarkan pisuhan-pisuhan seperti jancuk, asu, bajingan, dan kawan-kawannya. Sebab meski kami sama-sama punya “Yhang-yhangan“, ada keirian romantisme yang ditunjukkan Tuhan melalui lalu-lalang muda-mudi yang bergandengan tangan, saling bersandar berduaan di kursi, atau sekadar lewat bersepeda motor dengan mesranya. Sebab kami ini terpisah jarak dengan Yhang-yhangan kami di rumah.
Playlist yang berisi musik-musik dari Eric Clapton, The Beatles, John Mayer, sampai ke Iwan Fals, Emha Ainun Nadjib, dan Umm Kultsum turut menemani di setiap konsorsium itu. Tak jarang juga, pemaknaan kami terhadap beberapa tokoh dan karya-karyanya turut menyertai bahan obrolan.
Ada satu lagu yang ingin saya bahas dengannya, tapi tiba-tiba ada konflik internal yang menyerang hati Ainu, yang berakibat pada lamanya jeda waktu kami untuk bisa mbambung kembali di Malioboro atau Alun-Alun Utara. Sabar saja, Bung, ini takdirmu untuk meningkatkan optimalitas kedua tangan dan jari-jemarimu agar lebih lincah dan terampil—dalam menulis.
Judulnya “Isn’t It a Pity“, bikinan Om George Harrison di album solonya. Kalau judulnya di-Indonesia-kan mungkin jadi “Bukankah itu sayang?”, tetapi kurang mantap. Maka saya pilih “Apa tidak eman-eman?” agar mantap saja. Ya, meskipun maknanya sama saja.
Sebagaimana judulnya, maka jangan eman-eman dengan bandwith internetmu untuk memutar lagu ini di platform musik favoritmu, entah Youtube ataupun Spotify Mod yang bisa premium tanpa keluar duit sedikitpun. Cari dan putar sekarang!
Isn’t it a pity
Now, isn’t it a shame
How we break each other’s hearts
And cause each other pain
How we take each other’s love
Without thinking anymore
Forgetting to give back
Isn’t it a pity
Manusia ini kan sudah dibekali-Nya akal dan hati, kok ya tidak dimanfaatkan sebaik mungkin. Malah menyalahkan dan mendayagunakan “nafsu” untuk memperalat khalayak ramai. Menghancurkan martabat, tujuan hidup, dan hati satu sama lain. Bikin konflik antar-hati yang tak sudah-sudahnya berakhir. Kalau saja berakhir satu konflik, itu pun terulang kembali dengan konflik yang lain. Apa tidak eman-eman?
Merasa paling berhak buat menerima perhatian, kasih sayang, dan keistimewaan sebagai manusia mulia, tapi tidak mau berbuat demikian terlebih dahulu. Ingin dicintai, tapi tarekat hidupnya cuma membenci dan membenci. Tidak ingin jatuh martabatnya, tapi mainboard hidupnya selalu ingin menjatuhkan orang lain. Hanya ingin menerima, tapi tidak memberi. Tiada lagi akal disitu, yang ada cuma nafsu. Apa tidak ngisin-ngisini?
Some things take so long
But how do I explain
When not too many people
Can see we’re all the same
And because of all their tears
Their eyes can’t hope to see
The beauty that surrounds them
Isn’t it a pity
Ketidaksadaran dalam menyia-nyiakan seperangkat alat hidup itu semakin menjadi-jadi. Atau mungkin juga dinamis, mengikuti perkembangan zaman. Inti perusakan dan kerusakannya tetap sama, meski kini jalannya mengatasnamakan modernitas. Apalagi orang Indonesia ini, sangat sukar dipahami maunya seperti apa. Mungkin review terhadap orang Indonesia dari Pak Emha Ainun Nadjib dalam sebagian besar tulisannya seringkali kita jumpai. Bagaimana ruwet dan nggatheli-nya orang Indonesia.
Dan tanpa kesadaran pula bahwa meski manusia-manusia itu heterogen, ada pula kesamaan dalam diri mereka. Kesamaan untuk berpotensi menjadi baik atau buruk, Muslim atau Kafir, pecinta atau pembenci, dll. Setelah dan seiring perusakan yang tiada hentinya, tangislah yang menyertai bola mata obyek yang merasa dirugikan.
Maka atas tidak adanya kesadaran-kesadaran tersebut lah, tiada pula harapan untuk berorientasi pada keindahan. Jangan dulu ke keindahan deh, kalau saja pelaksanaan kebaikan tidak ditarekati dengan kebijaksanaan. Oh, atau jangan ke kebijaksanaan dulu, kalau berbuat baik saja tidak mau. Apa tidak eman-eman? Kebenaran diumbar-umbar dan ditabrakkan satu sama lain.
Dengan ketidaksadaran atau mungkin pura-pura tidak sadar itu semua, akankah keindahan yang diharap-harapkan menjadi puncak kehidupan semua manusia itu terwujud? Coba kita bertanya pada rumput yang bergoyang.
Gak eman-eman ta, Rek?
Tulisane samean apik2 mas bro