• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Rabu, 27 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Inspiratif Hikmah

Meneladani Sufi Jenaka: Nashrudin Hoja & Keledainya

M. Naufal Waliyuddin by M. Naufal Waliyuddin
3 Januari 2022
in Hikmah
0
Meneladani Sufi Jenaka: Nashrudin Hoja & Keledainya

Ilustrasi Nashrudin Hoja (Sumber gambar: https://www.mediastorehouse.com.au/)

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Nashrudin Hoja adalah seorang tokoh sufi jenaka yang hampir sama tenarnya seperti Abu Nawas. Ia terkenal dengan kecerdasan, celetukan-celetukan dengan spontanitas yang brillian, dan cerita-cerita humor lainnya yang sarat perenungan tentang nilai-nilai kebijaksanaan hidup.

Sosok yang disebut sebagai orang bijak sekaligus sufi ini bukanlah tokoh fiktif. Ia benar-benar ada. Sufi satirikal ini diperkirakan hidup dan meninggal pada abad ke-13 di daerah Akshehir, dekat Konya, semasa Dinasti Seljuk dan bahkan pernah dekat dengan Timur Lenk—pemimpin kejam yang sempat menyerbu dan menduduki Turki pada masa itu.

Bukti keberadaannya dapat dilihat dari makam dan patung monumen Nashrudin yang ada di Akshehir, Konya. Selain itu, telah ada perayaan secara internasional bernama Nasreddin Hodja Festival yang diselenggarakan setiap tahun antara tanggal 5-10 Juli di kota tempat tinggalnya.

Dalam rentang waktu hingga kini, ia muncul dalam ribuan cerita yang beredar dibawa udara, hingga melintasi batas-batas ruang, waktu, rezim dan kekuasaan. Terkadang ia tampil selaku orang bijak dan pandai yang memberikan anekdot-anekdot cerdas, namun tak jarang pula Nashrudin bersikap ‘bodoh’ atau menjadi bahan lelucon masyarakat dalam kisahnya.

Sementara salah satu kisahnya yang perlu diperdengarkan ke generasi sekarang—karena muatan refleksi yang dikandungnya masih relevan dan penting—ialah cerita “Nashrudin, Anak dan Keledainya”.

***

Di suatu waktu, Nashrudin bersama puteranya hendak melakukan perjalanan jauh nan panjang. Mereka berdua membawa seekor keledai dan lantas berangkat pergi. Tiba di desa pertama yang mereka lalui, orang-orang setempat ternyata menaruh perhatian kepada mereka.

Ada yang melempar komentar sembari menahan tawanya, “Bsst.. haha! Hei, lihat mereka, kedua orang itu bodoh. Mereka punya keledai tapi tak menungganginya. Dasar dungu.”

Putera Nashrudin ternyata mendengar bisik-bisik warga tersebut. Sebelum sempat mengadukan ke ayahnya, segera Nashrudin langsung menyuruh anaknya itu agar naik ke keledai dan melanjutkan perjalanan bersama lagi.

Tiba di desa kedua, para penduduknya juga menusukkan pandangan mereka ke tiga musafir yang melintasi desa mereka. Beberapa ada yang mencibir, “Woo, dasar anak tak tau diuntung! Tega betul situ enak-enakan pakai keledai, bapaknya sendiri dibiarkan jalan kaki menuntunnya.”

Sang anak tak enak hati mendengar ucapan yang menusuk itu. Ia lekas turun dari keledai, dan mempersilakan ayahnya naik ke punggung kendaraan hidup tersebut. Nashrudin menurut saja tanpa berkata-kata sama sekali. Kini anaknya yang menuntun keledai dan ayahnya.

Lanjutlah mereka pergi ke desa ketiga. Orang-orang dengan pakaian yang berbeda memenuhi pemandangan. Suku yang beda dengan sebelumnya. Namun sikap mereka nyatanya sama. Terlontar salah satu teriakan dari seorang warga sambil menangkupkan tangan di depan mulutnya seperti corong, “Hooyy, Pak…. Jangan egois jadi orangtua! Kasian tuh, anakmu kepanasan dan capek menuntun. Dasar egois!”

Mereka bertiga geleng-geleng. Lalu memutuskan keduanya naik ke atas punggung keledai yang tubuhnya kecil itu. Meneruskan perjalanan yang melelahkan.

Sesampainya di desa keempat, mereka melalui pasar. Ramai orang-orang berseliweran dan saling mengocehkan suara-suara. Tawar-menawar. Tapi di sela-sela berisiknya pasar, banyak orang yang mengacungkan telunjuknya kepada mereka sambil berceloteh, “Hei, kalian, tega-teganya menaiki satu keledai ringkih itu dengan beban dua orang. Tak punya kasihan!”

Makin lama dirasa, makin frustrasi saja Nashrudin. Akhirnya, ia seketika turun dari punggung keledai, mengajak anaknya ikut turun, dan langsung memberikan isyarat ke anaknya, “Nak, sini, bantu aku!”

Maka, di tengah-tengah pusat perjual-belian di desa tersebut, akhirnya Nashrudin dan anaknya langsung menggendong keledai—yang beraut ragu dan tampak kebingungan. Mereka berdua memikul keledai bersama, sambil tertatih dan berat. Orang-orang sekitar langsung memegangi perut mereka, menyipitkan mata menahan bahak tawa, lalu terpingkal-pingkal.

“Bhahaha… awas hei, ada dua orang idiot lewat! Punya keledai, malah digendong. Dungu! Tak Berakal!” serempak riuh pasar itu oleh pemandangan sepasang ayah-anak yang menggendong seekor keledai—yang sekali lagi masih kebingungan wajahnya.

Tak berselang lama, Nashrudin dan anaknya—tentu dengan masih terengah-engah menggendong keledai—akhirnya sampai di tujuan. Setelah menurunkan keledai, sambil terbungkuk ‘ngos-ngosan’, Nashrudin memegang bahu anaknya, “Nak, kau lihat. Di mata manusia mana pun, kita akan tetap punya celah dan kesalahan, meskipun kita pun masih punya kebaikan dan kebenaran.” Masih dengan tergeragap kecapean, ia menambahi, “Maka, kelak, tak usah kau pusingkan anggapan orang liyan. Hanya bertindaklah sesuai dengan apa yang kau yakini benar dan baik. Sudah.”

“Adegan ini mohon untuk tidak ditiru di rumah.
Hanya dilakukan oleh yang professional saja.”

#Lol

***

Pelajaran yang dapat kita ambil dari situ, sudah jelas. Bahwa keputusan, pertimbangan, kegiatan, dan apa saja yang kita perbuat dalam keseharian, akan sangat mungkin memunculkan tanggapan negatif dari orang lain. Baik itu yang muncul secara lisan, visual, ataupun tulisan berupa komentar di sosmed.

Wong, sekelas Nabi aja lho, banyak yang membenci; Nabi Nuh dihina sebagai tukang ngibul, pembohong, dan orang gila yang mempersiapkan kapal di atas gunung. Nabi Muhammad dilempari kotoran dan batu saat hijrah pertama kali. (dan silakan diurutkan sendiri).

Jadi, saat anda melakukan sesuatu, lantas menuai kritikan pedas, atau bahkan cibiran dan makian dari orang lain, maka tidak perlu diambil pusing. Cukup lakukan seperti musik ndangdhut tuh, “nek ra kuat, ditinggal ngopi”. Kalau nggak kuat ya ditinggal ngopi. Gitu aja kok freeport. Eh.[]

Tags: ceritahikmahhumor sufikisahnashruddin hojasufisufi jenaka
ShareTweetSendShare
Previous Post

Seorang Lelaki dan Sungai

Next Post

Kelas Merindu

M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Tim Redaksi Metafor

Artikel Terkait

Tadabbur via Momentum Hujan
Hikmah

Tadabbur via Momentum Hujan

6 Maret 2022

Sebuah pepatah mengatakan bahwa barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenali Tuhannya. Namun, permasalahannya adalah tingkat kesadaran terhadap diri...

Ritual Pulang Kerja dan Manusia yang Terlupakan
Hikmah

Ritual Pulang Kerja dan Manusia yang Terlupakan

15 Juli 2021

Bagi orang orang yang bekerja from nine to five, momen pulang kerja tentu sangat ditunggu. Yang sudah hidup bersama pasangan...

Hikmah

Bahagia itu Sederhana

3 Juli 2021

Sore ini awan hitam menutupi langit yang semula cerah. Mendadak gelap dan seakan kelam. Sesekali terdengar suara guntur meski tidak...

Beruntung Kita Selalu Bisa Melihat Sisi Baik dari Setiap Bencana
Hikmah

Beruntung Kita Selalu Bisa Melihat Sisi Baik dari Setiap Bencana

2 Juli 2021

Setiap Jumat nenekku akan datang ke rumah. Setelah berbasa-basi tentang kesehatannya yang semakin memburuk, ia akan menyampaikan rangkuman hasil tontonannya...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Puisi-Puisi Kema Ferri Rahman

Puisi-Puisi Kemas Ferri Rahman

5 November 2020
Menyuarakan Mereka yang Terbungkam

Menyuarakan Mereka yang Terbungkam

18 April 2022
Pasir Pantai

Pasir Pantai

16 Mei 2021
Bintang Kecil Tetaplah Bernyanyi

Bintang Kecil Tetaplah Bernyanyi

17 Maret 2021
Minyak Goreng: Objek Doktrin Ekonomi Politik Klasik “Laissez-faire”

Minyak Goreng: Objek Doktrin Ekonomi Politik Klasik “Laissez-faire”

16 April 2022
M. Kasim: Pembuka Jalan Cerpen Indonesia

M. Kasim: Pembuka Jalan Cerpen Indonesia

25 Februari 2021
Kalporina

Kalporina

18 Juni 2021
Gambar Artikel Pengarang Feminis

Pengarang Feminis

9 Januari 2021
Penjual Susu dan Puisi Lainnya

Penjual Susu dan Puisi Lainnya

2 Juni 2024
Seni Memahami (Diri)

Seni Memahami (Diri)

11 April 2022
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (213)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.