• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Rabu, 27 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Inspiratif Hikmah

Beruntung Kita Selalu Bisa Melihat Sisi Baik dari Setiap Bencana

Arianto Adipurwanto by Arianto Adipurwanto
2 Juli 2021
in Hikmah
0
Beruntung Kita Selalu Bisa Melihat Sisi Baik dari Setiap Bencana

Sumber: http://500px.com/photo/4337837

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Setiap Jumat nenekku akan datang ke rumah. Setelah berbasa-basi tentang kesehatannya yang semakin memburuk, ia akan menyampaikan rangkuman hasil tontonannya sejak Jumat lalu. Belakangan, dengan nada terheran-heran, ketakutan, dan juga tidak terima, ia selalu bercerita kepada kami tentang aneka bencana yang ditayangkan di berita.

“Dunia sudah tua!” Katanya, berkali-kali. Kedua tangannya gemetar. Seolah berita yang ia tonton telah membuat kesehatannya semakin memburuk.

Sejak gempa 2018 lalu, ia tidak lagi memiliki tempat tinggal. Ia tinggal di hunian sementara yang semakin sepi setiap hari. Ada saja tetangganya yang pulang karena rumah mereka telah selesai dibangun. Atau, sekurang-kurangnya memiliki tempat lain yang bisa dihuni selain hunian sementara. Mengobati rasa kesepiannya, ia menjadi semakin sering berada di depan televisi.

Sebelum gempa, ia memiliki cukup banyak aktivitas. Salah satunya membuat gorengan yang ia jual di depan sebuah rumah sakit di dekat rumahnya. Ketika gempa, rumahnya rusak. Kerusakan yang tidak langsung ambruk. Rumahnya masih berdiri tetapi temboknya telah retak-retak dan setiap kali coba-coba masuk kematian terasa persis berada di ujung hidung.

Berkali-kali ia mencoba melakukan sesuatu untuk mengisi waktu. Membeli benang dan membuat taplak meja atau topi untuk cucu-cucunya. Kemudian taplak meja dan topi buatannya telah menumpuk. Seluruh cucunya telah kebagian. Tak ada yang membutuhkan topi atau taplak meja buatan tangannya. Topi atau taplak meja bukan barang yang dibutuhkan setiap hari. Jauh lebih dibutuhkan sepotong ikan asin.

Ia kemudian benar-benar menghabiskan waktu di hunian sementaranya bersama televisi yang menyala hampir sepanjang waktu. Hunian sementara miliknya hanya berupa rumah berbentuk kotak, berdinding triplek dan beratap sangat rendah. Di tempat inilah ia baru menyadari dunia yang ia huni telah jauh berubah. “Kalau panas, panas sekali. Kalau hujan, ndak henti-henti!” Katanya. Jelas ia tengah mengeluh.

Ketika sampai di tempat kami, ia sering bercerita tentang dunia ketika ia masih kecil. Tidak begitu banyak manusia. Tidak terlalu panas. Tidak banyak bencana. Pendek kata, lebih baik ketimbang sekarang. Terkadang ia menyalahkan manusia yang sering merusak lingkungan, terkadang ia menyalahkan dirinya sendiri, dan lebih sering ia hanya geleng-geleng. Terbebani sekali. Mungkin tidak tahu lagi hendak menyalahkan siapa.

Saya sebagai cucunya merasa paham ia tidak kerasan lagi di dunia ini. Usianya cukup tua. Rekan-rekannya telah pergi lebih dulu. Pergi dari dunia ini maksud saya. Anak-anaknya telah menikah, memiliki keluarga sendiri. Menetap dengan salah satu anaknya tidak bisa ia lakukan. Ia merasa akan menjadi beban anak-anaknya jika tinggal bersama mereka. Sekalipun anak kandungnya sendiri.

Saya membayangkan bagaimana beratnya berada di posisi dia. Seorang perempuan tua, seorang diri, di tengah-tengah bencana yang terus mendera. Bukan hanya gempa atau corona, ia juga memelihara persoalan-persoalan sepele yang kerap sangat mengganggunya.

Ketika orang-orang meninggalkan tungku dan menggunakan cara yang lebih instan, ia tetap setia dengan cara lamanya. Ia menolak kompor gas karena ia sangat yakin tangannya akan membuat kompor gas meledak dan rumahnya habis terbakar. Setelah gempa terjadi, ia masih tetap teguh pada pendiriannya meskipun tidak punya rumah lagi yang bisa dilahap api. Ketika musim hujan tiba, urusan memasak dengan kayu bakar menjadi masalah juga. Ia menjadi lebih sering mengutuk langit lantaran kayu bakar yang ia simpan di dekat huniannya basah kuyup.

“Lebih baik saya yang basah,” katanya.

Hebatnya, meskipun mengalami begitu banyak cobaan, ia pada akhirnya selalu bisa melihat sisi baik dari setiap bencana yang menimpa.  Ketika kayu bakarnya basah, ia berkata: beruntung si A kasih terpal buat tutup, bisa selamat satu dua. Dan tampak wajahnya yang tadi tertekan sedikit cerah.

Ketika gempa keras merobohkan rumah-rumah warga dalam sekejap, ia hampir saja mati. Karena semakin banyak manusia, rumahnya yang dulu berada di tempat lengang pelan-pelan terdesak, terjepit dari segala arah. Jelas ia kesusahan untuk menyelamatkan diri apalagi di tempat yang tidak menempatkan pengetahuan akan bencana sebagai hal utama. Apalagi manusia setua dirinya. “Beruntung saya sedang keluar beli telur!” Katanya.

Sesungguhnya bukan hanya dia. Sebagian besar kita juga selalu berhasil melihat sisi baik dari setiap bencana yang menimpa. Ketika kecelakaan terjadi, keberuntungan masih bisa dirasakan karena masih ada anggota keluarga yang selamat dan sebagainya. Atau, ketika banjir melanda, tidak sedikit yang merasa beruntung karena air baru sampai betis. Pun, jika banjir telah mencapai atap rumah, selalu bisa ditemukan hal menguntungkan lainnya.

Cara pandang seperti ini tanpa disadari memberi sedikit kelegaan dalam kehidupan keras yang semakin mencekik. Itu sesungguhnya pertanda dari masih adanya harapan. Seperti nenekku, ketika ia merasa benar-benar dunia akan kiamat, ia beruntung masih bisa menonton televisi. Meskipun yang ia tonton memaksanya harus pintar-pintar mencari sisi baik lain dari kepungan bencana yang tampak tidak mungkin untuk dihindari.[]

Tags: bencanagempahikmahlingkunganrefleksisyukur
ShareTweetSendShare
Previous Post

Mimpi Reyot

Next Post

Bahagia itu Sederhana

Arianto Adipurwanto

Arianto Adipurwanto

Lahir di Selebung, Lombok Utara, 1 November 1993. Kumpulan cerpennya berjudul Bugiali (Pustaka Jaya, 2018) masuk 5 besar prosa Kusala Sastra Khatulistiwa tahun 2019. Bergiat di Komunitas Akarpohon, Mataram, NTB. Media sosial: Arianto Adipurwanto.

Artikel Terkait

Tadabbur via Momentum Hujan
Hikmah

Tadabbur via Momentum Hujan

6 Maret 2022

Sebuah pepatah mengatakan bahwa barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenali Tuhannya. Namun, permasalahannya adalah tingkat kesadaran terhadap diri...

Meneladani Sufi Jenaka: Nashrudin Hoja & Keledainya
Hikmah

Meneladani Sufi Jenaka: Nashrudin Hoja & Keledainya

3 Januari 2022

Nashrudin Hoja adalah seorang tokoh sufi jenaka yang hampir sama tenarnya seperti Abu Nawas. Ia terkenal dengan kecerdasan, celetukan-celetukan dengan...

Ritual Pulang Kerja dan Manusia yang Terlupakan
Hikmah

Ritual Pulang Kerja dan Manusia yang Terlupakan

15 Juli 2021

Bagi orang orang yang bekerja from nine to five, momen pulang kerja tentu sangat ditunggu. Yang sudah hidup bersama pasangan...

Hikmah

Bahagia itu Sederhana

3 Juli 2021

Sore ini awan hitam menutupi langit yang semula cerah. Mendadak gelap dan seakan kelam. Sesekali terdengar suara guntur meski tidak...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Dismorfia Kehidupan

Dismorfia Kehidupan

1 Februari 2022
Gambar Artikel Tiga P, Uraian Sajak Rendra Kesaksian Bapak Saijah

Tiga “P”

24 Januari 2021
Istirahat dan Pelukan Ibu

Istirahat dan Pelukan Ibu

29 Juni 2022
Surat dari Eretria

Surat dari Eretria

7 Februari 2021
Fenomena #MacanTernak

Fenomena #MacanTernak

3 Agustus 2021
Balapan yang Dibudayakan

Balapan yang Dibudayakan

20 Oktober 2021
Gambar Artikel Pengungsi Peradaban, Para Pencari Mbah Nun

Pengungsi Peradaban (2)

23 Januari 2021
Nona dan Seikat Bunga Merah

Nona dan Seikat Bunga Merah

10 Agustus 2021
Di Balik Bilik Kamar

Di Balik Bilik Kamar

12 Maret 2021
Gambar Artikel Melebur Bersama Tuhan dengan Tarian

Melebur Bersama Tuhan dengan Tarian

27 Desember 2020
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (213)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (19)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.