Malam pergantian tahun tinggal beberapa jam, tetapi petang ini Parmin terpaksa mendekam di rumah karena hujan tak henti mengguyur sejak siang. Matahari saja malas menampakkan diri sedari pagi, apalagi ia yang sudah jelas-jelas pengangguran.
Ia termenung di ruang tengah, seolah menghitung tetesan air hujan yang menembus genteng rumah. Ia cermati setiap kecipak butiran air mengenai baskom, menuntun irama kerisauan hatinya menunggu datangnya awal tahun depan. Ia terpaksa memeras ingatannya yang basah, hingga terpampang lipatan-lipatan kusut kemalangan hidupnya setahun ini.
Pertama, karena di awal pandemi ia terkena PHK dari gudang kargo tempat ia bertahun-tahun bekerja. Kedua, kematian istri yang sebelumnya memang sudah sakit-sakitan, memaksa ia tak bisa menolak tawaran santunan dari penetapan status positif istrinya sebagai penderita wabah. Yang ketiga, belum lama senar pancing import pemberian tetangganya yang juragan jamur—yang anaknya bekerja di pelayaran–ludes dipakai mainan layang-layang anaknya nomor dua, tanpa sepengetahuannya. Serentetan kejadian itu membuat Parmin memutuskan menitipkan ketiga anaknya ke rumah mertua untuk sementara waktu.
Terkait pemecatan dirinya, Parmin tak bisa mengelak sedikit pun. Kala itu atasannya menjelaskan, sejak dinyatakan wabah masuk ke Indonesia, semua layanan penerbangan terhenti, disusul terganggunya hampir semua kegiatan yang mengandalkan pengiriman barang, entah itu untuk mendatangkan bahan baku atau mengirimkan barang jadi.
“Semoga kita dipertemukan kembali sebagai tim yang solid di kemudian hari.” Pimpinan gudang menutup rapat terakhir hari itu, mewakili perusahaan.
Pada awalnya, Parmin berusaha menutupi kenyataan itu di depan istrinya yang sejak dua tahun lalu sering bermasalah dengan lambung. Ia tahu, istrinya tergolong perempuan yang tidak banyak mengeluh. Tetapi justru karena itu ia merasa kecolongan di bulan ketiga sejak ia dirumahkan. Ternyata perempuan yang telah mendampinginya hampir sepuluh tahun itu memendam kecemasan hingga merenggut nyawanya setelah sepekan dirawat di rumah sakit.
Istrinya pergi meninggalkan dirinya yang betul-betul habis, membuatnya tak bisa berpikir selain menerima tawaran pihak rumah sakit untuk menetapkan status istrinya positif. Pak Kadus, sebagai tetua lingkungan pun turut mendukung keputusan itu ketika ia mintai pendapat.
“Pak Kadus ada saran?”
“Nggak ada yang direpotkan, nggak ada juga yang dirugikan.”
“Maksud, Bapak?”
“Ya, terima aja.”
“Tapi saya kan harus karantina, Pak?”
“Kayak gitu kok dipikir. Kamu titipkan sebagian duitnya ke aku, beres.”
Dan betul, Pak Kadus menepati janjinya mengurus kebutuhan Parmin dan anak-anak selama karantina.
Parmin kembali merasa perjalanan tahun ini cukup melelahkan, batin dan pikiran. Sehingga ia pikir butuh beberapa waktu mendapat ketenangan dengan sedikit melepaskan beban. Ia ingat, tiap pagi buta ia sudah memasang mata kail dan umpan di bantaran sungai tak jauh dari rumahnya. Ketika matahari terasa sedikit menyengat—mungkin sekitar pukul sepuluh siang—ia baru beranjak pulang. Saat berikutnya ketika matahari mulai condong ke barat, ia telah kembali berangkat memancing dan baru pulang saat terdengar azan magrib dari seberang desa.
Sebaliknya, ia bisa berjaga sembari bertukar cerita dengan tetangga di pos ronda. Ia pun bisa tetap mengikuti kabar terbaru seputar keadaan kampungnya. Mulai dari persoalan wabah, bantuan dari pemerintah, hingga kabar tentang warung milik Slamet yang mulai ramai. Ia jadi tahu, rata-rata lelaki di kampungnya kerap nongkrong di warung itu, sejak ia menjual togel belum lama ini.
“Mau ikut ndak, Min?” Salah seorang tetangga pernah mengajak.
“Nggak ah, tau sendiri,” jawabnya sedikit malas.
“Ee… belum tahu dia,” tukas tetangganya itu.
“Dasar, kamunya aja yang mata keranjang liat istri Slamet!” Balas yang lain.
“Lha daripada bengong gak ada kerjaan?!” Pungkas tetangganya itu lagi.
Sebetulnya bukan ia menolak setiap ada tawaran pekerjaan, tetapi memang nasib baru belum baik. Kemarin ia sedikit berharap pada tawaran Slamet, yang memintanya membantu di warungnya. Tetapi kenyataannya mendung sejak pagi tadi, selain mendukung larangan perayaan tahun baru kali ini, rupanya turut pula mengantarkan kematian Slamet—yang dikabarkan terkena serangan jantung—dengan suasana yang pas. Parmin tak mengubah rencananya berangkat, tetapi bukan untuk menyambut malam pergantian tahun dengan bekerja di warung. Dia justru diminta Pak Modin bergegas mencarikan ubarampe[1] jenazah dan memastikan liang kuburan selesai tergali dua jam kemudian.
“Giliran ngurus orang mati saja kamu ajak-ajak, Min,” tetangganya yang sopir truk pasir kesal.
“Kebanyakan protes kamu,” tukas Parmin.
“Lho, kalau bukan Slamet yang mati, ogah juga aku ngeladeni ajakanmu,” timpal lelaki gempal di sampingnya yang kerap berseragam Satgas Partai Anu.
“Kalian bilang cinta tanah air, NKRI harga mati, diminta jadi gedibal[2] kampung saja, kebanyakan mulut,” balas Parmin ketus.
Ia ingat, saat itu hanya ingin selekasnya menyelesaikan tugas dan segera melaporkannya ke Pak Kadus, sebelum upacara pemberangkatan jenazah dimulai.
Selain tercenung—karena begitu dalam—memikirkan perjalanan nasibnya tahun ini, rupanya Parmin masih terngiang perkataan tegas Pak Kadus sepulang dari makam siang tadi, “segera saja setelah empat puluh hari, kau urus warung, dan aku urus istrinya,” diam-diam sebelum mereka berpisah.
Kepalanya masih dipenuhi pikiran tentang hal itu, ketika tengah malam sebuah pesan WA masuk. Tetangganya yang juragan jamur mengabarkan, anak sulungnya baru pulang dari berlayar. Parmin seperti mendapat angin segar. Ia beringsut dari duduknya kini, meraih joran di atas meja sembari menyusun rencana barunya nanti.[]
[1] ubarampe = segala kebutuhan yang perlu disediakan dalam upacara
[2] gedibal = orang suruhan