Untuk kamu, Mas….
–
Kembali lagi pasti tentang rasa, sejenak terdiam, aku tadi sebenarnya mau nulis sepenggal catatan tentang hal yang sedang kupikirkan hari ini. Maklum saja aku manusia yang setia dengan overthinking-ku itu. Lalu kubuka note di ponselku, tapi entah mengapa saat ia terbuka, aku bingung mau nulis apa.
Hanya bisa melamun sambil melihat sekilas bayangan perihal tentangmu.
Serasa mentok. Dan pikiranku seolah berbelok arah menuju peristiwa tiga tahun silam. Bagiku, itu sudah mendarah-daging hingga sulit untuk menepisnya. Benar-benar bingung. Tapi, ya sudahlah, mau bagaimana lagi. Mungkin selama ini rinduku amat meradang.
Sederhananya, kusurahkan kisah padamu tentang seseorang yang tak berbakat dalam menerjemahkan perasaannya. Bukan perkara siapa yang terlalu jatuh cinta dalam keadaan ini. Bahkan ketika kamu membaca tulisan ini, kamu juga mengerti bahwa perjuanganku dalam menahan rasa berbahan sutera ini, tentu tidaklah mudah.
Jujur, aku diam-diam mengagumimu semenjak kita masih berada dalam masa putih abu-abu. Kamu sangat menawan dengan hiasan akhlak yang amat indah di mataku. Terutama ketika menatapku, sembari berbincang ringan yang penuh canda. Sebuah momen yang sangat berarti waktu itu.
Lain halnya dengan sifat jailmu. Teringat adegan kau menarik ujung jilbabku atau sontak mencubit tanganku tiba-tiba hingga membuatku terperanjat. Seakan itu semua menjadi rutinitas yang tak bisa kulupa. Kamu yang berwibawa ketika manjadi seorang teman di kelas. Kau yang tak banyak tingkah dengan kelembutan sikapmu yang membuat rasaku tak terukur lagi.
Entah takdir ini baik atau justru hanya lelucon virus hati merah jambu yang biasa terjadi pada manusia seusiaku.
Cukup lama aku bergulat dengan rasa yang sama. Sampai pada akhirnya, aku dan kamu dipisahkan jarak wujud dan rasa. Di penghujung tahun masa putih abu-abu, kita berbeda kelas dan kita berbeda rasa. Di mana dirimu memilih menjauh dan rasamu yang diberikan pada orang lain. Tapi tahukah saat itu perasaanku belum berubah?
Bahkan masih tekun mengharapkanmu meskipun berujung kekecewaan yang kian hari terlintas di depan mata ini. Namun, kusadari semua manusia memiliki hak untuk jatuh cinta meski bukan aku orangnya.
Tiba waktu aku menjadi sosok yang selepas SMA ingin lekas menepis rasa kagumku yang tak kunjung hilang. Kita melanjutkan hidup masing-masing dengan belajar di perguruan tinggi yang berbeda. Saat itu aku sudah memperjelas perasaan abu-abuku. Sebisa mungkin aku mengubah diri menjadi lebih baik, karena orang baik sepertimu pasti akan mendapatkan orang baik pula.
***
Bulan November 2019 menjadi saksi hadirnya rasa sekuat dan selembut sutera. Ia kembali menghiasai hidupku. Sontak aku terkaget: mengapa kamu datang lagi dalam hidupku? Entah, meski hadirmu memang selalu kutunggu sejak dulu.
Rasa nyaman itu tetaplah sama meskipun kita belum pernah berjumpa sejak lulus SMA. Selain itu, banyaknya kesamaan yang kita miliki sehingga terus meyakinkan hatiku untuk melanjutkan rasaku yang pernah ada. Kembalinya virus merah jambu periode keduaku ini ternyata sangat menggebu. Sembari menyembulkan harapan bahwa aku punya kekuatan untuk terus bertahan menapaki kehidupan masa penjajakan ini.
Saat ini pun, kamu yang selalu hadir di setiap celah otakku. Sekali waktu istirahat untuk berpikir, dan terus menghantui hatiku di kala sedang rindu. Hanya, tetaplah aku dan kamu belum bisa bersama. Juga entah sampai kapan aku bisa bertahan dengan rasa yang sama ini.
Sempat berfikir untuk menyerah dan tak mau lagi bertahan dengan kerumitan rasa ini. Pada akhirnya aku tetaplah manusia yang terus mengalir mengikuti jejak yang telah Tuhan berikan dengan ikhlas.
Aku yang diam-diam terus mengamatimu dari kejauhan. Aku tak berani bertegur sapa denganmu. Aku hanya bisa diam sembari mempelajari keadaan. Aku tak bisa berbuat seperti kebanyakan yang dilakukan orang-orang ketika jatuh cinta.
Mengkode? Aku takut. Bisa jadi bukannya kau tersipu, tapi malah terganggu. Menyatakan cinta sesungguhnya? Aku perempuan yang kodratnya hanya untuk bersabar. Aku hanya dapat menunggu hingga jarak dan waktu bersedia mendekatkan.
***
Baiklah, mungkin ini bukan soal cinta. Ini hanya rasa suka, rasa penasaran mungkin, atau rasa nyaman. Sebuah ketertarikan yang membuat pikiranku tak bisa lepas dari dirinya. Aku yakin kamu yang sedang atau pernah mengalaminya pun setuju. Bahwa hal-hal kecil yang telah dia lakukan sanggup membuatmu terbawa perasaan. Itulah perempuan.
Tetap saja, apapun bentuknya, hati tak bisa berbohong tentang apa yang dirasakannya. Berulang kali aku menyangkal, bahkan sedikit menjauh darinya. Ternyata: semakin sulit untuk diabaikan, dan rasanya sungguh melelahkan.
Aku pernah mengutip sebuah tulisan bahwa orang yang mahir menyembunyikan perasaan adalah orang yang sangat perhatian. Entah, aku hanya ingin tetap berada di posisiku yang sekarang. Di balik sikapku yang tenang selama ini di depannya, tentu ada rasa yang bergejolak, ingin berada di sisinya sedekat-dekatnya, menjadi orang terpenting dalam hidupnya, menjadi perempuan yang setiap hari dia sapa.
Tapi, aku tahu. Di sinilah seharusnya aku berdiri. Dengan jarak yang berusaha aku jaga, karena kutahu belum saatnya. Masih ada yang harus aku prioritaskan, yaitu persoalan kehidupan kita yang sama-sama berambisi untuk terus belajar meraih kesuksesan. Apalagi sekarang kita berada di semester akhir bangku kuliah.
Doakan aku, semoga dilancarkan hingga akhir nanti sambil tak lupa pada Sang Pemberi napas dan rasa cinta ini. Bersabarlah sebentar, jikalau sudah waktunya, Tuhan ‘kan berikan waktu yang tepat untuk kita bersama atas kehendaknya.
***
Tulisan ini aku dedikasikan kepada orang-orang yang memilih jalannya sendiri untuk menikmati dan terus mensyukuri apa yang diterima selama ini. Untuk mereka yang diam-diam menyukai teman lama dan sudah lama tidak bersua, namun cintanya rasa berbahan sutera. Yang kutahu, sutera itu terkenal awet dan tahan lama, karena proses pembuatannya yang kompleks. Tentu ia tidak akan memberikan hasil yang mengecewakan.
Apa yang dihasilkannya sangatlah kuat. Tidak mudah rusak dan memudar hingga akhir hayat. Untuk mereka yang memendam perasaan kepada teman baru, atau mereka yang menyukai seseorang yang nyatanya sahabat sendiri. Untuk mereka yang ingin bersatu namun terhalang perbedaan agama, suku, status sosial, usia, dan semua yang membuat harapan-harapan indah itu lenyap begitu saja.
Hal yang bisa aku lakukan sekarang hanyalah berdoa kepada Rabb-ku, agar terus diberkahi dan diberikan jalan terbaik yang telah Ia takdirkan. Upayaku, mungkin dengan terus memperbaiki diri dan mendekat padanya.
Dan untuk kamu, Mas… sebagai teman, sahabat, atau orang yang hanya bisa memandangmu dari kejauhan—sampai waktu berpihak pada kita. Terlintas baying-bayang harapanku, sama persis dengan harapan menggali cintanya, aku harus melibatkan yang Maha Pengatur segalanya.[]
–
Malingping, Banten [Sejak 2015-2020:TI]