Sahabatku, Ali.
Emailmu sudah kubaca. Kau mengabarkan jika lamaran pekerjaan yang dikirim atas namaku sudah diterima. Segala hal yang diusahakan agar aku bisa tinggal menetap di kota Krakow denganmu. Bahkan sesuai janji kita dulu sewaktu berkunjung ke kota Paris. Kita berjanji untuk menetap di Eropa dan membayangkan Polandia sebagai negara impian untuk tinggal. Tidak tanggung-tanggung, kau menangis di hadapanku waktu itu demi membuatku yakin.
Kau ceritakan tentang tanah airmu yang dikoyak-koyak perang. Alepo, kota kelahiran, katamu sudah tak berbentuk. Hanya tersisa gedung-gedung runtuh, puing-puing, dan segala kenangan telah terkubur. Aku juga menerima kabar darimu beberapa bulan lalu, tentang dirimu yang sudah diterima bekerja di perusahaan teknologi. Bahkan akan memboyong keluarga, termasuk Sarah, adik perempuanmu untuk tinggal bersama di sana.
Membayangkan mimpi-mimpi kita dulu, justru aku sangat bersemangat. Mendidih darahku atas keinginan untuk tinggal menetap. Terima kasih aku ucapkan, kawanku. Tetapi sejak aku pulang ke kampung halaman, di sini, pesisir pantai yang seperti menyatu dengan lautan. Aku melihat kenyataan yang jauh lebih jelas dari prasangkaku selama ini.
Kampung ini, Ali. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Tidak akan.
Masih ingat ketika detik-detik terakhir kebersamaan kita. Di bandara Chopina. Kau diam membisu dan aku memelukmu lekat. “Aku akan segera kembali ke negara ini, Ali!” Dengan keyakinan tak terbantahkan, kugapai tanganmu sebelum langkah terakhir meninggalkanmu sendirian di kota itu. “Jangan putus untuk berkabar, terus menerus kirim pesan agar aku tahu tentangmu.”
Kian terasa hangat. Sebutir air mata jatuh ke pipiku. Sejurus kemudian, pintu bandara lantas tertutup. Aku memandang lurus ke depan tanpa menengok sedikit pun. Di antara keriuhan ribuan penumpang sore itu, ada aku yang menangisi perpisahan kita. Dan ketika memasuki ruang tunggu–air matamu yang jatuh itu tidak lekas aku hapus.
Entah ada perasaan bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena sangat yakin akan kembali dengan segera. Tetapi begitu aku menetap di sini, perasaan kecewa segera mencengkeramku kuat. Di sini memang tidak seriuh kota-kota di Eropa; tidak seromantis Praha, tidak juga Berlin, barang kali tidak seperti Zakopane, atau kota pelabuhan Gdanks, Ali. Tetapi, semua kisahku dimulai dari sini–tempat yang tak terpisahkan.
Anak-anak kecil putus sekolah. Ketidakberdayaan para perempuan ketika menerima takdir mereka untuk menikah muda. Bayi-bayi menangis karena penyakit. Ibu-ibu yang terjerat hutang bank dan hampir seluruh warga kembali melaut. Segala hal di pesisir ini, tak urung kesedihan terus berdenyut tetapi bukan untuk ditangisi. Lautan yang menyatu daratan adalah sebuah tantangan sekaligus harapan, seperti tuntutan atas ikan-ikan itu kembali pulang. Wajah-wajah lapar dan murung menghiasi hari-hari sepiku.
Seperti dibawa ke masa lalu. Aku saksikan sekali lagi kenangan-kenangan kecil di sini, Ali. Kamu masih ingat tentang gadis yang sering kuceritakan ketika curhat padamu. Remuk perasaanku. Dia dibawa lari oleh pacarnya dan seminggu setelahnya, akad nikah pun dilangsungkan. Kejadian itu terjadi ketika aku baru saja tiba di tempat ini. Sumpah serapah tak bisa kubendung lagi.
Aku tidak hanya menangis air mata, namun juga darah. Tetapi bukan itu alasan kekecewaanku. Dia baru saja berumur belasan tahun. Dia seharusnya menghabiskan waktu untuk sekolah dan menikmati masa mudanya. Praktek semacam ini memang sudah lumrah–tidak hanya barang, anak gadis juga bisa hilang di sini, Ali.
Dan bukan sebuah rahasia lagi jika keindahan negara empat musim yang kita impikan itu begitu menawan dengan pergantian musimnya. Apalagi sehimpun bunga warna warni bermekaran–tidak disangsikan lagi–pemandangan itu memang indah. Atau daun Maple ketika musim gugur yang daunnya berjatuhan di sepanjang jalan menuju asrama tempat tinggal kita itu. Persis di halaman kampus, dekat pemberhentian bus. Kita sering menunggu Bus di sana ketika akan menuju Masjid. Ali, aku menangis jika ingat kenangan-kenangan kita.
Dalam kesepianku di tempat ini, aku selalu ingat tentang janji-janji kita.
Eropa sepertinya terlampau jauh bagiku jika tujuannya untuk tinggal menetap di sana selamanya. Aku kadang bertanya-tanya pada diri sendiri. Kenapa aku harus meninggalkan pesisir ini?
Namun tentu berbeda dengan posisimu.
Ada satu hal yang membuatku mengurungkan niat. Ketika tiba di sebuah rumah tua. Rumah itu sebetulnya tidak layak huni. Dindingnya melapuk. Atapnya dengan jelas meneropong langit. Ada dua orang di sana. Mereka terbaring lemah karena sakit. Sorot matanya tajam, lekuk tulang menonjol. Bisa kamu bayangkan bagaimana remuknya perasaanku ketika melihat dua orang paruh baya dengan kulit keriput, tulang yang terbungkus daging begitu kentara. Dan mereka adalah kedua orang tuaku, Ali. Tak kuasa aku menahan diri untuk tidak menangis. Mereka berdua adalah paku yang meneguhkan perjuanganku. Merekalah alasan kenapa aku bisa sejauh ini.
Tidak! Aku tidak akan menetap di Krakow. Perihal upayamu, sekali lagi aku sampaikan ucapan terima kasih.
Hari-hari dalam hidupku. Di sini. Di tengah dasar keterbatasan keluargaku. Aku habiskan kekosongan waktu dengan pergi melaut. Mengundang ikan-ikan pulang bersamaku.
Kedua orang tuaku sangat bahagia ketika mendapati anaknya pulang dari rantauan setelah delapan tahun lamanya pergi. Senyuman keduanya kembali lahir sejak terakhir kali.
Kau bisa bayangkan bagaimana rasanya terperangkap dalam rutinitas yang membosankan, membusuk di kamar kecil rumah bambu ini. Terik menyengat dan debur ombak yang memiliki ritme begitu-begitu saja sepanjang hari. Kesepian terjerembab, menuntut agar waktu cepat berlalu. Segenap resahku benar-benar diburu lapar, lautan, dan karang-karang. Malamku selalu disuguhkan berita-berita duka. Beberapa waktu lalu, tetangga kami menemukan kuburan anak kecil yang belum genap lahir. Pesisir riuh dan manusia acuh. Apakah aku harus lari dari semua ini, Ali?
Ketika berkunjung di akhir tahun ke kota tempatku belajar dulu, dan membawa segala perihal tentang hidupku, dengan penuh harapan. Di dalam pesawat yang membawaku, aku begitu bahagia. Mimpi sekali lagi dijelang. Hanya saja begitu kaki melangkah di tempat orang, Pesisir yang aku tinggalkan sedang berkarat dan akan karam dimakan lumut, dihantam badai ombak. Lebih terpuruk dari kemungkinan-kemungkinan keterpurukan.
Rumah-rumah nelayan hampir ambruk, sedang di sisi lain bangunan hotel-hotel megah menjulang. Sebuah pemandangan kontradiksi: bayi-bayi menangis karena lapar, dan lagi, pesta sepanjang malam. Tidak lebih dari tiga bulan aku di kota itu, aku pun hanya membeli satu tiket untuk kembali pulang ke pesisir.
Kadang-kadang aku suka berjalan sendirian seperti rutinitasku sewaktu masih di perantauan. Sekedar menikmati sore dengan matahari kemerahannya yang memukau. Tetapi di sini tidak ada musik jalanan. Hanya saja ada perahu para nelayan yang beriringan di kejauhan. Bagaimana bisa tempat ini aku tinggalkan begitu saja. Takdir macam apa yang tega memisahkan anaknya dari kedua orang tuanya?
Tidak, Ali! Aku tidak akan pergi ke mana-mana dan aku tidak akan menyesal sedikit pun. Tempatku di sini. Tanah bertuah leluhurku. Meskipun tanah ini sedang dilacur atas nama kesejahteraan, setidaknya di sini masih kutemukan berkah Tuhan.[]
Comments 1