• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Jumat, 17 Oktober 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Sambatologi Surat

Dari Pesisir

Mohamad Tamrin by Mohamad Tamrin
12 Agustus 2021
in Surat
1
Dari Pesisir

https://handluggageonly.co.uk/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Sahabatku, Ali.

Emailmu sudah kubaca. Kau mengabarkan jika lamaran pekerjaan yang dikirim atas namaku sudah diterima. Segala hal yang diusahakan agar aku bisa tinggal menetap di kota Krakow denganmu. Bahkan sesuai janji kita dulu sewaktu berkunjung ke kota Paris. Kita berjanji untuk menetap di Eropa dan membayangkan Polandia sebagai negara impian untuk tinggal. Tidak tanggung-tanggung, kau menangis di hadapanku waktu itu demi membuatku yakin.

Kau ceritakan tentang tanah airmu yang dikoyak-koyak perang. Alepo, kota kelahiran, katamu sudah tak berbentuk. Hanya tersisa gedung-gedung runtuh, puing-puing, dan segala kenangan telah terkubur. Aku juga menerima kabar darimu beberapa bulan lalu, tentang dirimu yang sudah diterima bekerja di perusahaan teknologi. Bahkan akan memboyong keluarga, termasuk Sarah, adik perempuanmu untuk tinggal bersama di sana.

Membayangkan mimpi-mimpi kita dulu, justru aku sangat bersemangat. Mendidih darahku atas keinginan untuk tinggal menetap. Terima kasih aku ucapkan, kawanku. Tetapi sejak aku pulang ke kampung halaman, di sini, pesisir pantai yang seperti menyatu dengan lautan. Aku melihat kenyataan yang jauh lebih jelas dari prasangkaku selama ini.

Kampung ini, Ali. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Tidak akan.

Masih ingat ketika detik-detik terakhir kebersamaan kita. Di bandara Chopina. Kau diam membisu dan aku memelukmu lekat. “Aku akan segera kembali ke negara ini, Ali!” Dengan keyakinan tak terbantahkan, kugapai tanganmu sebelum langkah terakhir meninggalkanmu sendirian di kota itu. “Jangan putus untuk berkabar, terus menerus kirim pesan agar aku tahu tentangmu.”

Kian terasa hangat. Sebutir air mata jatuh ke pipiku. Sejurus kemudian, pintu bandara lantas tertutup. Aku memandang lurus ke depan tanpa menengok sedikit pun. Di antara keriuhan ribuan penumpang sore itu, ada aku yang menangisi perpisahan kita. Dan ketika memasuki ruang tunggu–air matamu yang jatuh itu tidak lekas aku hapus.

Entah ada perasaan bahagia sekaligus sedih. Bahagia karena sangat yakin akan kembali dengan segera. Tetapi begitu aku menetap di sini, perasaan kecewa segera mencengkeramku kuat. Di sini memang tidak seriuh kota-kota di Eropa; tidak seromantis Praha, tidak juga Berlin, barang kali tidak seperti Zakopane, atau kota pelabuhan Gdanks, Ali. Tetapi, semua kisahku dimulai dari sini–tempat yang tak terpisahkan.

Anak-anak kecil putus sekolah. Ketidakberdayaan para perempuan ketika menerima takdir mereka untuk menikah muda. Bayi-bayi menangis karena penyakit. Ibu-ibu yang terjerat hutang bank dan hampir seluruh warga kembali melaut. Segala hal di pesisir ini, tak urung kesedihan terus berdenyut tetapi bukan untuk ditangisi. Lautan yang menyatu daratan adalah sebuah tantangan sekaligus harapan, seperti tuntutan atas ikan-ikan itu kembali pulang. Wajah-wajah lapar dan murung menghiasi hari-hari sepiku.

Seperti dibawa ke masa lalu. Aku saksikan sekali lagi kenangan-kenangan kecil di sini, Ali. Kamu masih ingat tentang gadis yang sering kuceritakan ketika curhat padamu. Remuk perasaanku. Dia dibawa lari oleh pacarnya dan seminggu setelahnya, akad nikah pun dilangsungkan. Kejadian itu terjadi ketika aku baru saja tiba di tempat ini. Sumpah serapah tak bisa kubendung lagi.

Aku tidak hanya menangis air mata, namun juga darah. Tetapi bukan itu alasan kekecewaanku. Dia baru saja berumur belasan tahun. Dia seharusnya menghabiskan waktu untuk sekolah dan menikmati masa mudanya. Praktek semacam ini memang sudah lumrah–tidak hanya barang, anak gadis juga bisa hilang di sini, Ali.

Dan bukan sebuah rahasia lagi jika keindahan negara empat musim yang kita impikan itu begitu menawan dengan pergantian musimnya. Apalagi sehimpun bunga warna warni bermekaran–tidak disangsikan lagi–pemandangan itu memang indah.  Atau daun Maple ketika musim gugur yang daunnya berjatuhan di sepanjang jalan menuju asrama tempat tinggal kita itu.  Persis di halaman kampus, dekat pemberhentian bus. Kita sering menunggu Bus di sana ketika akan menuju Masjid. Ali, aku menangis jika ingat kenangan-kenangan kita.

Dalam kesepianku di tempat ini, aku selalu ingat tentang janji-janji kita.

Eropa sepertinya terlampau jauh bagiku jika tujuannya untuk tinggal menetap di sana selamanya. Aku kadang bertanya-tanya pada diri sendiri. Kenapa aku harus meninggalkan pesisir ini?

Namun tentu berbeda dengan posisimu.

Ada satu hal yang membuatku mengurungkan niat. Ketika tiba di sebuah rumah tua. Rumah itu sebetulnya tidak layak huni. Dindingnya melapuk. Atapnya dengan jelas meneropong langit. Ada dua orang di sana. Mereka terbaring lemah karena sakit. Sorot matanya tajam, lekuk tulang menonjol. Bisa kamu bayangkan bagaimana remuknya perasaanku ketika melihat dua orang paruh baya dengan kulit keriput, tulang yang terbungkus daging begitu kentara. Dan mereka adalah kedua orang tuaku, Ali. Tak kuasa aku menahan diri untuk tidak menangis. Mereka berdua adalah paku yang meneguhkan perjuanganku. Merekalah alasan kenapa aku bisa sejauh ini.

Tidak! Aku tidak akan menetap di Krakow. Perihal upayamu, sekali lagi aku sampaikan ucapan terima kasih.

Hari-hari dalam hidupku. Di sini. Di tengah dasar keterbatasan keluargaku. Aku habiskan kekosongan waktu dengan pergi melaut. Mengundang ikan-ikan pulang bersamaku.

Kedua orang tuaku sangat bahagia ketika mendapati anaknya pulang dari rantauan setelah delapan tahun lamanya pergi. Senyuman keduanya kembali lahir sejak terakhir kali.

Kau bisa bayangkan bagaimana rasanya terperangkap dalam rutinitas yang membosankan, membusuk di kamar kecil rumah bambu ini. Terik menyengat dan debur ombak yang memiliki ritme begitu-begitu saja sepanjang hari. Kesepian terjerembab, menuntut agar waktu cepat berlalu. Segenap resahku benar-benar diburu lapar, lautan, dan karang-karang. Malamku selalu disuguhkan berita-berita duka. Beberapa waktu lalu, tetangga kami menemukan kuburan anak kecil yang belum genap lahir. Pesisir riuh dan manusia acuh. Apakah aku harus lari dari semua ini, Ali?

Ketika berkunjung di akhir tahun ke kota tempatku belajar dulu, dan membawa segala perihal tentang hidupku, dengan penuh harapan. Di dalam pesawat yang membawaku, aku begitu bahagia. Mimpi sekali lagi dijelang. Hanya saja begitu kaki melangkah di tempat orang, Pesisir yang aku tinggalkan sedang berkarat dan akan karam dimakan lumut, dihantam badai ombak. Lebih terpuruk dari kemungkinan-kemungkinan keterpurukan.

Rumah-rumah nelayan hampir ambruk, sedang di sisi lain bangunan hotel-hotel megah menjulang. Sebuah pemandangan kontradiksi: bayi-bayi menangis karena lapar, dan lagi, pesta sepanjang malam. Tidak lebih dari tiga bulan aku di kota itu, aku pun hanya membeli satu tiket untuk kembali pulang ke pesisir.

Kadang-kadang aku suka berjalan sendirian seperti rutinitasku sewaktu masih di perantauan. Sekedar menikmati sore dengan matahari kemerahannya yang memukau. Tetapi di sini tidak ada musik jalanan. Hanya saja ada perahu para nelayan yang beriringan di kejauhan. Bagaimana bisa tempat ini aku tinggalkan begitu saja. Takdir macam apa yang tega memisahkan anaknya dari kedua orang tuanya?

Tidak, Ali! Aku tidak akan pergi ke mana-mana dan aku tidak akan menyesal sedikit pun. Tempatku di sini. Tanah bertuah leluhurku. Meskipun tanah ini sedang dilacur atas nama kesejahteraan, setidaknya di sini masih kutemukan berkah Tuhan.[]

Tags: dari pesisireropaIndonesiamohamad tamrinPolandiasurat
ShareTweetSendShare
Previous Post

Retorika Lucu

Next Post

Menemui Emosi dari Diri

Mohamad Tamrin

Mohamad Tamrin

Pemuda yang akrab disapa Tam. Menamatkan studi master bidang Computer Science and Econometrics di Warsaw University of Life Science dengan beasiswa penuh pemerintah Polandia. Sejauh ini sudah menerbitkan dua buah novel "Memutus Belenggu Takdir dan A Note from 6920 Miles". Sejak bulan November 2020, ia mulai terlibat dengan komunitas Pasirputih Lombok Utara.

Artikel Terkait

Rumit Melilit Silit
Surat

Rumit Melilit Silit

24 Januari 2022

Lagi-lagi begini lagi, Dul. Quotes, maqolah, atau kata-kata mutiara itu akhirnya ya cuma jadi pajangan di beranda media sosial. Entah...

Pencarian di Sudut Rindu
Surat

Pencarian di Sudut Rindu

1 Desember 2021

"Apa kabar?" "Sehat kan?" "Bagaimana keadaanmu?" "Apa kau masih ingat denganku?" Bernada sekali kalimat itu, intonasinya tepat saat saya mengucapkannya...

Sambatologi

Jalan Sunyi dengan Ribuan Bunyi

24 Oktober 2021

Setelah perhelatan panjang bersama dengan soal-soal ujian fakultas yang entah kapan berhasil membuat saya sedikit berkualitas, saya sempatkan waktu untuk...

Hadir itu Bukan Kamu
Surat

Hadir itu Bukan Kamu

25 Agustus 2021

Hai, aku tidak peduli jika tulisan ini dianggap bodoh oleh orang lain, juga tidak cemas kalau tulisan ini tak pernah...

Comments 1

  1. Ping-balik: DARI PESISIR - NU Lombok Utara

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Ketika Seorang Perempuan Membaca Nawal el-Saadawi. Resensi Buku Perempuan di Titik Nol

Ketika Seorang Perempuan Membaca Nawal el-Saadawi

4 November 2020
8 Film Dokumenter yang Akan Membuatmu Lebih Sadar Isu Lingkungan

8 Film Dokumenter yang Akan Membuatmu Lebih Sadar Isu Lingkungan

23 Maret 2022
Gambar Artikel Tuntunan atau Tips Merayakan Valentine untuk Jomblo

Tuntunan Merayakan Bulan Asmara ala Jomblo

17 Februari 2021
Desas-Desus Ultraman

Desas-Desus Ultraman

11 November 2021
Anak-anak Afrika Sedang Makan di Warung Tegal

Anak-anak Afrika Sedang Makan di Warung Tegal

18 Februari 2024
Rumit Melilit Silit

Rumit Melilit Silit

24 Januari 2022
Fenomena #MacanTernak

Fenomena #MacanTernak

3 Agustus 2021

Senyum Pak No: Bekali Jiwa dengan Rasa Bahagia

7 September 2021
Fenomena Narsisisme Religius Kaum Milenial

Fenomena Narsisisme Religius Kaum Milenial

3 Mei 2021
Tiada yang Bakal Dirindu

Tiada yang Bakal Dirindu

28 Januari 2022
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu
  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (216)
    • Cerpen (54)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.