Belum lama ini timeline media sosial saya sempat dilewati sebuah berita soal seorang ayah yang membanting laptop anaknya. Hal tersebut lantaran si anak menjalani rutinitas sebagai seorang streamer. Masalahnya, laptop yang dibanting oleh si ayah tersebut merupakan hasil AdSense si anak. Banyak netizen memberi komentar negatif pada si ayah atas perbuatannya tersebut.
Ada yang bilang, “Meski mampu membelikan, setidaknya hargai hasil jerih payah si anak dong!” Ada juga yang berkomentar, “Duh! Susah ya kalau punya orang tua dengan pemikiran jadul.”
Saya setuju dengan beberapa komentar netizen termaktub. Harusnya si ayah nggak sebrutal itu dalam memperlakukan anaknya. Marah boleh, tapi otak dan hatinya jangan ditinggal. Coba renungkan. Saat kita mampu memberi barang yang kita inginkan dengan uang hasil kerja keras sendiri, ada semacam rasa puas tersendiri dalam hati.
Hal ini sedikit berbeda saat kita dibelikan sesuatu oleh orang tua kita. Memang benar sama-sama ada rasa senang karena mendapat barang yang diinginkan. Namun, ada sisi self reward yang tidak kita rasakan saat dibelikan sesuatu oleh orang tua.
Sependek yang saya perhatikan, problematika yang kerap tidak disadari oleh para orang tua saat ini adalah parenting. Penyebab dari hal ini tampaknya ada dua. Pertama, parenting belum banyak muncul ke permukaan. Sampai sekarang, hal yang paling dominan diulas adalah tentang berbakti pada orang tua.
Padahal, mestinya parenting mendapat porsi yang sama. Kedua, mayoritas orang tua merasa sudah tahu betul bagaimana mendidik anaknya. Hal ini didasarkan atas asumsi bahwa orang tua telah melihat anaknya tumbuh setiap hari, sehingga mereka (merasa) tahu apa yang diinginkan dan dibutuhkan oleh anak.
Namun, realita justru tidak menunjukkan demikian. Malah yang terjadi sebaliknya. Tak sedikit orang tua yang bukan memberikan apa yang dibutuhkan anak, justru mereka mendikte anak agar sesuai keinginan mereka. Saat para orang tua itu dilarang supaya jangan begitu, mereka biasanya berdalih, “Ini kan anak, anak saya. Ya terserah saya lah mau bersikap gimana”. Iya, memang benar itu anak kalian.
Tapi bagaimana pun anak juga punya hak yang harus dipenuhi. Mendikte anak terus-terusan sesuai yang orang tua inginkan sama saja dengan merenggut seluruh hak anak. Mungkin dari luar perbuatan si orang tua tampak ‘baik’, tapi dari dalam hal itu justru manifestasi dari keegoisan orang tua.
Perlu dicatat bahwa anak lahir bukan atas kehendak dirinya. Sebaliknya, memiliki anak merupakan keinginan orang tua. Artinya apa? Di sini pihak yang mesti bertanggung jawab terlebih dahulu adalah orang tua. Orang sering terbalik memahami hal ini. Umumnya mereka mewajibkan anak untuk berbakti pada orang tua tanpa ada kata tapi. Akhirnya anak memiliki satu kegelisahan besar.
Sudah lahir bukan karena keinginannya, saat sudah besar tiba-tiba diwajibkan berbakti pada orang tua. Jika orang tuanya memberikan pendidikan yang baik, oke, silakan! Tapi kalau orang tuanya sama sekali nggak memberikan pendidikan yang baik, tentu ini merupakan satu hal yang nggak adil bagi si anak.
Gus Baha’ pernah menerangkan soal parenting secara sederhana. Beliau berpesan pada istrinya apabila si anak menginginkan sesuatu (misalnya, jajan) sementara Gus Baha’ sedang tidur, suruh saja si anak membangunkan beliau. Sebab, jika tidak demikian maka si anak akan meminta sesuatu tersebut pada orang lain.
Gus Baha’ lantas memberi kesimpulan, “Buat apa anak berakhlak pada saya (dengan tidak membangunkan saya yang sedang tidur), tapi di sisi lain justru merepotkan orang lain?” Hal fundamental seperti ini kerap kita lupakan. Kita hampir selalu mengharuskan anak berakhlak pada orang tua, tetapi kita lupa mengingatkan diri sendiri untuk ‘berakhlak’ pada anak.
Dalam surat al-Ahzab/33 ayat 21 dijelaskan bahwa Rasulullah saw merupakan uswah hasanah (telada yang baik). Ayat ini secara tersirat menjelaskan bahwa model pendidikan yang terbaik adalah dengan memberi teladan, bukan sekadar memberi ucapan (nasihat). Apabila orang tua hanya menasihati, tapi perilakunya berbanding terbalik dengan ucapannya, maka nasihat tersebut nggak akan ada gunanya bagi si anak. Namun, jika orang tua lebih banyak memberi teladan, secara tidak langsung si anak akan menirukannya―meskipun toh orang tua tidak memberi nasihat.
Menurut saya, salah satu cara untuk memberikan teladan pada anak adalah dengan menghargai/mengapresiasi sekecil apa pun usaha anak. Banyak orang tua tak mempraktikkan hal ini. Padahal dengan memberi apresiasi pada anak, dapat mendorong semangat mereka untuk berusaha lebih keras dari sebelumnya.
Kadang saat orang tua melihat upaya kecil anaknya, bukan apresiasi yang diberikan melainkan ucapan begini, “Masa’ Cuma segitu!? Bapak/ibu dulu bisa lebih baik dari ini!”. Lah? Jika dari orang terdekatnya saja nggak dapat apresiasi, gimana anak mau berupaya (berkarya) di dunia luar? Saya rasa, dengan orang tua berkata demikian, itu sama artinya dengan menghilangkan naungan atau tempat berpulang pada si anak.
Bila upaya anak nggak dihargai, lalu bagaimana si anak bisa menghargai orang tuanya?. Dari sini tampaknya bisa diasumsikan bahwa ‘kadang’ kedurhakaan anak itu bukan berasal dari dirinya, melainkan dari orang tuanya yang nggak pernah memperlakukan dia (anak) dengan baik. Oleh sebab itu, seyogianya orang tua introspeksi diri terlebih dahulu sebelum menghakimi anak atas perbuatannya.
Kalau orang tua nggak mau introspeksi, mereka akan merasa selalu benar dan tidak memiliki potensi untuk salah. Ini seakan mencoba menjadikan anak sebagai satu-satunya tempat kesalahan. Lantas, jika demikian apakah orang tua masih pantas berharap anaknya bisa berbakti padanya?.
Tampaknya memang sangat perlu dicatat bahwa perlakuan orang tua terhadap anaknya akan membentuk perlakuan anak terhadap orang tuanya. Ingat hukum kausalitas? “Di mana ada sebab, pasti akan ada akibat”. Bagaimana pun orang tua harus banyak introspeksi diri. Jangan menutup telinga dengan berkata, “Orang tua lebih tahu apa yang diinginkan/dibutuhkan anak”.
Itu sama saja dengan tidak mau mendengar perkataan anak. Ketika orang tua memperlakukan anak dengan keegoisannya dan selalu membungkam anak, hal tersebut bisa saja menjadi bom waktu pada diri si anak. Jika suatu saat tiba-tiba si anak mengatakan yang sebenarnya dengan disertai amarah, itu artinya si anak sudah muak dengan perlakuan buruk orang tuanya. Jadi, buat para orang tua, tolong jangan semena-semena terhadap anak, ya.[]