Kuping saya sudah berulang kali gatal. Bukan karena benjolan manis akibat semut atau nyamuk yang bikin cenat cenut kayak lagu Smash. Tapi karena bosan mendengar perkataan serupa yang tak ingin terdengar. Seingatku kita sudah hidup dimana belanja gak perlu lagi keliling pasar dan ketenaran bisa didapat akibat viral. Tapi dikotomi laki dan perempuan soal berpendidikan, rasanya buat siapapun yang masih berpikir demikian, harus malu sama aplikasi g*jek di gawai pintarnya.
Keluargaku tak pernah masalah soal aku yang terkesan suka belajar di lembaga formal. Ayah dan ibu tetap dengan tabah membiayaiku, meski ekonomi sedang cenat cenut. Yah, meski dibiayai, tapi biaya belanja dan tinggalku tetap harus merogoh dompet tipis bin usang ayahanda. Meski harus berulang kali melepasku merantau, tak pernah hadir keberatan soal aku yang ingin terus sekolah. Rasanya sih cenderung bahagia dan bangga *eh.
Lagi-lagi soal gatal kuping. Nah ini. Komentar tak sedap, tapi ind*mie eh, maksudnya komentar tak enak didengar berulang kali didengungkan dengan lantang oleh orang-orang yang menanyakan kegiatanku hari ini. Aku yang sudah menamatkan pendidikan S2, harus selalu siap dan lapang dada menerima pergulatan batin soal jodohku yang bakal susah dicari kemana. Alamak, sudah macam Tuhan saja. Berlagak soal jodohku yang katanya susah. Meski memang jomblo menjadi tekad hidup, haseek.. tapi menyumpahi jodoh yang tak sampai karena belum ingin menikah, menurutku keterlaluan. Yah, tak masalah jika berkomentarnya dengan guyonan yang akan kubalas dengan senyum ramah dan candaan. Lain kalau sudah berkomentar dengan kecepatan tinggi, ngebut was wes tanpa rem. Balasanku? Ya mesam mesem aja. Mau gimana?
Tak pernah terbersit pun ketika mendaftar kuliah, bahwa pendidikan menjadi sebab terhalangnya jodoh. Lah, emang apa hubungannya? Hubungannya adalah bahwa tak semua orang beruntung dan mau studi lanjut. Dan hierarki perempuan harus di bawah laki-laki masih jadi jimat kuat dalam memilih pasangan.
Yah, pasangan hidup menurutku soal selera. Selera Tuhan mau kasih yang bagaimana, dan selera kita sebagai hamba yang diberikan kecenderungan mencintai siapa. Urusan pendidikan, status sosial, biarlah jadi urusan keluarga kami berdua. Tetangga tak punya hak mencampuri, apalagi mengompori soal runtuhnya harmonis dan romantis. Halah, halah.
Bagiku, seorang perempuan usia 23 yang kini sedang menjalani sibuknya di tempat kerja setelah menamatkan S2. Biarlah aku dengan hidup bahagiaku menikmati waktu indah di rumah bersama orang tua. Menikmati waktu jalan, bermain, dan kesendirian yang membahagiakan. Hentikan komentar yang membuatku menyesali keputusan untuk melanjutkan pendidikan. Syukur aja aku kuat, jadinya Cuma sambat-sambat sehat di cangkem. Lah kalau aku ternyata malah jadi jatuh sakit, dan tidak percaya diri?
Kamu
Kamu
Kamu,
Mau tanggung hidupku ta? Cintaku Urusan Orang Lain…