Masih berkelana di Pulau Timor, Kabupaten Kupang dan sekitarnya. Dalam rangka mengisi kegiatan di kala libur musim panas (liburan sekolah yang diatur Perda NTT karena cuaca yang sangat terik, baca di artikel “Serba-serbi Kota Kupang”). Penelitian yang terhambat dikarenakan liburan musim panas, kami memanfaatkan untuk blusukan ke daerah antah berantah namun selalu memberikan kesan yang bikin betah.
Setelah berdiskusi dan menyeleksi dari sekian banyaknya wisata yang akan dituju, kami sepakat berpetualang lintas kota, keluar dari hiruk pikuk Kota Kupang, mencari teriknya matahari di Gumuk Pasir Oetune. Sebuah pantai yang memiliki gundukan pasir yang tinggi. Di Pantai Oetune ini, wisatawan mengincar spot foto di gundukan pasir yang–jika anda pintar mengambil angle foto yang bagus–akan tampak seperti foto di gurun pasir.
Terletak di Desa Tuafanu, Kecamatan Kualin, Kabupaten Timor Tengah Selatan (TTS), NTT, Gumuk Pasir Oetune ini cukup jauh dari pusat Kota Kupang. Kamu perlu waktu sekitar 3 jam untuk menuju pantai yang berbonus gurun pasir ini. Dan perlu diingat, ini bukan di Pulau Jawa. So, jangat kaget dengan perjalanan yang sangat berkesan karena anda akan melewati daerah antah berantah ini. Heheuu.
Perjalanan kami menuju Gumuk Pasir Oetune akan melewati berbagai macam daerah, mulai daerah perkotaan, perkampungan, perkebunan kering hingga hutan yang juga kering karena puncak musim kemarau. Kontur jalanannya pun sangat beragam, mulai jalan beton dan aspal yang masih bagus, hingga jalanan tidak beraspal yang naik turun dan berliku-liku. Bonus kala itu kami melewati sungai yang kering karena jembatan penghubungnya sedang diperbaiki. Oh iya, kami berenam mengendarai 3 motor untuk trip kali ini, makin seru bukan?
Sekitar satu jam perjalanan, salah satu teman kami ingin buang air kecil. Akhirnya kami mampir ke rumah penduduk terdekat. Setelah menunggu beberapa saat, wajah teman kami pun tampak terheran. Setelah kami tanya, ternyata dia dipersilahkan kencing di salah satu ruangan dalam rumah dengan tanpa adanya bak mandi bahkan air. Saat teman saya bertanya, “bagaimana saya menyiram kencing saya?”. Pemilik rumah menjawab, “biarkan saja nanti kering”. Wkwk.
Kami berangkat dari Kota Kupang sekitar pukul 06.00 WITA, agar tidak gosong karena terik matahari ketika sampai di sana. Di tengah perjalanan, karena belum sempat sarapan, perut kami pun meraung-raung, hingga akhirnya kami memutuskan berhenti mencari sarapan. Kami sudah 2/3 perjalanan ketika singgah untuk sarapan. Tanpa pikir panjang, kami langsung menentukan untuk sarapan di salah satu warung pinggir jalan.
Warung yang kami singgahi tampak seperti “warteg” di Jawa. Namun, saking laparnya, kami lupa kalau sedang di daerah mayoritas non-muslim. Untungnya, seorang teman saya yang beragama Hindu teringat dan berinisiatif menanyakan. “Kaka nona, di sini ada masakan Babi ko?”.
Pemilik warung menjawab (dengan sedikit ragu-ragu), “Tidak”. Umumnya, orang NTT akan mengatakan “sonde” yang artinya “tidak”. Kemudian teman saya langsung menunjuk salah satu masakan yang dihidangkan, dan menanyakan masakan apakah itu. Sang pemilik warung menjawab, itu daging RW (daging anjing). Seketika, harapan kami untuk segera sarapan buyar. Hihihi.
Tidak jauh dari warung sebelumnya, ada warung bakso. Salah satu teman saya langsung berinisiatif menanyakan apakah ada masakan babi di warung tersebut. Beruntungnya perut kami, sang penjual langsung menjawab, “Saya muslim, Pak”. Tanpa pikir panjang karena naga di perut sudah berteriak, kami langsung masuk ke warung tersebut. Usut punya usut, ternyata pemilik warungnya adalah orang asli Solo.
Setelah perut terisi penuh, kami melanjutkan perjalanan menuju Gumuk Pasir Oetune. Mendekati lokasi tujuan, kami melewati jalan berpasir dengan pohon-pohon kering disampingnya. Kuda dan kerbau juga menghiasi perjalanan kami di jalanan berpasir ini.
Sesampainya di lokasi, kami bertemu dua anak pribumi yang sedang bermain-main. Kedua anak itu lalu ikut dengan kami saat berjalan dari lokasi parkir menuju gundukan pasir tujuan kami. Tidak ada tiket masuk maupun biaya parkir di wisata ini. Namun anda harus kuat dan bersabar melewati perjalanan di daerah antah berantah ini.
Sesuai dugaan, kami sampai di gumuk pasir sekitar pukul 10 siang. Matahari sudah cukup terik di atas kami. Ketika menginjakkan kaki di gundukan pasir ini, pasir-pasir mulai masuk ke sepatu kami, dan terasa panas sekali. Namanya juga liburan musim panas, apa mau dikata, kami nikmati saja panasnya. Jangan lupa, jika kamu ingin berlibur di daerah NTT, selalu bawalah sunblock atau sepulang liburan kulit anda mengalami luka bakar derajat 1. Heheuu.
Setelah berjalan menikmati terik dan panasnya pasir yang kami injak. Spot foto instagramable pun sudah ditemukan. Foto jarak dekat dengan hanya menampakkan gundukan pasir adalah incaran kami. Beruntungnya ada dua gadis kecil yang ikut jalan-jalan dengan kami. Mereka cukup bisa diandalkan untuk mengambil foto.
Setelah satu jam lebih kami berswafoto, dan matahari makin di atas kepala. Kami memutuskan untuk kembali ke tempat parkir dan duduk di gubuk-gubuk kecil di pinggir pantai. Sambil menikmati makanan ringan yang sudah kami siapkan. Menyantap snack sambil menikmati angin laut cukup membuat lelah kami terbayarkan. Ditambah adanya dua gadis kecil yang bisa kami ajak ngobrol bagaimana kehidupan mereka di sini.
Sekitar pukul 1 siang, kami memutuskan untuk pulang, karena di wisata ini tidak ada musholla. Sekitar 1 jam perjalanan kami pulang, kami menemukan sebuah masjid. Tiga orang yang punya kewajiban sholat akhirnya bisa pulang dengan tenang tanpa harus punya tanggungan lagi–karena perjalanan masih panjang. See you next trip.[]