slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
slot gacor
Belajar Mencintai Allah Secara Merdeka - Metafor.id - Resensi Buku
Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

  • Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Sunday, 1 June, 2025
  • Login
  • Register
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Metafor Resensi

Belajar Mencintai Allah Secara Merdeka

Atssania Zahroh by Atssania Zahroh
19 December 2020
in Resensi
1
Gambar Artikel Belajar Mencintai Allah Secara Merdeka
Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Seratan Mbah Emha Ainun Nadjib sudah ditempatkan di lembaran awal untuk mengantarkan pada penyelaman makna di setiap lembar berikutnya. Mbah Nun menuturkan bahwa dirinya yang hanya seorang gelandangan (pejalan spiritual) dipertemukan secara ‘romantik’ dengan Buya M.N. Kamba (Syaikh). Bermula dari pertemuan di Mesir, tepatnya di sungai Nil itu, Mbah Nun mengetahui banyak hal dari Buya, atas keluasan dan kedalaman pengetahuan yang tidak mampu diejawantahkan.

Karena keluasan hati, teladan ilmu dan laku hidup beliau, sosok Buya Kamba patut disebut sebagai Syaikh Qoryatul ‘Ilmi (kampung halaman ilmu). Ilmu dan amal bersatu dalam diri Buya lalu dituang dalam sebuah buku saku tasawuf. Sebuah buku, maha karya beliau yang utuh, berjudul “Mencintai Allah Secara Merdeka”. Ditujukan sebagai warisan untuk murid, anak, cucu beliau: kami semua. Beliau, Sang Marja’ Maiyah, inti dari segala inti sekaligus panutan, beberapa waktu lalu telah berpulang. Kami, sekarang jauh secara jasad namun tetap merasakan kehadiran Buya secara penghayatan batin.

Saya mendapati buku ini sebagai buku pedoman (guidance book). Mungkin saya tidak sendiri, banyak masyarakat maiyah atau masyarakat umum menganggap demikian. Tapi juga tidak jarang, ada yang menilai buku ini seperti buku pada umumnya. Buku yang dibaca di waktu luang, atau koleksi di perpustakaan pribadi, diletakkan di rak buku yang berlabel “Keislaman” atau “Sejarah”.

Buku yang isinya merupakan intisari dan mengulas apa itu tasawuf. Terutama tasawuf yang sudah ada pada zaman Nabi Muhammad, namun tampak asing atau baru (muncul kembali) di zaman sekarang. Bagi beliau, tasawuf adalah Islam itu sendiri. Islam sebagai pemersatu umat, mengajak untuk saling menjunjung antarsesama.

Seperti di Madinah, saat Nabi Muhammad masih bersama umat muslim. Sepeninggal Nabi, maka dikenal tabi’in, kurun di mana Islam tidak lebih penting dari politik. Mulai saat itu sampai hari ini, terjadinya perpecahan yang mengatasnamakan Islam adalah wujud nafsu kekuasaan suatu golongan.

***

Kini, ada kesan seolah antara Islam dan Tasawuf itu terlepas. Islam adalah organisasi, Tasawuf adalah ilmu kuno. Padahal keduanya adalah satu dan integral untuk menuju pusat (Allah), dahulu sampai sekarang, bahkan nanti.

Tasawuf adalah jalan kenabian. Nabi menjadi referensi dan uswatun hasanah yang nyata. Bagaimana beliau saat mengajak umat, menghargai perbedaan dan mendukung sesame merupakan prototype untuk direalisasikan. Demikian juga dengan Islam (agama), adalah persoalan berakhlak.

Berakhlak adalah transformasi diri. Tranformasi diri dalam (perilaku) kebaikan. Sama sekali bukan Islam jika di dalamnya saling menyakiti dan mementingkan diri pribadi.

Jalan kenabian, dalam konteks ini memiliki nilai yang—seharusnya—melekat pada diri manusia sebagai umat (penerus) Nabi Muhammad. 5 hal pokok yang termasuk dalam jalan kenabian, yaitu: berdaulat (mandiri), membebaskan diri dari egoisme, menerapkan kebijaksanaan, berlaku jujur, dan menebar cinta kasih.

Nabi Muhammad beserta umat Madinah di masa itu, berdampingan dan menjalankan lima prinsip tersebut. Musyawarah dengan membebaskan umat untuk saling sokong, menyampaikan niat baik, memutuskan mufakat dengan menepis egoisme personal maupun kelompok, menjunjung kebijaksanaan; mengutamakan kepentingan umum dibanding kepentingan pribadi (altruisme/ietsar). Kemudian pada masa tersebut juga terkondisikan untuk berlaku jujur dan terus melakukan kebaikan. Otomatis, konsekuensinya, dalam perjalanan spiritual, seseorang akan dipenuhi cinta kasih dan lantas menyebarkannya.

Lima jalan kenabian itu terus berlaku dan tetap relevan sampai saat ini. Terlebih sebagai perangkat psikologis spiritual untuk membina karakter. Tidak hanya umat muslim, tapi semua hamba. Tidak diperuntukkan sesama muslim, namun dengan siapapun, sesama manusia, bahkan kepada alam dan seisinya.

Refleksi Personal Saya

Hanya sedikit yang mampu saya ulas. Seperti yang sudah saya ungkapkan di awal. Buku ini padat dan semuanya bagi saya adalah inti. Sekilas, saya hanya menukil bab awal tentang Asal Muasal (Tasawuf), dan tepat di bagian bab terakhir tentang jalan kenabian.

Selain ulasan di atas, saya menemukan main-value saat belajar dari buku Buya Kamba. Inti yang tidak hanya satu, tapi berulang kali dan menyeluruh, yaitu: “mahabbah”.

Secara umum, mahabbah adalah cinta. Cinta yang mensyaratkan ketulusan, keikhlasan, tanpa pamrih. Cinta yang berarti luas. Cinta yang diwujudkan dengan sukarela. Cinta yang tidak berurusan dengan ‘siapa’ tapi juga melibatkan ‘apa’ dan ‘bagaimana’.

Kini, saya sedang dalam proses pengabdian di pesantren. Dari pengabdin itu, mahabbah cocok sebagai bekal dan perilaku, bukan tujuan akhir. Karena saya menemukan salah satu ulasan, bahwa cinta itu bukan tujuan atau satu titik. Akan tetapi pendakian spiritual yang tidak akan mencapai pada kemapanan.

Seperti yang tertuang di paragraf sebelumnya. Tasawuf, mencintai Allah, direfleksikan dalam laku baik. Kecenderungan baik atau perilaku baik belum diketahui ujungnya. Tugas kita sebagai manusia (pengabdi) hanya berusaha melakukan apa yang dianjurkan oleh Allah. Sebagian besar itu perjuangan, dan tidak selalu sesuai dengan harapan. Perjalanan ini terangkum dalam ‘kebaikan’.

Ketika mengabdi, banyak kondisi dan posisi yang tidak selalu sesuai harapan. Meski, bagaimanapun proses mencintai harus tetap berjalan. Belajar ikhlas dan tulus, saya masih belajar terus. Lalu sempat saya terbesit godaan untuk beralih dari pengabdian. Jika memang beralih kepada hal lain, tentu saya tetap berusaha untuk mencintai hal lain itu. Sama-sama berproses. Toh, sejatinya laku hidup adalah proses berjuang melawan ego diri sendiri.

Termasuk lima prinsip di atas saya ibaratkan sebagai unsur-unsur yang harus diterapkan dalam mengabdi, atau bahkan di segala aktivitas individual. Diri saya harus mandiri, berdiri dengan kebebasan berpikir, sambil berkesadaran dan bersandar pada Allah.

Di samping itu, saya juga perlu menahan keinginan diri. Ada kepentingan lain (umum) yang lebih prioritas. Saya juga belajar untuk bijaksana, jujur, dan menebar cinta kasih. Kesemuanya, tidak untuk kepentingan pribadi. Seperti ungkapan Buya, “ketika ada cinta, maka laku dan pikiran mendatangkan manfaat untuk orang lain dan sekitar”. Melalui buku ini, saya mengajari diri sendiri untuk merdeka dari jajahan ego. Sebuah buku saku bagi para pengabdi dan mereka yang ingin menjadi penebar cinta kasih.[]

Tags: belajar mencintai allahbukuEmha Ainun NadjibislamM. Nursamad Kambamencintai allah secara merdekaresensitasawuf
ShareTweetSendShare
Previous Post

Lewat Tulisan Aku BerTuhan

Next Post

Berkelana di Kota Kupang

Atssania Zahroh

Atssania Zahroh

Alumni PBSB UIN Sunan Gunung Djati Bandung yang kini sedang mengabdi di pesantren asalnya. Suka jalan-jalan buat beli momen, ketimbang oleh-oleh. Yang kuno dan klasik, be like! Mung iso belajar nulis:)

Artikel Terkait

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
Resensi

Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan

26 April 2025

 “Manungsa kuwi gampang lali, Le. Mula kowe kudu sregep nyatheti. Nyatheti opo wae kanggo pangeling-eling. Mbesuk yen simbah lan ibumu...

Novel “Heaven”: Perundungan dan Pergulatan Hidup Penyintas
Resensi

Novel “Heaven”: Perundungan dan Pergulatan Hidup Penyintas

28 March 2024

Deretan kasus perundungan akhir-akhir ini terus bermunculan. Belum lama ini ramai tajuk berita seputar kasus perundungan di Binus School Serpong,...

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard
Resensi

Dari Rongsokan ke Cambridge dan Harvard

4 September 2022

Judulnya Educated. Buku memoar yang mengantongi lika-liku kehidupan sebuah keluarga ‘penjaga’ lembah indah, Buck’s Peak, Idaho Amerika Serikat. Tara Westover...

Menyoal Tirani: Pelajaran Penting Demokrasi Abad Ini
Resensi

Menyoal Tirani: Pelajaran Penting Demokrasi Abad Ini

9 August 2022

Pada abad ke-21 ini, kita menghadapi pelbagai persoalan demokrasi di Indonesia—merujuk kepada kebebasan berpendapat dan pemenuhan hak-hak masyarakat—menjadi indikator penting...

Comments 1

  1. Pingback: Melebur Bersama Tuhan dengan Tarian - Metafor.id

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Jam Operasional Korona

Jam Operasional Korona

5 February 2021
Tempat: Kenangan dan Seisinya

Tempat: Kenangan dan Seisinya

28 January 2021
Goa Isolasi dan Surat Kecilku

Goa Isolasi dan Surat Kecilku

19 July 2021
Daftar Momen Saat Perempuan Minta Maaf dengan Tulus

Daftar Momen Saat Perempuan Minta Maaf dengan Tulus

26 December 2021
Konsep Tuhan di Benak Saya Sendiri

Konsep Tuhan di Benak Saya Sendiri

5 May 2021
Gambar Artikel Ada yang Tetap Kuat

Ada yang Tetap Kuat

3 November 2020
Pulang

Pulang

22 April 2022
Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam

Mengenal Thasykubro Zadah: Sejarawan Penulis Ensiklopedia Islam

10 March 2022
Upaya Menemukan Kepastian Hidup Ala Spinoza

Upaya Menemukan Kepastian Hidup Ala Spinoza

25 November 2021
Gambar Artikel Tiga P, Uraian Sajak Rendra Kesaksian Bapak Saijah

Tiga “P”

24 January 2021

Ikuti Kami di Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
  • Puasa Puisi: Perayaan Sastra Lintas Bahasa
  • Aku Merangkum Desember

Kategori

  • Event (10)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (8)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (206)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (136)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In