Mak,
Aku adalah anak kandung derita, buah luka, perasan air mata
Dalam kandungmu yang payah, engkau dirutuki soal menjijikkan
Menyusuku dengan darah, lewat perih yang tak henti
Mengasuhku tanpa lelah, lewat bangun yang tak jatuh
“Mamakmu adalah jalang!” Begitu kata orang
Rutuk kutuk tak henti bahkan sejak aku mampu menapak tanah
Tak ada lagi senyum utuh di wajah, hanya sebaris topeng palsu menemani tumbuhku
Kering sudah pancuran air dari kelopak mata, sudah kemarau sejak lama
Sejak tak ada puji lagi soal aku yang katanya anak zina
Mamak mengudap hina dalam bejana, menimang cerca, ditatap dengan kasihan merendahkan!
Dalam tubian yang tak mampu terlawan, engkau mendewasa dengan semerbak, pada wangi yang kuhirup sendiri
Engkau merekah dengan megah, lewat laku yang tak sampai diucap kata
Aku membesar dengan sabarmu yang lebar,
Tanpa kembalian, hanya untaian laku yang membuat hinaan terpental malu kemudian
Mamak,
Aku enggan payah, menanyaimu macam-macam soal tuduhan
Yang kutau, bersama tetes darah aku lahir dengan susah
Tak terganti, tak terbayar
Mesti tiap jumpa tetangga, engkau mengudap pahit hina, menelan cerca kasihan
Tapi lidahku hanya merasa manis kasih yang tak mati mengalir
Meski dalam pusara, si jalang tetap menjadi julukan!
Namun untukku engkau adalah denyut kehidupan yang tak pernah dihadiri kematian
kupersembahkan puisi ini untuk ibu yang disingkirkan peradaban karena kesalahan. Tetaplah tersenyum jumawa, dan menghidupkan putra putrimu dengan suka.
Comments 1