“Gelombang di tepi sampan, pertanda air tidak tenang.” Katamu.
Sungai terbentang memanjang memberi rasa gamang. Batu-batu pinggir pantai bisu dan asin laut menutup ingatan. Malam ditikam gemuruh kapal-kapal besar. Pohon bakau bersiul di pinggir pantai, menunggu badai yang berulang-ulang, tak selesai. Angin membawa bau damar lewat sela-sela nafasmu. Burung-burung putih ketakutan, mendengar tembakan dari arah darat. Saat sepi terbuka di ujung pulau yang tak berpintu:
“Dosa penjaring atau pulau?” Kataku.
Dari kejauhan ada lembayung kusam, disumbat duka. Ikan todak menikmati sisa ajal di batang pisang. Menggenggam ruh sebelum terjaring di antara sampah-sampah. Nestapa dunia tumbuh dalam tubuh, saat cinta jadi penyembuh. Di karang tempat mereka berzina, telah dilumuti moluska tak berkelamin.
“Tuhan aku hanya penjaring.” Katamu.
Enam masa telah membentuk bumi, amuk laut tak terhadang ingin memandikan anak-anak. Keramat tempayan telah pecah, membentuk garis retak-retak pada tali arus. Di ujung dayung itu garam, terasa saat mengecup sampai batas paling tepi:
“Gelombang di tepi sampan, dosa pulau.”
aku hanya penjaring Tuhan!” Katanya.
Teluk Dalam, 2019
Gemuruh Riak, yang Sampai ke Pantai
Air pasang berarus, berkocak dalam perahuku. Menjemput masa lalu. Riak yang berhias, memanjakanmu. Terus menyebut-nyebut cantik, dari kikisan yang tersisa. Pohon saban musim menangis, adalah nipah sebagai tanda setia.
Ikan todak, memakan angin. Sebab betis-betis telah tumbuh jadi pisang. Ia tak berbuah, tapi membunuh muncungmu!
Tak ada pembatas dari para penjaring, untuk berkayuh setiap petang dan tengah malam. Gemuruh tak menyimpan sabar dengan debar jantung. Menunggu hasil yang tidak jelas adanya. Menunggu sela-sela azan yang berkumandang dari darat hati.
Berharap gemuruh, mejejaki pantai. Agar kita tahu sejauh mana akan sampai.
Pelalawan, 2020
Berita Youtube yang Berwarna-warni
Begitu parah!
Orang-orang tak setia, mempersiapkan berita. Kejadian yang putus dalam peristiwa. Dan pembunuhan hanya satu warna merah. Kuning adalah penguasa: “Dia celaka!” Mendorong kejahatan lewat perintah. Kita seperti anak-anak baru lahir: “Disangka tak paham kolonial.”
Padahal yang terusir setiap malam, karung-karung uang. Lima waktu yang telah dilupakannya. Tatkala mengejar dengan kencang, memanggil tawanan.
Aneh!
Yang terpenjara lepas dari kebenaran, mendekap hingga jadi teman. Tapi suara itu keluar dari youtube pada genggamanku.
Warna-warni adalah darah gemuruh kita?
Pekanbaru, 2020