2:23 AM
Doel Sumbang
Neon Sumbang (memutar John Mayer-Neon)
Tinggal kaki tertatih mengantup batu-batu mimpi yang sekenyal trampolin
Trampolin pegas
Mental pegas
Meregang angin-angin kacau di dalam kepala
Lalu kembali The Cure, kemudian Adele
“Lovesong” yang itu-itu saja
Muak mendengar parlemen pop!
Seorang pemuda masih berusaha keras menulis lirik cinta–bermimpi menjadi seorang troubadour sekelas Bob Dylan
Hey, lihat, kataku. Banyak teori tak menyentuh kehidupan,
apakah itu tidak membuatmu resah terhadap IPK?
Tidak membuatmu gusar memburu gelar?
Lihat, apa gelarku?
Ya, gelandangan saja–sejak dulu
di sini, masih di trotoar yang sama
Masih di jalanan yang konon Basquiat adalah rajanya
Nope. Raja jalanan adalah ibu-ibu naik Mio, mungkin sekarang PCX
Urutan kedua tentu saja gerombolan youth pancasila
Tapi tahukah kau, raja jalanan yang sesungguhnya
adalah negara.
2021
Kopi Beroda
Di atas sebuah roda
Paman jenggot bermain sirkus
Melempar bola, melempar tongkat, melempar sebotol susu ke udara
*Byur*
Malam basah, Paman Jenggot tetap bermain sirkus dari malam ke malam
Sesekali mendengkur, perutnya buncit dan udelnya lompat kemana-mana
Paman Jenggot tak lagi muda, sirkusnya banyak yang gagal
Tapi hidup adalah kegagalan bagi yang selalu mencoba untuk berhasil
Ah, Paman Jenggot telah loyo dan kehilangan api dalam menjalani hidup
Meski sirkus itu abadi, kini Paman Jenggot mulai kehabisan trik dan peralatan sulap
Paman Jenggot lebih sering tidur
Melarikan diri ke alam mimpi
Masih dengan harapan yang sama:
siapa tahu ada gemuruh tepuk tangan di sana.
2021
Paranoid Porno
Melihat Jerinx, melihat Ahmad Dhani
Mendengarkan kembali album Kuldesak
Jatuh di riff-riff sederhana Andra Ramadhan
Tapi juga bertemu Yaseer Tajeda
Afro-Dominican jazz yang berlompatan di kening
Urat-urat di tangan–seperti sulur-sulur spaghetti (tak pernah selesai menulis m u r a k a m i)
Kita perlu mempertanyakan segala sesuatunya kembali, terus menerus!
Bertanya tidak sama dengan tahu
Pertanyaan itu kerja mengisi, sementara
Pengetahuan, ternyata, adalah kekosongan
Hmmm….aroma rendang
Menguar, daging dimasak 12 abad dengan bahan bakar dongeng dan sholawat
Langgar-langgar menikam dadaku
Kabar kematian seorang pemuda memukul mundur
“Hey, dia cuma pemuda 23 tahun yang akan menikahi pacarnya!”
Tapi laut adalah laut, sayang
Ia menelan bintang, ombak, nyawa, rembulan, dan pernikahan
Menangislah, menangislah selagi bisa, mbel. Aku tidak percaya Iwan Fals,
Aku tidak percaya Kunto Aji atau Nadin Amizah,
Aku tidak percaya Stars and Rabbit, little suri,
Aku tidak percaya kepada pandangan hidup yang menyongsong harapan
Lirik-lirik yang optimistik tidak akan pernah sanggup menjawab keresahan
Kita mesti menjelma puisi gelap, kita mesti masuk ke dalam hidup yang porno dan kotor
Kita mesti memandang segalanya dari tempat yang jauh dan berlawanan
Kita mesti ber-(j.a.r.a.k) sekaligus menarik simpulnya.
2021
Pandemicthink
lonjakan kasus pilek dan krismon
di kelas menengah ke bawah
hari ini, di atas selembar roti kismis
aku membaca pandemicthink (bukan talk karena rumusnya talk less think more)
mengitari android dengan kesadaran wabah
aku ingin hidup lebih lenyap di jalanan
diam seperti kembang kol di atas piring:
menjadi grass-root
membau kehidupan tanpa menjadi seorang teoretik yang kolot dan hahahihi
tentu saja kita sedang berenang di wastafel, seperti biasa
lalu bertemu rumus-rumus dan pemandangan baru
KUR, kredit usaha rebel. Bah, flannelku menolak bau-bauan bank dan seorang teller yang tidak punya kecerdasan komunikasi
“dia lebih cocok bicara dengan frekuensi atau sinyal 5g, chip-chip peradaban yang disetting dari sononya untuk was wes wos tanpa tanda baca”
pergi ke alfamart, di sana
handsanitizer telah merebut lakon dewi athena
dan yunani kuno saat ini thilang-thileng, kethap-kethip
dewa-dewa dari osiris, hyank semar, sampai prabu yugi-oh sedang bertanya-tanya
“yang ini menebar ketakutan, yang itu menebar keteledoran.
Mana lebih baik, hidup dengan ketakutan atau keteledoran?’
2021
Untitled, 714
malam Jum’at menepi di sigaran ndasmu
tidak lagi persoal apakah ruang melompati waktu atau
waktu melompati (dan meludahi) ruang
ini soal permainan kata, mudah untukmu sebenarnya–meringkus frasa, diksi, prosa,
sintaksis, semantik, atau bola-bola ubi
yang melompat dari minyak panas
susu kaleng pun berdering
green takoyaki (maksudnya klepon) mengaum
tidakkah kau mendengarnya?
masalahnya tinggal ini: apakah kesadaran butuh filsafat di balik awan (seperti peterpan dan perahu noah)?
ya, sekali lagi—di antara kesemrawutan dan sarung yang berkibar,
malam jum’at selalu mencatat kawanan
gagak di ujung kawat.
———(@gagak)——(@gagak)—-(@gagak)—–
progresi e-commerce dan kurir SiCepat, perhatikanlah
aku memaki diriku di dalam cermin yang penuh tempelan nomer resi
resi, resi, undagi, begawan, pandita, sufism: punk rock teologi.
2021
Ketoprock
Sihir rembulan bergoyang padam
Cahayanya tajam menembus kepala
yang penuh sesak digenangi tahi dan kecoa
Pikiran dan permenungan
Telah menjadi tahi dan kecoa
Pertanyaan-pertanyaan yang menyelam adalah tahi–ringan dan menyengat kesadaran
Dinamika sunyi yang parau adalah kecoa–kecil, hitam, melangkah ke mana saja
Yeah
Malam dibentang, rokok disulut, rasa kangen diolah menjadi amuk, menjadi knalpot, menjadi trotoar, dan lolong dedaunan
Di sebuah gubuk reot,
Aku melihat cinta yang ngantuk
menantang gravitasi di atas sepiring ketoprak.
Aku menyebut pengalaman ini: ketoprock!
2021
Parozmea
Apa gerangan hidungku seperti direboot oleh pohon karet dan semak sekitaran
Uninstall seribu berkas memori penciuman
Sehingga mesti kumulai lagi dari nol; ini asap, ini kopi, ini keringat kaki, ini ingus sendiri, ini niat buruk, ini gagasan ciamik, ini abab pebisnis, ini profit sekian persen dari modal yang tidak seberapa, ini kesuwungan kocek yang menyiksa (sebagian dari ruang di kepalaku).
Hmmmmm…..parosmia, paraoh, ahasveros, mia khalifa
Bukan lagi tentang pandemi, kupikir
Ini soal kehilangan daya investigasi: melacak cuaca, penting lho
Kapan badai datang tangan mesti siap
Jaket dirapatkan jangan sampai dada jebol
Dan selalulah minum air putih, kata Ibu Amur Tesiani–Mendagri yang tak pernah alpa kusayang dan kuelus (jauh di kedalaman telaga puisi)
Bertapalah. Merapal ringtone merapal genre merapal bunyi merpati pagi
Masuk ke dalam, masuk ke samping, menyelinap sunyi, memukul congkak angin
Ya, mari…
2021
Novelet Nirmakna
Membaca bayangan jatuh di bawah lampu jalan
Di atas permadani kusam, cerita-cerita yang beyond saling patah dan membagi padam
“Aku prolog dari masa silam”
“Aku epilog untuk masa depan yang terus memburu ruang kosong di sela otakmu”
Kita gerombolan kecil, gerombolan pasif
Tidur masih sekonyong-konyong
Mimpi selalu buram dan tidak teraba arahnya
Seperti bingung di pertigaan
Mau naik apa ke masa depan
Mobil, motor, andong, atau awan kinton
Kapan sampai ke sana?
“Sana” itu jauh, lebih dekat dan nikmat “sini”
Hati mampunya segini, pikiran bisanya segitu
Membeli apa-apa juga tak mampu
Membeli rumah tak mungkin, tapi aku bisa merampas isi kepalamu
Aku bisa menggiringmu ke tempat-tempat aneh
Aku bisa menyeretmu ke musik yang dangkal
Di mana irama tak ada
Nada berhenti
Segalanya kosong
Sama seperti tulisanku yang sudah-sudah:
ini semua tak punya makna.
2021
Sebuah Chat Antara Nakes dan Filsuf Yunani
Kalian melihat monitor, grafik, ICU, oxymeter, warna merah
Kami melihat jalanan, sepi dan lengang
Di balik semua ini
kita saling menuding: “omne ignotum pro magnifico!”
“Cyah.”
2021
Abad Kapiran
Seorang petapa termos membaca cerpen bersama bongkah-bongkah es batu
“Dingin tak tercatat pada termometer”
Ya, selain segala yang membuatnya sedih, memang tak ada lagi yang tercatat
Sulur-sulur sunyi yang memanjang di balik uratnya itu, apalagi
Sudah lama tak dicatat oleh meter, meter, meter
“Crazy Glue” yang memukau
Bagaimana bisa manusia menciptakan ledakan dari sekadar kata?
Ah, petapa termos terlalu naif
Ia terlalu lama memandang dunia dari perspektif beku
Terlalu betah meraba hidup dari balik telapak yang dingin
Petapa termos ingin mencium tangan Etgar Keret
Tapi ia juga ingin menendang bokong Goenawan Mohamad
Seperti satir dari abad yang kapiran.
2021