Naas! diantara jeda lebam hati dengan sayatannya yang masih basah menganga,
Ada rindu yang perlahan membuka mata, memudar dengan pasti dan melempar acuh selimutnya ke lantai.
Ia lekas menendang pintu, bergegas keluar, meradang amuk, meratap langit, lalu mengutuknya sesekali.
Perasaan yang rentang waktu telah syahid diperistirahatan, menolak untuk sekedar bercinta dengan biduan-biduan surgawi.
Atas nama ketulusan yang tertulis di batu nisan sebagai saksi gugur berkali-kali.
Ia bangkit dari ufuk cacat yang bersekat-sekat berahi berduri.
Kain kafan yang masih melekat pada tubuh rasa, terkoyak habis dengan sisa tanah liat di dahinya.
Patutlah, memang tidak ada yang lebih nirwana ketimbang mati di rindang dadanya.
Namun, lagi-lagi aku harus tertembak alum oleh selongsong cermin dalam kontak senjata dengan rasa.
Dan benar saja,
Mencintaimu bagi yang mampu meluluhlantakkan asa.
Gresik, 2021
Salik
Jasad menggeliat asik kala bunyi jam dinding ringkih membuat ruhku berhayat licik,
Malam itu sukma mengelupas melepas semua sisik.
batu-batu kecil diatas sajadah dan langit yang jatuh di balik bilik,
Leher niat disembelih berkali-kali saat sukmaku satu-persatu menaiki tangga Khaliq.
Menengok hati bersila, pendeta-pendeta melipat selendangnya dan tertawa,
Hanya hakikat yang menguap seakan tiada penghujungnya.
Nafsu terbirit-birit sembunyi pada punggung muksa,
Pikiran pu berlomba-lomba mempertontonkan jenis kelaminnya.
Hingga, “Hayya ‘alalfalaah..Hayya ‘alalfalaah.”
Ah Sudahlah, Memang banyak yang dipanggil, namun sedikit sekali yang terpilih.
Surabaya, 2021