Bekas Kecupan 1
Malam itu masih kuingat. Kau peluk aku dengan hangat. Kurasa betul kau rasa nikmat. Kecupmu dalam pejam kuratap lamat-lamat. Sesaat demi sesaat. O, setelah mati rasa. Mengapa kau lempar aku ke darat? Terjembab! O, aku yang telantar dalam sepi. Di tepi, di tepi, di tepi. O, lautku yang sunyi…
Kalibuntu, 2019
Bekas Kecupan 2
Seperti gadisku yang di desa. Kau punya rumah, kau punya tempat untuk tidur siang atau berlindung dari gigil malam. Tapi gadis-gadis yang bening, kian akrab pada yang mewah-mewah. Tidak peduli pada lunturnya make up mu. Masihkah kau terkenang? Gadis yang bening itu mengantarmu pulang tapi tak pernah sampai rumahmu. Gadis itu menanggalkanmu di tepi pantai. Ya, telantar di tepi pantai!
Kalibuntu, 2019
Bekas Kecupan 3
Ada kalanya kita musti menumpuk bekas kecupan kita di suatu tempat yang biasa kita pandang sebagai hiburan. Ada kalanya kita musti membayangkan sebab-akibat yang kita tanggalkan sebagai kenangan. Ada kalanya kita musti membaca mantra sialan, atau merasakan kembali hangatnya dekapan, atau kita amati udara yang membawa kepul asap ke angkasa. Di mana senyap terasa. Di mana, o, di mana kita ratap setiap apa yang berlalu. Apa yang di rasa merindu. Apa pun itu. O gadisku, peluk aku dengan seluruh bayangan…
Kalibuntu, 2019
Suatu Saat Kita Akan Membenci
Suatu saat kita akan membenci yang namanya pembangunan. Sebab, kita tak punya banyak uang. Kita hanya dapat saling pandang. Kita hanya dapat berpendapat. Tanah bekas leluhur otomatis jadi milik desa. Desa kian ripuh memaras dana, maka bekas tanah dianggap milik yang berada. O saat-saat terakhir udara berembus malam itu. Pasir dan batu-batu bersatu mengubur harapanmu. Dan bangunan berjejak kian luas dan kian mistis dari biasanya. O gadisku yang mati karna menembang lagu perlawanan. Rohmu senantiasa wafa di sampingku. Melayap layaplah kamu ke sana. Dan lihat betapa sangsinya kamu? Meratap orang yang berada justru kian mawas ketiadaan ketimbang keberadaanmu….
Kalibuntu, 2019