Gelembung-gelembung itu terus mengudara dan semakin tinggi diterpa angin pagi. Perlahan satu per satu jatuh dan pecah, namun ada yang masih betahan terbang kian ke sana kemari sampai lama. Di situlah kehidupan berlangsung dan terus berkembang. Spesies-spesies cerdas di dalamnya membuat teknologi untuk membuat gelembung tidak mudah jatuh atau pun pecah. Namun, sebagian ada yang ingin menikmati secara berlebih dan tak peduli dengan apa pun yang terjadi di dalam gelembung.
Setiap gelembung menunjukkan perkembangannya masing-masing. Ada yang semakin membesar dan semakin tinggi terbangnya, ada yang semakin mengecil dan terombang-ambing angin, tapi ada yang pecah secara tiba-tiba. Setiap pecahan gelembung itu diiringi suara bising mesin uap, decitan mobil, dan sinyal komputer yang mengalami bug atau error.
Gelembung yang pecah juga mengeluarkan bau plastik terbakar, mesiu yang baru meledak, juga parfum yang sangat menyengat. Berbagai macam aroma itu menyengat saraf penciumanku hingga membuat sensasi beberapa detik tidak bisa bergerak dan disorientasi ruang waktu.
***
Aku terus mencelup kawat ke dalam cairan sabun untuk menghasilkan gelembung-gelembung. Tidak ada kegiatan lain semenyenangkan membuat gelembung setiap hari, setiap jam, setiap detik. Aku akan berhenti ketika napasku mulai terengah-engah karena terlalu sering meniup. Aku hanya berhenti sejenak untuk duduk, mengamati gelembung-gelembung itu beterbangan kian ke sana kemari. Pecahan-pecahan gelebung itu membuat udara pagi lebih berwarna, beraroma, juga bernuansa. Setelah napasku kembali teratur, aku kembali meniup kawat yang telah tercelup ke air sabun untuk menghasilkan gelembung-gelembung yang lebih banyak lagi.
Sejenak, kulihat lenganku telanjur basah oleh ceceran air sabun. Aku hirup aromanya, hmmm, seperti daun pandan yang masih muda. Jika kuhirup lebih dalam aromanya akan membuatku seperti berpindah tempat secara cepat.
***
“Sudah puas kamu bermainnya?”
Suara perempuan itu lagi-lagi mengembalikanku dari hamparan luas pada kamar tiga kali empat meter yang serba putih. Temboknya putih, lantainya putih, atapnya putih, lampunya putih. Jam dinding bulat besar juga berwarna putih. Hanya jarum dan angka-angkanya yang berwarna hitam.
Perempuan itu, berpakaian seperti perawat pada umumnya, semuanya serba putih. Topi, baju, dan roknya berwarna putih. Hanya sepatu dan kaca-matanya yang berwarna hitam. Ia sedang sibuk menaruh nampan berisi makanan dan catatan resep obat yang harus aku minum.
“Sudah waktunya makan siang. Makan sendiri ya!” ucap perawat itu dengan tutur kata halus dan raut wajah ramahnya.
Aku hanya mengangguk-angguk dan mengambil piring yang berisi nasi putih. Sayuran berkuah di mangkuk aku tuangkan ke atas nasi. Aku juga mengambil tempe dan ayam goreng yang disediakan.
“Tunggu! Biar nggak lupa, ayo diminum dulu obatnya!” tegurnya menyuruh tapi dengan nada yang sangat halus.
Aku meletakkan sejenak piringku dan mengambil dua butir pil merah pucat dari telapak tangan perawat itu. Aku pandangi dulu dua pil merah pucat itu. Sebenarnya aku enggan meminumnya. Aku selalu merasa kesulitan untuk kembali ke dunia gelembung setelah meminumnya. Hal itu membuatku khawatir karena aku tidak akan tahu gelembung mana yang pecah dan gelembung mana yang semakin membesar dan terbang tinggi.
Dulu, pernah selama hampir satu bulan aku benar-benar tidak kembali ke dunia gelembung. Aku diajak keluar dari ruang putih itu. Berpindah ke sebuah rumah yang penuh buku-buku. Untung saja di sana aku membaca novel Keep the Aspidistra Flying karya George Orwell. Usai menuntaskan buku itu dan tertidur, aku sudah kembali ke dunia gelembung. Aku sangat gembira. Itu karena aku bisa kembali meniup air sabun menjadi gelembung-gelembung dan melihat gelembung yang pecah dan lainnya yang bisa bertahan dan semakin berterbangan.
“Hei… kok diam saja? Ayo diminum!” perawat itu dengan tatapan tajam melihatku sambil menyedekapkan kedua tangan di dadanya.
Perlahan aku memasukkan pil merah pucat itu di mulutku dan mengambil gelas berisi air putih yang juga berada di nampan. Aku minum air di dalamnya separuh. Separuhnya aku sisakan untuk minum setelah makan nanti.
“Nah, gitu dong. Pinter! Nanti biar lekas sembuh…” rayunya sambil tersenyum sehingga terlihat giginya yang rapi dan putih.
Aku mengangguk-anggukkan kepala sambil mengembangkan sedikit senyum.
Perawat itu keluar kamar putih ini saat aku bersiap menyantap makananku. Saat bayangannya sudah menghilang keluar dari pintu ruangan putih ini, aku mengeluarkan dua pil merah pucat itu dari balik lidahku. Aku bungkus dua pil merah pucat itu dengan tisu dan membuangnya di tempat sampah di bawah meja di samping tempat tidur yang bantal dan kasurnya berwarna serba putih.
Begitu tuntas menyelesaikan makan siang, aku berjalan keluar untuk meletakkan piring, mangkuk, dan gelas di meja luar. Biasanya beberapa waktu berikutnya ada suara troli yang didorong oleh seorang laki-laki muda berpakaian kemeja biru rapi dan bercelana hitam dengan sepatu kets mengambil piring-piring kotor. Ia tidak banyak bicara. Dua kalimat pendek yang biasa diucapkannya biasanya hanya “permisi mas” dan “terima kasih”. Itu saja. Tiada yang lain. Itulah mengapa aku juga tidak tertarik untuk berinteraksi dengannya. Ketika dia sudah terlihat di ujung lorong, aku bergegas masuk ke kamar lagi.
Aku perhatikan detik jam yang berputar ke kanan bawah kembali ke atas lagi. Aku suka melihat jam itu karena bentuknya mirip gelembung yang dilihat dari kejauhan. Hanya saja bentuknya pipih, tidak bulat penuh seperti gelembung-gelembung itu. Tapi setidaknya itu adalah benda paling menarik di ruang putih ini. Aku memperhatikan jarum pendek dan jarum panjang di jam itu sama-sama menunjuk ke angka 12.
Biasanya aku memandangi jarum detik yang terus berputar dan menikmati sensasi suar “clek… clek… clek… clek…“ hingga jarum panjang di angka 6 sedangkan jarum pendek berada di antara angka 1 dan 2. Pada waktu itu biasanya rasa kantuk datang dan aku segera tidur siang hingga bangun ketika senja telah membayang di jendela.
Aku selalu memanfaatkan waktu tidurku untuk kembali ke dunia gelembung-gelembung. Di sana kakiku tidak menapak ke lantai seperti di sini. Aku melayang! Dan setelah kuingat-ingat lagi, ternyata aku tidak mempunyai kaki tangan atau bagian tubuh apa pun. Namun, di sana, aku bisa melakukan apa saja; memegang apa pun, dan menggerakkan apa pun dengan mudah. Apa pun yang kuinginkan aku tinggal memikirkannya dan wujud itu segera ada. Aku bisa menentukan warnanya, besarnya, baunya, dan juga teksturnya. Aku juga bisa melenyapkan dalam sekejap. Entah bagaimana caranya, intinya itu seperti sebuah keterampilan otomatis yang terjadi begitu saja tanpa aku ingat lagi tahap demi tahapnya seperti apa.
Memang, hal yang paling menarik di dunia gelembung-gelembung adalah meniup air sabun dan menghasilkan gelembung demi gelembung yang akan menyebar ke seluruh ruang yang seolah tak terbatas itu. Dari gelembung-gelembung itu aku bisa mendengar suara-suara riuh. Ada kebisingan, ledakan, hentakan, tapi ada juga suara musik, suka cita, percakapan dan lantunan monolog yang seolah ingin bicara dengan sesuatu di luar gelembung.
***
Jarum panjang sudah menunjukkan di angka 12 dan jarum pendek sudah berada di angka 4. Aku tak kunjung mengantuk. Aku masih berdiri mematung di depan jam sambil bertanya-tanya apakah dua pil merah tadi tertelan. Aku berjalan menuju tempat sampah di bawah meja sebelah kasur. Aku korek-korek lagi. Akhirnya aku menemukan lagi dua pil merah itu. Berarti benar aku belum meminumnya. Tapi mengapa aku belum mengantuk? Tanpa rasa kantuk yang berat dan tidur yang pulas aku tidak bisa kembali ke dunia gelembung-gelembung.
Akhirnya aku memaksakan diri untuk berbaring dan menutup seluruh tubuhku dengan selimut. Aku mulai mengingat-ingat kisah Gordon Comstock, seorang tokoh penulis miskin nan malang yang diciptakan Orwell dalam novel Keep the Aspidistra Flying. Tak lama kemudian aku sudah terlelap dan berhasil kembali ke dunia gelembung.
***
Suasana sudah banyak yang berubah. Banyak gelembung-gelembung yang pecah dengan begitu mudahnya. Kilatan cahaya dan kepulan asap terbang ke sana kemari. Sedangkan gelembung-gelembung yang masih tersisa menggabungkan diri dengan satu gelembung yang semakin mebesar dan menyorotkan cahaya yang sangat terang ke segala arah. Semakin membesar dan semakin terang dalam waktu yang cepat.
Aku melihat gelembung itu tak hanya diam, tapi berputar dengan begitu kencang sehingga menghasilkan arus angin dengan kecepatan tinggi. Angin itu tidak menyebar ke luar. Sebaliknya, angin itu terbang kencang mengerucut menuju gelembung terang itu.
Gelembung itu seperti menyedot apa saja yang ada di sekitarnya. Suara gemuruh, ledakan, dan benda-benda yang saling bertabrakan dengan begitu kencangnya. Debu-debu yang beterbangan dan cahaya yang semakin terang membatasi pandanganku.
Aku mencoba bertahan sekuat mungkin. Aku mencoba mencari cara untuk menaklukkan gelembung itu. Tapi, apa pun yang kuciptakan tersedot masuk ke dalam gelembung yang kian membesar dan semakin terang itu. Kekuatan yang kukerahkan untuk bertahan atau berusaha menjauh dari gelembung itu sia-sia belaka.
Setelah mencoba beberapa saat untuk bertahan, akhirnya aku menyerah juga. Gelembung itu terlalu kuat untuk kulawan. Aku terpelanting begitu kencang menuju gelembung yang semakin cepat berputar, semakin kuat menghisap, dan semakin terang cahayanya hingga aku tak bisa melihat apa-apa lagi.[]














