Hujan belum menunjukkan tanda reda. Aku menyeduh kopi lalu termenung menatap bulir-bulir air di jendela mess yang jatuh tergesa. Angin menyelinap masuk melalui lubang ventilasi. Embusannya membuat kulitku merinding.
Jam menunjukkan pukul dua belas siang. Dalam dua jam shift kerja akan dimulai. Aku bekerja di pabrik sepatu, memotong bahan baku sepatu sesuai dengan pola yang sudah ditentukan. Di pabrik, aku berteman akrab dengan mesin-mesin besar yang derunya memekakkan telinga. Menghadapinya sambil berdiri sepanjang jam kerja adalah upacara harian pabrik. Paket sempurna yang mengoyak tubuhku dengan lelah.
Minggu depan akan genap satu tahun aku bekerja di pabrik. Aku tak pernah mengira dapat melaluinya selama ini. “Gak enak kerja di pabrik,” jawaban ini yang selalu kuberikan saat ditanya Bu Mamat. Tapi aku berjuang, memaksakan diri bertahan.
Aku tak berusaha menghangatkan diri. Aku beralih menatap langit sambil membiarkan dingin merayapi tubuh. Aku melihat wajah Aluna Sora di bentangan langit. Wajah buah hati yang sangat kusayangi. Rinduku padanya tak pernah habis.
Usianya kini menginjak lima tahun. Ia mewarisi rambutku yang hitam kecoklatan, sedangkan senyumnya persis seperti suamiku, persis seperti yang kuinginkan saat aku mengandungnya.
Warna kulitnya cokelat manis, perpaduan antara kulitku yang kuning langsat serta kulit suamiku yang sawo matang. Matanya seperti mata ayahku: bola mata dengan warna cokelat bening. Indah sekali. Aku senang Sora mewarisi mata kakeknya, yang hanya turun separuhnya saja padaku. Mata itu selalu nampak tersenyum, di sana tersimpan kekuatan yang membuat semua lelah di tubuhku luruh.
Aku tak pernah melupakan saat ia pertama memanggilku mama sambil merangkak ke arahku. Kini bicaranya sudah lancar sekali. Ia senang mengarang cerita tentang apa saja. Terakhir ia menceritakan tentang ayam Kang Mamat yang katanya tercipta dari tawa Kang Mamat sendiri–suaranya memang lebih mirip orang tertawa ketimbang ayam berkokok.
Hingga tahun lalu aku tak pernah mangkir dari sisinya. Melihat satu demi satu keajaiban yang ia ciptakan. Kini waktuku bertemu dengannya hanya hari Minggu saat libur. Jarak antara rumahku dan pabrik sebetulnya bisa ditempuh dengan tiga jam perjalanan bis. Hanya saja, sangat tak memungkinkan untukku pulang pergi di tengah pembagian shift yang sering tidak pasti.
Suamiku berkali-kali memintaku untuk berhenti. Tentu saja aku pun ingin berhenti. Namun, aku tidak bisa sembarang berhenti sebelum mendapat pekerjaan lain yang bisa menjamin makan anakku. Pekerjaanku sebelumnya sebagai guru privat, di samping bertani, sangatlah tidak cukup. Apalagi aku lebih sering membiarkan anak-anak belajar tanpa kupunguti biaya. Itu kulakukan pada anak yang aku tahu betul bagaimana kondisi orang tua mereka. Jangankan untuk bayar guru privat, ada untuk makan saja sudah untung.
Rokokku sisa tiga batang saja. Di musim hujan begini, memang paling enak merokok lebih banyak, sambil menyeruput kopi, sambil menatapi jatuhan bulir hujan, sambil menemani pikiranku berjalan-jalan. Sial, korekku hilang lagi!
Ini kali ketiga korekku hilang dalam dua minggu terakhir. Suamiku sempat membekaliku dengan tas rajut khusus korek yang bisa aku kalungkan di leher, namun tas imut itu raib bersamaan dengan raibnya korek. Terpaksa, lagi-lagi aku harus menyalakan rokok dengan api kompor. Aku tak berani mendekatkan wajahku pada api kompor seraya mengisap rokok untuk merambatkan apinya. Jadi, kubiarkan saja rokok itu terbakar sampai baranya benar-benar menyala. Itu membuat ujung rokok gosong tak merata, juga merusak sedikit rasanya. Tapi biarlah!
Aku dan suamiku pertama bertemu di panggung bebas yang diadakan di sebuah kafe. Aku membaca puisi sedang dia menyanyikan dua lagu. Sebagaimana dengan yang lain, aku ngobrol ala kadarnya dengan dia. Tak lama setelah itu, ia mengajakku berjalan-jalan di pantai. Aku menerima tawarannya lalu ia menjemputku sepulang kerja. Kami saling bercerita sampai gelap sempurna menutupi sore. Pada saat itulah aku tertarik padanya, hingga tak lama kemudian aku menyatakan gemuruh hatiku.
Ia adalah sosok yang mampu membuatku jatuh cinta dalam waktu singkat. Kami kemudian bersepakat untuk bersama dan jadilah ia kini sebagai suamiku. Setelah menikah, aku dan suamiku memutuskan untuk tinggal di kampung halamanku dan hidup sebagai petani sayur. Kampungku berada di kaki gunung. Udaranya sangat segar, dingin, serta tanahnya begitu subur. Ibarat lirik lagu, ‘tongkat kayu dan batu jadi tanaman.’
Hidup sebagai petani, dibalut udara segar, jauh dari hiruk pikuk dan kemacetan kota adalah hidup yang sejak awal kami impikan. Mulanya segalanya berjalan lancar, hingga dari tahun ke tahun harga sayur terus anjlok. Aku, suamiku, juga petani sayur lainnya kelimpungan.
Kami dan petani lain sempat bekerja sama untuk menjual sayur langsung ke konsumen tanpa perantara tengkulak, namun upaya itu tak begitu membantu. Selama negara masih membuka keran impor, dan influencer dengan masifnya mempromosikan sayuran dari Vietnam, Tiongkok, Selandia Baru, dan negara-negara lainnya, konsumen kami terus berkurang.
Suamiku sempat melakukan barter sayuran dengan pedagang daging, beras, dan kebutuhan pokok lainnya. Namun, pedagang-pedagang tersebut hanya mau melakukannya satu kali, sisanya mereka ingin dibayar dengan uang sambil mengatakan bahwa wortel dari Vietnam dan China lebih enak, lebih manis, dan lebih banyak vitaminnya.
Strategi lainnya, kami menanam dua sampai tiga jenis sayuran dalam petak kebun yang sama, namun kami perlu mengeluarkan modal lebih banyak untuk bibit. Sedangkan hanya sedikit saja petani yang memiliki modal cukup. Belum lagi menemukan sayuran yang cocok untuk disandingkan membutuhkan waktu lama, di sisi lain lapar tidak mengenal kata tunggu.
Akhir-akhir ini para petani bekerja sama dengan yayasan-yayasan dan pondok pesantren. Walaupun tidak untung, tapi minimal mereka tidak rugi. Mereka bisa membelanjakan uang hasil penjualan tersebut untuk bibit baru, sambil harap-harap cemas harganya akan naik saat panen.
Kami petani tidak pernah berhenti menyusun taktik. Jika tidak begitu, hidup kami tidak dapat berjalan. Sedangkan posisi negara pada kami adalah habis manis sepah dibuang. Mereka datang menawarkan janji ini itu sambil memohon suara. Lalu saat mereka sudah berkuasa, janji itu mereka simpan di gudang belakang. Usang lalu hilang seiring digerogoti rayap.
Pagi tadi melalui reels Instagram aku melihat bagaimana petani sayur di Desa Kepakisan, Batur, Banjarnegara, menendangi kebun wortelnya yang ia biarkan hingga berbunga karena harganya terus anjlok, bahkan mencapai 300 perak per-kilogram. Mereka sangat marah dan kecewa. Aku mengerti sekali perasaan itu. Lalu dengan terpaksa mereka memanen hasil tani tersebut untuk kemudian dijadikan pakan ternak.
Aku langsung menghubungi suamiku, menanyakan harga jual wortel. Katanya 1500 perak per-kilogram. Tetep aja murah! Namun, ia tidak sedang menanamnya. Terakhir ia memanen sawi, tetapi hingga sekarang uang panennya masih belum dibayarkan tengkulak.
Kondisi itulah yang kemudian membuatku berakhir di mess ini, menatapi hujan sambil menunggu giliran shift. Memutuskan bekerja di pabrik bukan tanpa diskusi yang alot. Suamiku beberapa kali menentangnya. Hanya saja, bagaimana pun salah satu dari kami harus ada yang bekerja di luar, dan aku rasa akan lebih baik jika aku yang melakukannya.
Aku sangat percaya pada suamiku untuk membersamai tumbuh kembang Sora. Ia adalah sosok yang akan menjaga baik-baik orang yang dikasihinya, bahkan dengan nyawanya sendiri. Sora sangat beruntung memiliki ayah sepertinya, juga aku sangat beruntung memiliki suami sepertinya.
Tiga batang rokokku tandas dan kopi yang kuseduh sudah menjadi dingin. Dinginnya sama seperti lantai pabrik. Dinginnya selalu berhasil tembus ke dalam sepatuku, menyentuh telapak kaki, menciptakan kekosongan dan kengerian dalam hati.
Sambil memotong bahan baku sepatu, kadang terlintas dalam pikiranku betapa banyak keuntungan yang diraup pabrik ini. Dengan 8 jam kerja per-hari, dengan durasi memotong hanya lima menit setiap pasangnya, dengan jumlah buruh sedikitnya 30 orang per-divisi, dengan mesin-mesin raksasa yang tak pernah mati, produksinya pasti banyak sekali. Selain itu pabrik sepatu ini sejatinya brand ternama milik asing. Harga untuk sepasang sepatu sangatlah tinggi, hampir setara dengan gajiku tiga bulan.
Sepatu-sepatu ini dipajang di etalase-etalase pertokoan mewah dengan begitu cantiknya. Gambar model yang sangat menarik serta teks iklan yang menggugah memenuhi dinding toko. Aku pernah melewati pertokoan mewah semacam itu serta mengamati sepatu-sepatu tersebut, melihat orang-orang yang pada matanya terpancar buncahan hasrat. Namun, alih-alih cantik, aku justru melihat derita buruh yang bekerja di baliknya. Deritaku sendiri, derita berjauhan dengan Sora, derita jauh dengan suamiku, derita hidup yang kebak resiko dan terombang-ambing dalam badai-lirih ketidakpastian.
Sial! Sudah jam 1:45, aku harus segera berangkat.[*]














