Orang-orang yang menyadran ke kota pasti sudah terbiasa melihat seseorang berpakaian Ultraman di sebuah sudut pekuburan. Karena dia selalu berpakaian dan bertopeng Ultraman–tokoh fiksi serial TV Jepang karya Eiji Tsuburaya–maka orang-orang memanggilnya dengan sebutan Ultraman.
Terkadang dia terlihat memasang kuda-kuda–layaknya tokoh Ultraman yang hendak melawan Godzilla–di dekat makam. Biasanya anak-anak pembersih makam akan meneriaki si Ultraman dengan sebutan orang gila ketika melihat rangkaian kuda-kuda itu. Namun ada hari ketika Ultraman hanya duduk terdiam di sebelah makam tanpa melakukan apa-apa. Tentu saja anak-anak pembersih makam tetap berpikir bahwa dia gila. Mereka terlalu repot untuk mencari tahu lebih dalam tentang seseorang, dan memilih cara yang lebih mudah: menyematkan predikat orang gila.
Tidak ada yang pernah tahu tentang siapa dirinya, termasuk tubuh yang tertidur abadi di dalam makam yang selalu ia kunjungi.
***
Kala itu kota lumayan gempar dengan munculnya seseorang berbaju Ultraman. Dia mendatangi satu tempat ke tempat yang lain dengan berjalan kaki. Sesampainya di muka toko atau tempat umum lainnya, ia memasang kuda-kuda seperti hendak melakukan jurus pemungkas untuk mengalahkan kejahatan. Sepiker kecil yang ada di saku celananya tidak berhenti memutar musik rok Jepang. Terkadang si Ultraman melengkapi kuda-kuda bertarungnya dengan membawa pedang plastik bercorak biru dan merah di tangan. Jika dia membawa pedang, kita beruntung karena bisa melihatnya seolah-olah sedang melatih kecakapan mengayunkan pedang.
Beberapa anak kecil biasanya akan tertarik dan mendekat. Ada beberapa anak yang merengek kepada orang tuanya agar bisa berfoto bersama Ultraman. Beberapa orang tua tampak senang, namun tidak jarang pula orang tua yang mengisi kotak sukarela biaya foto bersama dengan mencaci maki. Ada juga yang mengisi kotak tanpa mengajak foto, melempar satu sampai dua keping receh ke dalam kotak dan pergi begitu saja. Kadang kotaknya juga tidak diisi, meski ia sudah melakukan beberapa rangkaian kuda-kuda. Jika sudah begitu, biasanya dia akan mengakhiri kuda-kudanya, menunduk memberi hormat, mengambil kotak yang tidak bertambah, dan berjalan menuju tempat lain.
Ultraman telah mengenal kota ini dengan baik. Dia hapal setiap jengkal kota. Dimulai dari sudut kota yang bersedia mengisi kotaknya dengan selembar uang, sekeping receh, hingga sudut kota yang hanya memberinya caci maki ketika ia beraksi. Si Ultraman juga sudah hafal jadwal pulang sekolah. Biasanya dia beraksi di dekat sekolah taman kanak-kanak atau sekolah dasar ketika berada di jam pulang sekolah. Anak-anak yang baru saja keluar gerbang sekolah, akan berteriak kegirangan dan mendatangi Ultraman untuk menyaksikan aksinya. Anak-anak itu biasanya rela menyisihkan uang jajannya, untuk melihat kuda-kuda baru yang dilakukan. Bahkan ada beberapa anak yang mengusulkan gaya kuda-kuda baru kepada si Ultraman untuk dilakukan di aksi selanjutnya.
Namun ia tidak lagi beraksi di dekat sekolah, usai ditegur dan diusir satpam sekolah. Suatu kabar mengatakan bahwa si Ultraman adalah seorang pedofilia. Kabar itu menyebar tanpa perlu menunggu habis satu hari, hingga paguyuban orang tua meminta pihak sekolah melarang si Ultraman mendekati area sekolah. Ada satpam yang mengusirnya dengan ucapan yang sopan, dan ada juga satpam yang mengusirnya dengan mendaratkan pentungan hitam.
Tuduhan pedofilia yang didapat dari area sekolah cukup berpengaruh pada penghasilannya di sudut kota lain. Beberapa rumah mulai enggan mengisi kotaknya, bahkan ada yang langsung mengusirnya ketika si Ultraman berhenti di muka pintu. Uang yang mengisi kotaknya kian berkurang. Sudut-sudut kota yang biasanya tertawa untuknya kini memalingkan muka. Tidak ada lagi anak-anak yang tampak mengajak foto bersama. Bisikan-bisikan kian lantang.
“Lihat, itu lho, Ultraman yang katanya suka sama anak-anak kecil,”
“Oh, aku pernah lihat dia! Dia pernah datang di pemakaman anak kecil di kampung sebelah. Pakai baju Ultraman-nya itu. Benar-benar tidak tahu tempat. Cari rezeki kok di pemakaman orang,”
“Anak yang mati itu bukannya anak dari janda yang baru saja menikah itu, ya?”
“Betul! Perempuan yang ditinggal minggat sama suaminya, kemudian dia nikah lagi sama duda yang punya rumah makan di jalan utama. Biasa, janda carinya orang kaya. Waktu miskin suaminya minggat. Giliran suaminya kaya, anaknya mati. Idih!”
***
Si Ultraman melangkah menuju sebuah makam–makam yang selalu dikunjungi setiap sore. Setelah membersihkan permukaan makam dari retakan ranting, daun kering, dan serpihan bunga kering, si Ultraman duduk di sebelah makam. Di balik topeng, matanya menatap nama yang tertulis di atas nisan.
“Ibumu sehat. Tadi bapak lihat dia sedang melayani pelanggan di rumah makan. Suami baru ibu–ayah tirimu–hari ini memberi bapak sebungkus nasi rames gratis, sehingga bapak hari ini tidak kelaparan,” ucap Ultraman dari balik topengnya.
Topeng dan jubah yang basah menyembunyikan air mata dan jiwa yang rapuh di baliknya. Hujan dan tangis si Ultraman dari balik topeng kian deras.
“Kali ini bapak akan tetap di sini. Kamu jangan takut, ya.” Si Ultraman mengambil sebuah mainan Ultraman dari kotak yang biasanya digunakan untuk mengumpulkan uang. Ia meletakkan mainan itu di sebelah nisan.
—
Kutoarjo, 06 September 2021