Sudah tengah hari. Saman pulang dari kebunnya dengan perasaan kalut. Ia ingin menikah lagi, tetapi hatinya malah jatuh kepada seorang perempuan yang masih bersuami.
Tiba-tiba, di tengah perjalanan, saat ia akan menyeberang sungai, Pardi menyorakinya, “Hai, kemarilah. Aku punya sesuatu untukmu.”
Tanpa pertimbangan, Saman pun melangkah menuju ke rumah kebun Pardi. Ia yakin saja bahwa lelaki humoris itu akan memberikan kejutan yang menyenangkan untuknya. Apalagi, selama ini, mereka memang berteman baik dan memiliki kesenangan yang sama.
Benar saja. Setelah naik ke rumah panggung yang sedikit reyot itu, Saman pun menemukan sebuah jeriken berisi tuak di tengah ruangan. “Wah, asyik ini!” Serunya, antusias, lantas duduk bersila.
Pardi pun tertawa pendek. “Aku ingin menyenangkanmu. Aku tahu, tak ada hari yang menyenangkan untuk seorang lelaki yang telah lama menduda, sepertimu.”
Saman balas tertawa. Tanpa permisi, ia lantas membuka penutup jeriken dan menuangkan tuak ke dalam gelas. Tanpa persilaan, ia lalu meneguk tuak itu. “Sebenarnya, lebih enak menduda begini. Bebas menyukai dan menggoda wanita mana saja,” kilahnya, setengah bercanda.
Pardi pun mendengkus. Ia lantas meletakkan parang dari pinggangnya di samping jeriken tuak, lalu duduk dan membalas selorohan Saman, “Hati-hati menggoda wanita. Kau tahu sendiri, semua wanita punya ayah, atau suami.”
Tiba-tiba, Saman merasa tersinggung. Selain karena ia sedang menyukai seorang wanita yang bersuami, juga karena ia merupakan ayah dari seorang gadis yang ikut dan tumbuh besar bersama mantan istrinya di provinsi lain. Maka demi menyamarkan rasa kekinya, ia tertawa saja, kemudian berketus, “Asalkan tidak ketahuan,” katanya, lalu kembali meneguk tuak.
Seketika pula, Pardi tergelak. “He, jangan macam-macam. Semua rahasia bisa ditutupi dengan baik. Tetapi soal perasaan terselubung kepada lawan jenis, pada akhirnya, akan terbaca juga oleh orang lain, kecuali perasaan itu benar-benar telah sirna sebelum ketahuan.”
Sontak, perasaan Saman menjadi kecut. Ia mulai menduga bahwa Pardi menyinggungnya dengan sengaja.
“Meski aku tidak lagi sedemen dahulu pada istriku, dan hatiku senantiasa tergoda pada wanita yang lebih muda, tetapi aku tak akan rela kalau istriku diganggu pria lain,” terang Pardi, dengan ekpresi wajah yang datar, lantas menenggak tuak dengan buas.
Perlahan-lahan, Saman menjadi khawatir kalau Pardi benar-benar telah membaca rahasia hatinya, bahwa wanita yang ia idam-idamkan, tak lain adalah istri Pardi. Pasalnya, Pardi yang selama ini doyan menggoda para wanita tanpa mengacuhkan perasaan para mahramnya, tiba-tiba saja menjadi peduli pada harkat dan martabat perempuan, termasuk sang istri.
“Siapa pun yang berani mengganggu istriku, pasti akan kuhajar habis-habisan,” tegas Pardi, dengan tatapan yang tajam.
Tak pelak, Saman pun merasa kalau Pardi sudah mengetahui bahwa ia adalah lelaki yang kerap mengirimkan pesan gombalan kepada istri sahabatnya itu, atau meneleponnya dengan kata-kata mesra, dengan menggunakan nomor telepon khusus.
Akhirnya, karena takut, Saman berhenti meneguk tuak di tengah kesadarannya yang mulai kabur. Ia tidak ingin mabuk sempurna, hingga Pardi menghajarnya tanpa ampun. Ia tidak ingin terjadi hal yang fatal pada dirinya karena pergulatan di tengah teler.
Belum lagi, ia merasa harus menjaga sikap dan tindakannya hingga beberapa hari ke depan. Ia harus tampil sebagai sosok yang baik di mata anak gadisnya yang kini tengah berada di rumahnya. Ia tentu tidak ingin anaknya tahu bahwa ia mabuk dan berkelahi karena perkara perempuan. Ia tidak ingin anaknya mendapatkan bukti yang nyata bahwa ia bercerai dengan istrinya karena ia suka mabuk-mabukan dan bermain perempuan.
“He, kenapa berhenti minum?” Sidik Pardi, dengan raut yang tampak setengah sadar. “Ayo, hajar lagi, sampai habis!”
Saman pun menyengir. Ia lalu kembali menuangkan tuak ke dalam gelasnya, kemudian menyesapnya saja.
Pardi lantas tertawa terbahak-bahak. “Begitu dong!” Pujinya, lalu kembali menenggak segelas tuak.
Sejenak berselang, Saman pun meletakkan gelasnya. “Mantap!” Serunya, sambil menampakkan sikap tubuh yang seolah-olah telah kehilangan kewarasan.
Pardi tertawa lagi. “Habiskanlah!” tawarnya, sambil menyorong jeriken tuak. Ia lalu bangkit dan berjalan dengan langkah sempoyongan. Ia lantas menyandarkan tubuhnya di dinding, kemudian menyemprotkan air kencingnya lewat sela-sela papan.
Ketika Pardi tengah berkhidmat dengan hajatnya, dan suara gemercik kencingnya terdengar menghantam dedauanan, Saman pun lekas membuang sisa tuak di dalam jeriken lewat lubang lantai. Ia tak ingin Pardi memaksanya untuk menandaskannya, hingga ia kehilangan kendali atas dirinya.
Sesaat berselang, Pardi kembali duduk di depannya dengan sikap mabuk. “Oh, iya, ada lagi yang ingin aku tunjukkan kepadamu,” katanya, lalu mengusap-usap layar ponselnya. “Ada tawaran yang menarik untuk duda sepertimu.”
Saman pun jadi penasaran.
“Lihatlah, ini hasil intipanku; seorang gadis cantik yang baru kulihat kemarin. Kalau kau mau, untuk kau saja,” tuturnya, sambil memampang layar ponselnya di depan wajah Saman.
Di layar kaca itu, Saman pun melihat anak gadisnya tengah mandi di tepi sungai, tepat di seberang kebun Pardi, dengan sisi-sisi tubuh yang tak seharusnya terlihat oleh pria mana pun.
Seketika juga, dengan kesadaraan yang buram, Saman pun menghantam Pardi dengan bogem mentah.[]
Thanks for the website it is truly an amazing website, thanks for sharing it.