• Tentang Kami
  • Hubungi Kami
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kerjasama
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
Tuesday, 02 December 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Ceriwis

Ternak Ilmu(wan)

M. Naufal Waliyuddin by M. Naufal Waliyuddin
1 December 2020
in Ceriwis
0
Gambar Artikel Ternak Ilmu(wan)

Sumber Gambar: https://www.boredpanda.com/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Kapan terakhir kali kita menjenguk suatu peternakan? Atau minimal mengintip ke dalam kandang hewan ternak yang berisi satu kontingen keluarga saja. Bagaimana kondisinya? Seperti apa manajemen, pemosisian peran, tata-kelola kekeluargaan di dalamnya? Harmoniskah hubungan binatang ternak dengan pemiliknya?

Tidak harus kau jawab sekarang. Lantas setelah mencuripandangi perihal ternak secara visual-imajinatif, adakah terlintas di benak masing-masing kita tentang kemiripan ‘peradaban ternak’ di kandang dengan wajah situasi negara kita, bahkan dunia belakangan ini—beserta komplikasi silang-sengkarut konstelasi di dalamnya?

Banyak centang-perenang kerumitan zaman yang semakin hari makin absurd perwujudan tingkah-polahnya. Jangan-jangan kita sendiri yang membikinnya rumit dan absurd. Atau, malahan kita yang sedang teperdaya oleh pusparagam make-up terkini dan aneka riasan ber-merk mutakhir yang semakin canggih memoles dan mematut-matut penampilan? Syukurnya, mayoritas orang pada titik koordinat psikologis tertentu, pasti akan pernah memetik kesadaran: bahwa segala aspek di dunia ini tengah dicengkeram oleh ‘ideologi peternakan’ dan ‘dramatika industrialisasi’.

Tidak terhitung sudah berapa aspek dan ranah kemanusiaan yang diternakkan, dengan ribuan atau mungkin jutaan manusianya yang dijadikan SDT-nya. Sumber Daya Ternak. Sebab, yang konon disebut-sebut dan dibangga-banggakan sebagai SDM, seperti sindir Mbah Nun (Emha Ainun Nadjib), toh hanyalah ukuran yang parameternya disandarkan pada tingkat daya-produktivitas perorangan yang memberikan benefit kepada industri di mana ia bekerja. Bukankah yang demikian itu tergolong ‘mental ternak’?

Sekalipun seseorang tersebut memiliki produktivitas yang lumayan, selama ia tidak menyumbang keuntungan terhadap kepentingan industrial, maka ia tidak akan pernah dikategorikan sebagai SDM yang baik.

Apalagi, jika kita mentadabburi ungkapan Mbah Nun: “Kejahatan adalah nafsu yang terdidik. Kepandaian sering kali adalah kelicikan yang menyamar. Adapun kebodohan, acapkali, adalah kebaikan yang bernasib buruk. Kelalaian adalah i’tikad yang terlalu polos dan kelemahan adalah kemuliaan hati yang berlebihan.”

Ghiroh atau spirit keilmuan bangsa kita sekarang ini lebih mengutamakan hasil yang sekiranya dapat mendatangkan ‘daging-daging’ ilmu yang laku di pasaran (mainstream) dan ‘kotoran-kotoran’ hasil olah metabolisme dan sistem ekskresi yang bisa dijual sebagai pupuk. Pokoknya yang menghasilkan keuntungan dan kepuasan semu. Pseudo-satisfaction. Dengan sorot mata yang silau akan iming-iming omong kosong motivasional dan serapah janji cerah masa depan yang bagai cenayang seakan mampu memproyeksikan masa depan dari telunjuk jari mereka sendiri.

Silakan diamati pula, umpamanya, frame beternak sarjana. Kaum intelektual dijujui, disuapi dengan asupan gizi palsu yang kebak tabungan penyakit degredatif dan dekadensi bagi generasi mendatang. Atau, fenomena cendekiawan dan ulama yang menurunkan derajatnya—untuk menyebut: jual diri—agar memeroleh kursi empuk, bernama kedudukan. Selepas lulus, asal colak-colek, langsung calik (Sunda: dapat ‘duduk’).

Akan tidak ajaib jika muncul pertanyaan: masih adakah ilmuwan yang nir-belenggu syahwat keduniawian?

Karena kini, sosok begawan seakan sudah punah. Langka. Jika pun ada, akan dimatikan fungsi hidupnya, dihimpit peluang pergaulannya, dan masyarakat diracuni sedemikian rupa melalui broadcast fitnah, papan reklame iklan perendahan (baik daring maupun luring), dan propaganda kelas tengu untuk segera membencinya, membuangnya, mencampakkannya.

Sayangnya, begawan sejati tidak akan pernah benar-benar mati. Ia mengedari udara dan cakrawala, membagi-bagikan “hidangan kesejatian” yang dipetik dari samudera hikmah. Kewaskitaan cahyawi. Namun kenyataan yang sulit ditolak pada era ini adalah cahaya sering kali dimaterikan. Cahaya dikandangi untuk lantas diperjualbelikan—nu penting untung, Bos.

Juga tentang keterbalikan penghormatan masyarakat; dari urutan “orang baik, alim-sholeh, pintar, orang kuat, orang kaya, dan orang kuasa” sekarang berubah skala prioritasnya menjadi “orang kaya, kuasa, pandai, kuat, dan baik di titik terakhir”. Hal tersebut kontras betul dalam peradaban manusia postmodern ini—mungkin jika tak dibenahi, boleh jadi hingga pascapostmodern dan seterusnya.

Betapa tidak geleng-geleng kepala generasi kita yang sadar akan hal itu. Bahkan sebagian ada yang sampai menangis, sehingga dipanggil ‘generasi gembeng’ (Jawa: cengeng). Tidak jarang yang sekadar nepak tarang hungkul (Sunda: menepuk jidat) atau malahan ada yang sampai gereh-gereh (histeris). Terlebih jika menengarai peristiwa ‘pesta bisnis ternak ilmuwan’ yang dipelihara habis-habisan hanya demi dipenggal urat nadi kerohaniannya di hari esok.

Dan saat sudah sadar pun, tidak sedikit dari mereka yang menghibur diri lantas menyangkal, “Aih, kan dulu saat Nabi Isma’il diqurbankan Ayahandanya, Baginda Ibrahim, ia langsung diganti domba. Siapa tahu kita pun akan mengalami hal itu jua.”

Kemudian suara lain menimpali, “Sudahlah, hidup hanyalah antrean menuju penyembelihan. Tidak perlu terlalu risau.” Lalu ada tambahan yang di sandingnya, “Toh, Mbah Chairil sudah benar, hidup hanya menunda kekalahan. Sekali berarti sudah itu mati.”

Kebingungan pun menjejali para anak Adam di zaman now. Atau kita sama-sama hanya sedang berpura-pura bingung dalam dunia yang cuma tempat singgah meneguk air secawan ini? Ataukah kita mendadak blank karena kehabisan dialog saat melakonkan teater dengan skrip “ternak ilmuwan” ini?

Daripada hulang-huleung teu paruguh (melamun tak jelas), mending kita tinggal ngopi. Sambil sesekali bas-bus roko’an di beranda warkop dan suit-suit kalau ada cewek cantik lewat. Setidaknya dari situ kau terbukti bahwa masih seorang lelaki normal. Eh, jangan, ding—nanti salah-salah kau bisa dipidanakan karena sekarang cat-calling alias suit-suit ke cewek itu pelecehan.[]

Tags: ceriwisilmuwanindustrikritikpenjajahan baru
ShareTweetSendShare
Previous Post

Kritik dan Karya adalah Sebuah Niscaya

Next Post

Sedekah Berbalas dan Kepamrihan

M. Naufal Waliyuddin

M. Naufal Waliyuddin

Tim Redaksi Metafor

Artikel Terkait

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?
Ceriwis

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?

22 March 2023

Tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Ia tidak berdasarkan riset akademis yang harus dipertanggungjawabkan. Ini mungkin, lebih tepatnya, sejenis refleksi kultural...

Seni Memahami (Diri)
Ceriwis

Seni Memahami (Diri)

11 April 2022

Saat pertama kali saya mendengar kata "hermeneutika", saya tertarik untuk tahu artinya. Namun, saya tidak sampai mencari makna. Saya mendengar...

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0
Ceriwis

Transformasi Standar Berkat Gendurenan di Era Revolusi Industri 4.0

13 January 2022

Selama ini, apabila seseorang―bisa juga beberapa orang―membicarakan genduren, pasti nggak akan jauh-jauh dari kata bid’ah. Entah bagaimana ceritanya, topik genduren...

Balapan yang Dibudayakan
Ceriwis

Balapan yang Dibudayakan

20 October 2021

Ini adalah kisah yang saya alami beberapa bulan lalu, saat dunia perkampusan membawa saya pada akhir semester tujuh. Sudah mendekati...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Gambar Artikel Abu Zayd Al-Balkhi: Ulama Psikologi yang Jarang Diketahui

Abu Zayd Al-Balkhi: Ulama Psikologi yang Jarang Diketahui

15 January 2021
Gambar Artikel Sali dan Suli.

Sali dan Suli

6 November 2020
Gambar Artikel Sunyi dalam Kerinduan

Sunyi dalam Kerinduan

29 December 2020
Gambar Artikel Flow di Era Sosmed Efek Dahsyat Mengikat Makna

Flow di Era Sosmed; Efek Dahsyat Mengikat Makna

6 November 2020
Gambar Artikel Menghidupkan Tuhan yang Telah Mati

Menghidupkan Tuhan yang Telah Mati

26 December 2020
Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?

Ada Apa dengan “Manusia Indonesia”?

22 March 2023
When The Weather is Fine dan Puisi Kesakitan

When The Weather is Fine dan Puisi Kesakitan

12 November 2021
Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya

Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya

5 April 2024
Gambar Esai Advaitam Tagore dan Anasir Subtil D. Zawawi Imron Advaitam Te

Advaitam Tagore dan Anasir Subtil D. Zawawi Imron

14 January 2021
Gambar Artikel Ketersinggungan, Resolusi Hidup dan Stoisisme

Ketersinggungan, Resolusi Hidup dan Stoisisme

7 January 2021
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Mempersenjatai Trauma: Strategi Jahat Israel terhadap Palestina
  • Antony Loewenstein: “Mendekati Israel adalah Kesalahan yang Memalukan bagi Indonesia”
  • Gelembung-Gelembung
  • Mengeja Karya Hanna Hirsch Pauli di Museum Stockholm
  • Di Balik Prokrastinasi: Naluri Purba Vs Tuntutan Zaman
  • Pulau Bajak Laut, Topi Jerami, dan Gen Z Madagaskar
  • Bersikap Maskulin dalam Gerakan Feminisme
  • Emas di Piring Elite dan Jualan Masa Depan Cerah yang Selalu Nanti
  • Dua Jam Sebelum Bekerja
  • Cinta yang Tidak Pernah Mandi dan Puisi Lainnya
  • Pemerintah Daerah Tidak Bisa Cari Uang, Rakyat yang Menanggung
  • Merebut Kembali Kembang-Kembang Waktu dari Tuan Kelabu

Kategori

  • Event (14)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (12)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (66)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (53)
  • Metafor (217)
    • Cerpen (55)
    • Puisi (141)
    • Resensi (20)
  • Milenial (49)
    • Gaya Hidup (26)
    • Kelana (13)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (72)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (33)
    • Surat (21)
  • Tentang Kami
  • Kebijakan Privasi
  • Kirim Tulisan
  • Kru
  • Kontributor
  • Hubungi Kami

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Kami
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Hubungi Kami
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Disclaimer
  • Kebijakan Privasi
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.