Bagi orang orang yang bekerja from nine to five, momen pulang kerja tentu sangat ditunggu. Yang sudah hidup bersama pasangan atau keluarga lekas tak sabar ingin segera bertemu. Sedangkan yang masih menikmati kesendirian (baca: jones) hal itu hanya menjadi momen melepas lelah dan penat.
Saya pun tak terkecuali. Saya tidak sabar untuk segera pulang saat jam kerja selesai. Bukan karena ingin cepat sampai rumah (baca: kos) atau segera beristirahat. Bukan. Saya hanya ingin menikmati perjalanan pulang. Saya mengendara lebih pelan, mengamati manusia-manusia lain yang sibuk dengan perannya masing-masing. Karena itulah waktu pulang saya cenderung lebih lama 5-10 menit dibandingkan waktu berangkat, meskipun melalui jalan yang sama.
Memangnya apa yang bisa dinikmati dalam perjalanan pulang kerja, selain sinar matahari senja yang indah itu? “Manusia-manusia yang terlupakan,” jawabku. Manusia-manusia yang terasing, terbuang, dan terpinggirkan. Oleh siapa? Oleh manusia, dunia, dan kehidupan.
Mereka yang saya kerap temui berdiri tegar di setiap pinggiran lampu merah. Ada yang menjual barang, sebagian menjual suara, bahkan banyak pula yang menjual wajah tanpa ekspresi bermodal tubuh yang diwarnai perak. Ketika saya mengatakan menikmati, bukan berarti saya menikmati kerasnya hidup mereka. Saya hanya menikmati dan menerima pelajaran Tuhan yang terhampar di tengah-tengah jalan. Di depan pengendara motor dan mobil-mobil mewah.
Terkadang saya juga mengamati wajah para pengendara itu untuk melihat ekspresi mereka saat melihat manusia-manusia pinggiran itu. Ada yang terlihat iba kemudian memberi uang. Ada yang merogoh-rogoh saku tapi tak kunjung menemukan yang dicari. Ada yang sudah membuka dompet namun memasukkannya kembali karena tak menemukan recehan. Dan yang paling sering para pengendara itu tidak menghiraukan sama sekali. Mereka sibuk melihat jam, tak sabar menunggu lampu hijau. Manusia-manusia itu benar benar terlupakan. Seakan-akan tak ada. Padahal mereka juga manusia yang bersejarah dan menyejarah. Mereka sama dengan manusia yang lain, tak beda.
Beberapa dari manusia-manusia “pilihan” Tuhan itu ada yang membuat saya heran dan takjub. Misal, seorang pengamen muda bertopi lusuh dengan senyum non-kapitalisnya. Dia yang hampir selalu saya temui di lampu merah pertama dari sepuluh lampu merah yang harus saya lewati setiap pulang. “Barakallah,” begitulah ucapnya kepada setiap orang yang mau berbagi. Terlihat sekali dia sudah menerima dan rela dengan kehidupannya yang keras itu. Seakan-akan dia adalah orang paling bahagia di dunia. Bahkan lebih bahagia ketimbang pengendara mobil mewah yang berhenti tepat di depan panggung kehidupannya yang sederhana.
Ah, bagaimana bisa? Mereka benar-benar pilihan Tuhan. Saya hanya membayangkan dan bertanya, “Bagaimana jika saya terlahir dan ditakdir dalam posisi mereka?” Akankah saya menerima? Masihkah saya mampu menunjukkan wajah dan senyum yang tulus? Ataukah saya akan mengutuk dunia? Atau bahkan membenci Tuhan? Dalam renungan tak berdaya itu, saya hanya bisa bersyukur. Thanks God.. I love my life, I love my job.[]