Kemasyhuran dan kepiawaian sosok Sunan Kalijaga dalam mengislamkan orang-orang di Nusantara, terutama orang-orang suku Jawa, sudah tidak diragukan lagi. Ia dilahirkan kalangan bangsawan dengan nama kecil R. Syahid. Ia adalah keturunan dari Ranggalawe, seorang rakyan atau senapati jaman Majapahit yang bergelar Arya Teja I. Nah, R. Syahid merupakan keturunan dari Arya Teja III atau Tumenggung Wilwatikta. Tabiatnya sangat perhatian dengan rakyat kecil sampai diceritakan dalam babad, Sunan Kalijaga pernah menjadi bromocorah atau rampok dengan nama Brandal Lokajaya. Kemudian akhirnya insaf setelah bertemu dengan gurunya yakni Kanjeng Sunan Bonang.
Dalam berdakwah ia menggunakan metode dakwah kultural yakni dengan falsafah “Tut Wuri Handayani” yang artinya mengikuti dari belakang. Dari kelakuan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit. Juga “Tut Wuri Hangiseni” yang artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi kepercayaan atau ajaran agama Islam—dan salah satunya medianya dengan menggunakan pertunjukan wayang.
Media dakwah melalui pagelaran wayang kulit pastilah mengandung sebuah lakon atau cerita. Lakon Bima Suci atau Dewa Ruci dipercaya adalah salah satu lakon wayang yang dianggit (baca: diciptkan) oleh Sunan Kalijaga sendiri. Cerita tersebut adalah lambang perjalanan spiritual Sunan Kalijaga bertemu dengan Nabi Khidir As. Ada yang mengatakan bahwa cerita itu juga representasi pencarian jati diri atau kesejatian diri.
Dewa Ruci indentik dengan konsep manunggaling kawulo gusti: bersatunya rakyat/abdi/hamba dengan pemimpin/raja/Tuhanya. Menurut saya, konsep ini sesuai dengan bayangan ideal kita tentang bagaimanapun kita akan menghadap Allah. Terpendar dari kalimat Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.
Diceritakan dalam wayang bahwa Aryasena/Werkudara/Bima/Wijasena—yang merupakan salah satu dari pandawa lima—mengalami kegalauan hidup. Untuk mengatasi hal tersebut ia berkonsultasi dengan gurunya, yakni Resi Dorna (versi India) atau Pandhita Durna (versi pewayangan Jawa). Sebenarnya Resi Durna mempunyai watak yang jahat dan licik yang selalu ingin mencelakakan para pandawa. Resi Durna menyuruh Bima mencari air suci perwitasari yang sebenarnya tidak ada. Namun karena Bima adalah murid yang taat kepada gurunya dan mempunyai keyakinan bahwa gurunya tidak akan pernah mecelakainya, ia langsung bergegas mencari air tersebut.
Pencarian air tersebut dimulai dengan Bima masuk ke dalam hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka. Di sana ia bertemu dengan denawa atau raksasa bernama Rukmuka dan Rukmakala. Terjadilah perkelahian dengan kedua raksasa tersebut. Akhirnya ia dapat mengalahkan keduanya sekaligus dan seekor ular naga karena ia mempunyai aji-aji atau mantra yang disebut kadang Bayu. Sebuah berkat kekuatan pemberian dari Begawan Maenaka, Gajah Situbondo, Raksasa Jayareksa dan Resi Hanoman.
Karena tidak menemukan air tersebut, ia melanjutkan perjalananya sampai di sebuah samudra. Di sana ia bertemu ular naga Aburnawa dan kembali terjadi pertempuran dan memenangkanya lagi. Setelah pertarungan selesai, ia kaget ada sesosok manusia kerdil yang menyerupai dirinya. Setelah terjadi percakapan yang amat panjang, akhirnya Bima disuruh masuk ke dalam badan Dewa Ruci—yang jelas-jelas lebih kecil dari tubuhnya!
Dengan bimbingan Dewa Ruci, Bima dapat masuk melelui telinga kiri. Usai masuk ke dalam badan Dewa Ruci, Bima merasa tenang. Pada saat itulah ia melihat empat sinar yakni: hitam, merah, kuning dan putih. Setelah mendapatkan ketenangan itu, Bima disuruh ke luar oleh Dewa Ruci. Sejak itulah Bima baru sadar bahwa air Perwitasari sari adalah kesejatian hidup, bukan air (fisik) yang selama ini dibayangkannya.
Simbolisme dan filosofi dalam cerita Dewa Ruci atau Bima Suci adalah sebagai berikut: lakon Dewa Ruci simbol dari falsafah manunggaling gusti dan pencarian air perwitasari adalah perlambang dari pencarian ilmu sejati yang mengungkap rahasia kehidupan (sangkan paraning dumadi: asal-muasal segala kejadian/ciptaan/makhluk).
Tokoh Bima merupakan lambang seorang murid yang patuh terhadap gurunya dan selalu berhusnudzon terhadap gurunya. Hutan Tikbrasara adalah lambang dari tikbra (rasa prihatin); sara adalah belajar menajamkan rasa atau laku spiritual. Sementara Gunung Reksamuka adalah lambang dari reksa (menjaga); muka itu wajah. Dapat diartikan sebagai laku prihatin, atau dalam Islam disebut riyadhoh.
Sedangkan Rukmuka dan Rukmakala adalah lambang ‘defrisiasi’ atau dua sisi yang selalu ada di dunia ini seperti baik-buruk, siang-malam, dsb. Dalam istilah Jawa disebut kosok balen. Kemudian ular naga Aburnawa adalah lambang kepintaran (ular dalam bahasa Sansekerta adalah Bujangga atau Pujangga yang identik dengan orang yang pintar). Tetapi mengapa harus dibunuh? Dalam artian sebuah kepintaran atau ilmu, bila tidak digunakan dalam kebaikan akan berakibat buruk, salah satunya resiko sombong karena keluar unsur egonya.
Terkait dengan empat cahaya yang sudah disebutkan pada paragraf sebelumnya, sebenarnya itu adalah lambang empat nafsu yang diambil dari pemikiranya Imam Syahid al-Ghazali yakni: lawwamah, ammarah (bis-su’), sufiyah, dan muthma’innah. Nafsu lawwamah dipersonifikasikan sebagai Begawan Maenaka, melambangkan langen yang berwatak hitam, simbolisasi dari batin dan pikiran yang gelap. Nafsu sufiyah dipersonifikasikan sebagai Gajah Situbondo, melambangkan tendensi yang berwatak kuning, yang menyebabkan lupa dan lemah. Nafsu ammarah dipersonifikasikan sebagai raksasa Jayareksa, yang berwatak merah, melambangkan amarah. Nafsu muthma’innah dipersonifikasikan sebagai Resi Hanoman, yang berwatak putih, melambangkan sifat membimbing dan mensucikan.
Sebagai penutup, saya berharap kepada kalangan muda bangsa Indonesia, khususnya mahasisa UIN Sunan Kalijaga, untuk mencintai budaya kita. Terlebih, jika dapat dan mampu meneladani falsafah dari Kanjeng Sunan Kalijaga yang berbunyi: jikuko barang sing apik tinggalo barang sing ala. Ambilah sesuatu yang baik dan tinggalkanlah sesuatu yang buruk.
Di era milenial sekarang, yang serba banyak fitnah atau hoaks, untuk saat ini tak dapat kita halau arusnya. Derasnya arus informasi menuntut kita agar dapat memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang tidak, karena kita sudah dibekali pedoman berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Taroktufikum amroini inntama saktum bihima lam tadillu abada kitaballah wa sunnatu rosulik. Artinya, “aku tinggalkan kepadamu dua pusaka kalau engkau berpegang teguh kepada keduanya maka engkau tidak akan tersesat, wujud pusaka itu adalah kitaballah dan sunnah Rosulillah.
Senada dengan sesanti atau slogan masjid UIN Sunan Kalijaga yang diambil dari Serat Lokajaya, Lor, pupuh 629 yang berbunyi: Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli. Artinya melihat aliran air ikut mengalir tetapi tidak hanyut. Aliran air adalah roda kehidupan (cokromanggilingan) yang tidak bisa kita hindari, tetapi jangan sampai kita hanyut atau terlena. Kuncinya agar kita tidak terlena, tentu dengan berpegang teguh kepada Kitaballah dan Sunaturrosulik tadi.[]