• Tentang Metafor
  • Kontributor
  • Kirim Tulisan
  • Disclaimer
  • Kru
  • Kerjasama
Kamis, 21 Agustus 2025

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Inspiratif Hikmah

Falsafah Dewa Ruci Sunan Kalijaga

KRP. Muhammad Syafii Kamaluddin Sastradiningrat by KRP. Muhammad Syafii Kamaluddin Sastradiningrat
12 November 2020
in Hikmah
0
Gambar Artikel Falsafah Dewa Ruci Sunan Kalijaga

Sumber Gambar: jaringansantri.com

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

Kemasyhuran dan kepiawaian sosok Sunan Kalijaga dalam mengislamkan orang-orang di Nusantara, terutama orang-orang suku Jawa, sudah tidak diragukan lagi. Ia dilahirkan kalangan bangsawan dengan nama kecil R. Syahid. Ia adalah keturunan dari Ranggalawe, seorang rakyan atau senapati jaman Majapahit yang bergelar Arya Teja I. Nah, R. Syahid merupakan keturunan dari Arya Teja III atau Tumenggung Wilwatikta. Tabiatnya sangat perhatian dengan rakyat kecil sampai diceritakan dalam babad, Sunan Kalijaga pernah menjadi bromocorah atau rampok dengan nama Brandal Lokajaya. Kemudian akhirnya insaf setelah bertemu dengan gurunya yakni Kanjeng Sunan Bonang.

Dalam berdakwah ia menggunakan metode dakwah kultural yakni dengan falsafah “Tut Wuri Handayani” yang artinya mengikuti dari belakang. Dari kelakuan adat rakyat tetapi diusahakan untuk dapat mempengaruhi sedikit demi sedikit. Juga “Tut Wuri Hangiseni” yang artinya mengikuti dari belakang sambil mengisi kepercayaan atau ajaran agama Islam—dan salah satunya medianya dengan menggunakan pertunjukan wayang.

Media dakwah melalui pagelaran wayang kulit pastilah mengandung sebuah lakon atau cerita. Lakon Bima Suci atau Dewa Ruci dipercaya adalah salah satu lakon wayang yang dianggit (baca: diciptkan) oleh Sunan Kalijaga sendiri. Cerita tersebut adalah lambang perjalanan spiritual Sunan Kalijaga bertemu dengan Nabi Khidir As. Ada yang mengatakan bahwa cerita itu juga representasi pencarian jati diri atau kesejatian diri.

Dewa Ruci indentik dengan konsep manunggaling kawulo gusti: bersatunya rakyat/abdi/hamba dengan pemimpin/raja/Tuhanya. Menurut saya, konsep ini sesuai dengan bayangan ideal kita tentang bagaimanapun kita akan menghadap Allah. Terpendar dari kalimat Innalillahi wa inna ilaihi roji’un.

Diceritakan dalam wayang bahwa Aryasena/Werkudara/Bima/Wijasena—yang merupakan salah satu dari pandawa lima—mengalami kegalauan hidup. Untuk mengatasi hal tersebut ia berkonsultasi dengan gurunya, yakni Resi Dorna (versi India) atau Pandhita Durna (versi pewayangan Jawa). Sebenarnya Resi Durna mempunyai watak yang jahat dan licik yang selalu ingin mencelakakan para pandawa. Resi Durna menyuruh Bima mencari air suci perwitasari yang sebenarnya tidak ada. Namun karena Bima adalah murid yang taat kepada gurunya dan mempunyai keyakinan bahwa gurunya tidak akan pernah mecelakainya, ia langsung bergegas mencari air tersebut.

Pencarian air tersebut dimulai dengan Bima masuk ke dalam hutan Tikbrasara dan Gunung Reksamuka. Di sana ia bertemu dengan denawa atau raksasa bernama Rukmuka dan Rukmakala. Terjadilah perkelahian dengan kedua raksasa tersebut. Akhirnya ia dapat mengalahkan keduanya sekaligus dan seekor ular naga karena ia mempunyai aji-aji atau mantra yang disebut kadang Bayu. Sebuah berkat kekuatan pemberian dari Begawan Maenaka, Gajah Situbondo, Raksasa Jayareksa dan Resi Hanoman.

Karena tidak menemukan air tersebut, ia melanjutkan perjalananya sampai di sebuah samudra. Di sana ia bertemu ular naga Aburnawa dan kembali terjadi pertempuran dan memenangkanya lagi. Setelah pertarungan selesai, ia kaget  ada sesosok manusia kerdil yang menyerupai dirinya. Setelah terjadi percakapan yang amat panjang, akhirnya Bima disuruh masuk ke dalam badan Dewa Ruci—yang jelas-jelas lebih kecil dari tubuhnya!

Dengan bimbingan Dewa Ruci, Bima dapat masuk melelui telinga kiri. Usai masuk ke dalam badan Dewa Ruci, Bima merasa tenang. Pada saat itulah ia melihat empat sinar yakni: hitam, merah, kuning dan putih. Setelah mendapatkan ketenangan itu, Bima disuruh ke luar oleh Dewa Ruci. Sejak itulah Bima baru sadar bahwa air Perwitasari sari adalah kesejatian hidup, bukan air (fisik) yang selama ini dibayangkannya.

Simbolisme dan filosofi dalam cerita Dewa Ruci atau Bima Suci adalah sebagai berikut: lakon Dewa Ruci simbol dari falsafah manunggaling gusti dan pencarian air perwitasari adalah perlambang dari pencarian ilmu sejati yang mengungkap rahasia kehidupan (sangkan paraning dumadi: asal-muasal segala kejadian/ciptaan/makhluk).

Tokoh Bima merupakan lambang seorang murid yang patuh terhadap gurunya dan selalu berhusnudzon terhadap gurunya. Hutan Tikbrasara adalah lambang dari tikbra (rasa prihatin); sara adalah belajar menajamkan rasa atau laku spiritual. Sementara Gunung Reksamuka adalah lambang dari reksa (menjaga); muka itu wajah. Dapat diartikan sebagai laku prihatin, atau dalam Islam disebut riyadhoh.

Sedangkan Rukmuka dan Rukmakala adalah lambang ‘defrisiasi’ atau dua sisi yang selalu ada di dunia ini seperti baik-buruk, siang-malam, dsb. Dalam istilah Jawa disebut kosok balen. Kemudian ular naga Aburnawa adalah lambang kepintaran (ular dalam bahasa Sansekerta adalah Bujangga atau Pujangga yang identik dengan orang yang pintar). Tetapi mengapa harus dibunuh? Dalam artian sebuah kepintaran atau ilmu, bila tidak digunakan dalam kebaikan akan berakibat buruk, salah satunya resiko sombong karena keluar unsur egonya.

Terkait dengan empat cahaya yang sudah disebutkan pada paragraf sebelumnya, sebenarnya itu adalah lambang empat nafsu yang diambil dari pemikiranya Imam Syahid al-Ghazali yakni: lawwamah, ammarah (bis-su’), sufiyah, dan muthma’innah. Nafsu lawwamah dipersonifikasikan sebagai Begawan Maenaka, melambangkan langen yang berwatak hitam, simbolisasi dari batin dan pikiran yang gelap. Nafsu sufiyah dipersonifikasikan sebagai Gajah Situbondo, melambangkan tendensi yang berwatak kuning, yang menyebabkan lupa dan lemah. Nafsu ammarah dipersonifikasikan sebagai raksasa Jayareksa, yang berwatak merah, melambangkan amarah. Nafsu muthma’innah dipersonifikasikan sebagai Resi Hanoman, yang berwatak putih, melambangkan sifat membimbing dan mensucikan.

Sebagai penutup, saya berharap kepada kalangan muda bangsa Indonesia, khususnya mahasisa UIN Sunan Kalijaga, untuk mencintai budaya kita. Terlebih, jika dapat dan mampu meneladani falsafah dari Kanjeng Sunan Kalijaga yang berbunyi: jikuko barang sing apik tinggalo barang sing ala. Ambilah sesuatu yang baik dan tinggalkanlah sesuatu yang buruk.

Di era milenial sekarang, yang serba banyak fitnah atau hoaks, untuk saat ini tak dapat kita halau arusnya. Derasnya arus informasi menuntut kita agar dapat memilah dan memilih mana yang baik dan mana yang tidak, karena kita sudah dibekali pedoman berupa Al-Qur’an dan As-Sunnah. Taroktufikum amroini inntama saktum bihima lam tadillu abada kitaballah wa sunnatu rosulik. Artinya, “aku tinggalkan kepadamu dua pusaka kalau engkau berpegang teguh kepada keduanya maka engkau tidak akan tersesat, wujud pusaka itu adalah kitaballah dan sunnah Rosulillah.

Senada dengan sesanti atau slogan masjid UIN Sunan Kalijaga yang diambil dari Serat Lokajaya, Lor, pupuh 629 yang berbunyi: Anglaras ilining banyu, angeli ananging ora keli. Artinya melihat aliran air ikut mengalir tetapi tidak hanyut. Aliran air adalah roda kehidupan (cokromanggilingan) yang tidak bisa kita hindari, tetapi jangan sampai kita hanyut atau terlena. Kuncinya agar kita tidak terlena, tentu dengan berpegang teguh kepada Kitaballah dan Sunaturrosulik tadi.[]

Tags: ceritaDewa RucifalsafahhikmahJawaSunan KalijagaWayang
ShareTweetSendShare
Previous Post

Sedayu dalam Kurun Waktu

Next Post

Komunikasi Mahasiswa dan Dosen Pembimbing Ala Habermas

KRP. Muhammad Syafii Kamaluddin Sastradiningrat

KRP. Muhammad Syafii Kamaluddin Sastradiningrat

Pemerhati Sastra Jawa dan Naskah Kuno yang gemar ngopi dan berkelana. Sekali waktu merenung sendiri sambil nyimak lagi Didi Kempot. Kini sedang mengembarai ilmu di Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga.

Artikel Terkait

Tadabbur via Momentum Hujan
Hikmah

Tadabbur via Momentum Hujan

6 Maret 2022

Sebuah pepatah mengatakan bahwa barang siapa mengenal dirinya, maka dia akan mengenali Tuhannya. Namun, permasalahannya adalah tingkat kesadaran terhadap diri...

Meneladani Sufi Jenaka: Nashrudin Hoja & Keledainya
Hikmah

Meneladani Sufi Jenaka: Nashrudin Hoja & Keledainya

3 Januari 2022

Nashrudin Hoja adalah seorang tokoh sufi jenaka yang hampir sama tenarnya seperti Abu Nawas. Ia terkenal dengan kecerdasan, celetukan-celetukan dengan...

Ritual Pulang Kerja dan Manusia yang Terlupakan
Hikmah

Ritual Pulang Kerja dan Manusia yang Terlupakan

15 Juli 2021

Bagi orang orang yang bekerja from nine to five, momen pulang kerja tentu sangat ditunggu. Yang sudah hidup bersama pasangan...

Hikmah

Bahagia itu Sederhana

3 Juli 2021

Sore ini awan hitam menutupi langit yang semula cerah. Mendadak gelap dan seakan kelam. Sesekali terdengar suara guntur meski tidak...

Tinggalkan Balasan Batalkan balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Baca Juga

Gambar Artikel Puisi untuk Ibu : Mamak dan Kudapan Hina

Mamak dan Kudapan Hina

1 Desember 2020
Di Atas Sebuah Kertas

Di Atas Sebuah Kertas

13 September 2021
Gambar Artikel Bahagia Menurut Aristoteles

Bahagia Menurut Aristoteles

28 Desember 2020
Gambar Artikel Pahlawan Bukan Hanya Tentang Sejarah, tapi Juga Pemuda

Pahlawan Bukan Hanya tentang Sejarah, Tapi Juga Pemuda

23 November 2020
M. Kasim: Pembuka Jalan Cerpen Indonesia

M. Kasim: Pembuka Jalan Cerpen Indonesia

25 Februari 2021
Bintang Kecil Tetaplah Bernyanyi

Bintang Kecil Tetaplah Bernyanyi

17 Maret 2021
Bekas Kecupan

Bekas Kecupan

28 April 2021
Gambar Artikel Percakapan Orang Sinting Tentang Kota bawah Tanah

Percakapan Orang Sinting

23 Januari 2021
Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan

Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan

5 Mei 2024
Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?

24 Juli 2025
Facebook Twitter Instagram Youtube
Logo Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Perempuan yang Menyetrika Tubuhnya dan Puisi Lainnya
  • Perjalanan Menuju Akar Pohon Kopi
  • Ozzy Osbourne dalam Ingatan: Sebuah Perpisahan Sempurna
  • Hisap Aku hingga Putih dan Puisi Lainnya
  • Going Ohara #2: Ketika One Piece Menjelma Ruang Serius Ilmu Pengetahuan
  • Sastra, Memancing, Bunuh Diri: Mengenang Ernest Hemingway
  • Selain Rindu, Apa Lagi yang Kaucari di Palpitu?
  • Status Baru Ibu dan Puisi Lainnya
  • Bentuk Cinta Paling Tenang dan Tak Ingin Jawab
  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya

Kategori

  • Event (12)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (10)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (65)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (52)
  • Metafor (212)
    • Cerpen (53)
    • Puisi (140)
    • Resensi (18)
  • Milenial (47)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (12)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In
No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2025 Metafor.id - Situs Literasi Digital.