YOGYAKARTA—Konflik tidak setara yang berlangsung antara Israel dan Palestina kembali menjadi pusat perhatian global setelah gelombang kekerasan pasca 7 Oktober 2023. Serangan Israel memicu kecaman publik internasional dan protes besar di berbagai negara. Di tengah meningkatnya dukungan dunia untuk kemerdekaan Palestina, Indonesia sebagai negara dengan populasi Muslim terbesar di dunia menghadapi pertanyaan moral dan politik krusial: apakah harus tetap mempertahankan sikap historis menolak hubungan dengan Israel, atau mengikuti jejak sebagian negara Arab dan Barat yang membuka hubungan kerja sama dengan Israel?
Pertanyaan ini menjadi semakin tajam ketika desas-desus kedekatan tersembunyi antara Jakarta dan Tel Aviv mencuat. Salah satunya terkait dengan dugaan pembelian teknologi pengawasan dan senjata buatan Israel. Kondisi demikian memunculkan kekhawatiran publik bahwa Indonesia, tanpa transparansi, bisa terjebak dalam sistem kontrol digital yang mengancam kebebasan sipil, khususnya bagi para aktivis dan kelompok rentan. Di tengah perdebatan itu, hadir suara kritis jurnalis investigative dan penulis buku The Palestine Laboratory, Antony Loewenstein, yang menegaskan bahwa apa yang dilakukan Israel di Palestina bukan sekadar konflik, melainkan sebentuk kolonialisme modern dengan politik apartheid dan etnonasionalisme yang berlangsung dengan impunitas internasional.
Tim Metafor.id mendapat kesempatan wawancara langsung dengan Antony Loewenstein pada sore hari Selasa, 18 November 2025. Pada kesempatan itu, Antony, seorang jurnalis ateis Yahudi asal Australia yang telah bertahun-tahun meliput dari Palestina menguraikan pandangannya tentang situasi geopolitik, peta bisnis teknologi dan persenjataan Israel dengan banyak negara, termasuk juga relasi Israel-Indonesia, propaganda global, hingga solidaritas dan perlawanan sipil.
Wawancara ini memotret kritik tajam terhadap negara-negara yang menormalisasi hubungan dengan Israel, sekaligus pemerintah Indonesia yang terindikasi sedang condong mendekati negara tersebut. Antony juga menyoroti bahaya industri teknologi militer Israel yang menjadikan Palestina sebagai laboratorium uji coba sebelum menjualnya ke siapa saja yang berminat.
Sebagai penulis The Palestine Laboratory, buku yang edisi pertamanya terbit awal 2023 (Penerbit Verso) dan telah diterjemahkan ke 12 bahasa serta dialih-wahanakan menjadi film dokumenter oleh Al Jazeera, Loewenstein memadukan riset lapangan, arsip-arsip, dokumen rahasia yang dibocorkan Snowden, dan keterangan korban serta kesaksian orang-dalam Israel yang sempat bergabung di militer. Kesemuanya ia pakai untuk menyingkap jejaring ekonomi politik perang dan bisnis persenjataan Israel serta bagaimana teknologi represif yang telah mereka uji di Palestina diperjualbelikan ke seluruh dunia. Di Indonesia, buku tersebut diterjemahkan dan diterbitkan oleh Marjin Kiri di tahun ini.

Berikut rangkuman tanya-jawab dan poin-poin penting terkait dinamika penjajahan Israel terhadap Palestina dan posisi Indonesia.
Gagasan Penting bagi Audiens Indonesia
Tanya: Apa gagasan terpenting di buku Anda yang menurut Anda perlu diketahui publik Indonesia terkait Israel-Palestina?
Antony Loewenstein: “Salah satu alasan utama saya menulis buku ini adalah sebagai peringatan. Peringatan tentang apa yang bisa dilakukan teknologi dan ancaman yang menarget privasi lewat pengawasan massal. Dan fakta bahwa pemerintah Indonesia seolah sedang flirting atau bahkan ‘making love with Israel’ harusnya menjadi sinyal bahaya. Jika benar terjadi normalisasi hubungan dengan Israel, tentu pengawasan massal yang menembus privasi akan semakin meningkat di sini. Dan bukan hanya di kota-kota besar, tapi bahkan sudah terjadi di Papua.”
Loewenstein menjabarkan bahwa meskipun Indonesia hanya disebut sebagian kecil dalam bukunya, namun sejarah hubungan antara Israel dan Indonesia tidak sepenuhnya bersih. “Ada sejarah kerja sama rahasia sejak 1965. Dan saya pikir tidak banyak orang Indonesia tahu ini. Ya, mereka tahu ada keterlibatan Amerika dan Australia, tapi dengan keterlibatan Israel, saya tidak yakin banyak yang tahu. Israel memang tidak ikut membantai, tapi terlibat dalam kerja sama dengan rezim otoriter Suharto, termasuk soal uang. Dan ini sejarah yang, memalukannya, tidak diakui resmi.”
Baginya, gagasan bahwa Indonesia selaku negara Muslim terbesar di dunia akan mengakui Israel sementara genosida di Gaza terus terjadi, itu adalah hal yang “absurd, ofensif, sekaligus memalukan.”
Solusi Dua-Negara dan Pandangan terhadap Kebijakan Indonesia
Tanya: Anda menyebutkan sikap terhadap solusi dua-negara di buku, bagaimana Anda melihat itu dan posisi Prabowo?
Antony: “Buat saya, itu semacam jokes. Setiap krisis meledak, pemimpin Barat dan juga Indonesia kemarin, bicara soal two-state solution, padahal Israel sebagai penjajah sama sekali tidak tertarik mengakhirinya. Tidak ada yang namanya solusi dua negara. Itu solusi Zombie. Tidak akan terjadi.”
Kemudian Antony menawarkan alternatif bahwa perlu adanya “satu negara demokratis di mana semua orang—Yahudi, Muslim Kristen, atau siapa pun—punya hak suara yang sama.” Baginya, posisi Indonesia terkait solusi dua negara hanyalah pengulangan retorika Barat selama 40 tahun yang tidak pernah membawa perubahan konkret. Ia menduga “Indonesia sedang berada di bawah tekanan agar mengakui Israel, terutama dari Amerika. Banyak negara berpikir bahwa untuk dekat dengan Washington, kamu perlu dekat dengan Israel. Tapi itu berarti mendukung penjajahan.”
Relasi Indonesia-Israel yang Problematik
Tanya: Anda di sebuah wawancara media menyebut bahwa hubungan diam-diam antara Indonesia dan Israel itu problematik, bisakah jelaskan lebih lanjut mengapa begitu?
Antony: “Itu hanya cara saya bersikap sopan saja. Padahal, kenyataannya itu memalukan (it’s shameful). Konyol (ridiculous). Saya tidak tahu apakah demi keuntungan pribadi pemerintah Indonesia, apakah demi keuntungan finansial, atau politik, atau demi memperkuat rezim otoritarian lewat teknologi pengawasan massal. Jika Indonesia mengambil jalan tersebut, itu keputusan paling gila yang bisa dilakukan. Secara moral jelas salah.”
Palestina sebagai “Lahan Uji Coba” Teknologi Militer Israel
Tanya: Di buku Anda, Anda menyebut pembunuhan warga Palestina itu semudah memesan Pizza, bisa jelaskan?
Antony: “Itu karena nyawa warga Palestina dianggap murah. Mereka tidak dianggap manusia. Israel menjadikan Palestina sebagai lahan uji coba senjata dan teknologi pengawasan massal. Dan sebelum menjualnya, mereka melabelinya sebagai battle-tested. Satu-satunya cara untuk Israel membiarkan kekerasan ini bertahan lama adalah melalui dehumanisasi total terhadap warga Palestina.”
Aktivisme, Solidaritas, dan Tekanan Politik
Tanya: Bagaimana kaum muda Indonesia dapat menolak sikap pemerintahnya yang mesra dengan Israel sementara kaum muda di sini juga menghadapi aneka represi, terutama sejak Agustus-September silam?
Antony: “Jika protes berkelanjutan, pemerintah akan menghitung ongkos politik jika hendak mengakui Israel. Mereka akan kehilangan legitimasi. Kalian harus bersuara lebih lantang. Lebih keras. Tekanan publik tetap penting. Juga kampanye boikot, divestasi, dan sanksi (BDS Movement) itu bisa dilakukan, karena itu cara yang damai, non-kekerasan, dan sepenuhnya legal.”
Menurutnya, perubahan global sedang bergeliat, kendati pelan. Kemenangan tokoh anti-Zionis seperti Zohran Mamdani di New York—pusat kapitalisme dunia dan banyak Yahudi di sana—adalah sinyal kecil harapan. Dan itu perlu disambut dengan aktivisme yang lebih lantang, massif, dan terorganisir.
Apartheid Abadi dan Jalan Perubahan
Antony juga mengungkapkan bahwa peran Israel tak lain adalah sebagai negara dengan politik apartheid. “Yang terjadi di Palestina adalah pendudukan apartheid tanpa batas waktu (indefinite apartheid occupation). Karenanya, perubahan tidak akan datang dari Israel, di mana hanya ada minoritas kecil Yahudi di sana yang menolak pendudukan. Tekanan dari luar sangat penting: boikot ekonomi, isolasi, hingga sikap musisi, artis, dan seniman yang menolak tampil di Israel. Dan itu mulai terjadi.”
Satu Kebenaran yang Tidak Berani Diungkap Jurnalis Indonesia
Tanya: Apa “satu kebenaran brutal” tentang Indonesia dan Israel yang perlu disuarakan lantang?
Antony: “Tidak banyak orang tahu bahwa Israel mendukung kediktatoran Suharto. Itu sungguh memalukan. Dan sebelum masa Prabowo, polisi Indonesia dan apparat lainnya menggunakan spyware buatan Israel untuk memata-matai kelompok LGBT dan aktivis. Jika ini terus berlanjut, kalian akan melihat lebih banyak alat mata-mata dari mereka (Israel). Terlebih lagi jika Prabowo menormalisasi hubungan dengan Israel.”
Antony Loewenstein lantas menutup percakapan dengan menegaskan bahwa perjuangan Palestina bukan sekadar isu lokal atau urusan konflik keagamaan, melainkan persoalan universal tentang kemanusiaan. Masalah mereka juga merupakan masalah demokrasi dan masa depan kebebasan sipil dunia. Ia mengingatkan: “Suara publik penting. Jangan berhenti bersuara. Dunia sedang bergeser.”[]
____________
Catatan: Wawancara ini terselenggara berkat kerja sama Warung Sastra dan Marjin Kiri dalam acara Malam Buku “Laboratorium Palestina” di Karangwaru, Yogyakarta, 18 November 2025.














