Sulit dibayangkan sebelumnya bahwa sebuah manga asal Jepang bisa menjadi bahan diskusi serius dalam forum akademik luar ruangan dan komunitas, membentang dari topik filsafat tuhan, sejarah, radiologi, sastra, hingga sains dan teknopolitik. Namun, itulah yang terjadi dalam Forum Going Ohara #2 yang digelar pada malam Minggu di Warung Sastra, Karangwaru, Yogyakarta (26/07/2025). Lebih dari seratus orang dari berbagai latar belakang usia, gender, dan profesi memenuhi ruang semi-terbuka itu dalam suasana hangat yang sesekali diselingi gelak tawa.

Apa Itu Going Ohara?
Ketika membuka forum, Bagus Panuntun dari Warung Sastra menjelaskan bahwa nama “Going Ohara” menggabungkan dua simbol penting dalam semesta One Piece. Pertama, Going Merry, kapal ikonik yang menyatukan kru Bajak Laut Topi Jerami (Mugiwara) sebagai simbol rumah bersama yang menyatukan banyak orang dengan aneka latar belakang dan cita-cita. Kedua, Ohara, pulau ilmu pengetahuan yang dibumihanguskan (dihapus dari peta) karena menolak tunduk pada larangan riset dari Pemerintah Dunia.
Forum ini diharapkan menjadi ruang terbuka bagi siapa pun yang ingin belajar, berdiskusi, dan merayakan dunia One Piece, baik secara serius maupun menyenangkan. “Ilmu pengetahuan adalah hak semua orang,” pungkas Bagus merujuk semangat Profesor Clover, salah satu ilmuwan sekaligus korban di Tragedi Ohara.
Acara ini merupakan lanjutan dari Going Ohara #1 pada 29 Juni 2024 (liputannya bisa dibaca di sini) dan kembali digelar berkat kolaborasi Warung Sastra dan Elexmedia Komputindo, serta dukungan berbagai komunitas dan media seperti Metafor.id, Ruang Obrol, Klub Buku Jogja, Nakamais Jogja, dan Sukusastra.com.
View this post on Instagram
5 Pembicara, 1 Moderator
Kegiatan ini dibuka dengan melakukan panggilan terbuka bagi siapa saja untuk mengirimkan abstrak presentasi. Dari 66 abstrak yang masuk, terpilih 5 abstrak yang dipentaskan dalam forum ini. Diskusi dipandu oleh Fudo dari Ruang Obrol sebagai moderator dengan kelima pembicara yang membawa aneka pendekatan dan latar keilmuan yang beragam.
- Faris Ahmad Toyyib: One Piece, Sains dan Tuhan
Faris membuka forum dengan membahas keniscayaan Tuhan dalam semesta One Piece melalui pendekatan logika modal. Ia membandingkan dunia kita, yang rumit, rapi (teratur) dan tersistem, dengan dunia One Piece yang serba chaos, rumit tapi tidak rapi, dan tidak tersistem. Ia menyodorkan gagasan teleologis dari William Paley bahwa dunia nyata meniscayakan adanya perancang agung (atas grand design semesta) karena ada keteraturan di tengah kerumitan dan sistem yang memungkinkan adanya kehidupan kita yang serba teratur ini. Perancang agung itulah yang sering disebut sebagai Tuhan.

Dengan landasan itu, ia berargumen bahwa keberadaan Tuhan bersifat niscaya di dunia kita, namun di dunia One Piece sama sekali berbeda. Di dalamnya ada dua unsur paling berperan membuat jagat manga bajak laut itu semakin chaos: buah iblis dan kekuatan haki. Dua unsur inilah yang menyebabkan dunia One Piece kacau balau dan tak menentu.
Faris yang mahasiswa filsafat ini menunjukkan contoh-contoh bagaimana sistem haki dan buah iblis membuat tubuh seseorang menjadi elastis dan hukum fisika tak berlaku normal. Begitu pula dengan Shirohige yang memukul udara hingga menjadi seperti kaca retak. “Di dunia ini, Tuhan niscaya. Di dunia Luffy, Tuhan tidak niscaya,” demikian pungkasnya.
- Rayvita Meagratia: Anatomi Tubuh Mustahil – Radiologi dan Imajinasi dalam Dunia One Piece
Selanjutnya tiba giliran dosen anatomi, Rayvita (akrab disapa Mimi). Ia membawa laju forum dari pembahasan Tuhan menuju ke dunia di bawah kulit kita. Lewat ilmu radiologi, Mimi membedah tubuh tokoh-tokoh One Piece dengan imajinasi seorang ahli CT Scan dan MRI. Berbekal gambar-gambar fiktif pembuluh darah Luffy dalam berbagai mode Gear (second, third, fourth, dan fifth), ia menunjukkan bagaimana tubuh sang bakka senchou ini menantang pengetahuan anatomi modern.

Mimi pun menyoroti absurditas anatomi Brook, karakter kerangka hidup di kru Mugiwara. “Brook itu yang bikin jengkel radiolog. Habis-habisin dana, waktu, tenaga kalo di-scan, karena sudah tulang semua.” Penonton pun terpingkal. Sebagai dosen yang juga sering berjumpa pasien, kemampuan komunikasi Mimi sanggup mengocok perut penonton yang tumpah di halaman Warung Sastra. Banyak punch-line ia tebar di setiap momen presentasi: mulai dari hasil ronsen dari Caesar Clown yang gelap total, karena ia unsur gas, hingga anatomi tubuh Chopper yang juga “mustahil” di setiap perubahannya.
Dari situ ia menggoda penonton dengan pertanyaan, “Jadi, sebenarnya tubuh itu apa? Siapa yang berhak mendefinisikan tubuh itu seperti apa?” Banyak mata terpukau dan terpancing penasaran itu. Di kesempatan selanjutnya, ia mengucap, “Tanya Sang Hyang Oda!” penonton pun terpingkal.
- Ilham Hamsah: God Valley, Peristiwa Westerling dan Sejarah yang Disembunyikan
Ilham, satu-satunya pembicara daring malam itu, meminjam pendekatan historis dengan membandingkan tragedi fiktif di jagat One Piece yaitu Insiden God Valley dan genosida nyata Pembantaian Westerling di Sulawesi Selatan (1946-1947). Dengan suara lirih di layar proyektor, mahasiswa sejarah UGM yang sedang di Sulawesi ini menyoroti bagaimana kekerasan sejarah dapat dibungkus dengan narasi nasionalisme dan bagaimana bahasa menjadi instrumen penting dalam pembentukan ingatan kolektif.

Menurut Ilham, narasi sejarah yang ditulis penguasa dapat membungkam korban dan menyucikan pelaku. Ada kemiripan antara Insiden God Valley, yang berisi perburuan manusia, dengan Tragedi Westerling, terutama dalam pengemasan dan pendayagunaan bahasa. Bahkan, dalam memoar yang ditulis Raymond Pierre Paul Westerling sendiri, ia menulis bahwa pasukannya telah “memberantas teror dan gerakan radikal di kepulauan Sulawesi.” Di sini dia yang posisinya pembunuh massal menarasikan diri sebagai pahlawan.
Narasi semacam itu membuat kejahatan kemanusiaan dan kekerasan ekstrem (genosida) menjadi dibiarkan, bahkan direstui. Terlebih lagi, ketika ia dibungkus dengan ide nasionalisme. Bagi Ilham, hal semacam itu juga dimunculkan dalam One Piece yang menyensor sejarah, memanipulasinya, dan kerap menyusunnya dari sudut pandang yang berkepentingan.
- Tan Michael Chandra: Menimbang One Piece sebagai Sastra Kanon – Longevitas, Fleksibilitas, dan Teori-Teori Sastra
Sebagai dosen Sastra Inggris, Michael menyodorkan tanya: “Kenapa kita tidak menjadikan One Piece sebagai sastra kanon?” pantiknya. Ia berargumen bahwa manga karangan Eiichiro Oda ini sudah memiliki prasyarat untuk diterima sebagai karya sastra kanon. Ada longevitas (berumur panjang) dan fleksibilitas untuk dikaji dari berbagai sisi dan aneka perspektif dari teori-teori sastra. “One Piece itu 28 tahun, lho! Tahun ini. Bayangkan kalau ada di antara kalian, lahir tahun 97, itu kalian seumuran sama One Piece. Dan masih belum tamat sampai sekarang.”

Bagi Michael, fakta bahwa One Piece 28 tahun, tanpa dikapak (axed: ketika cerita itu tidak menarik dan tidak dilanjutkan realisasinya, alias bungkus), itu sudah bukti bahwa One Piece bersifat timeless dan memiliki elemen cerita yang baik. “Seribu seratus chapter lebih!” tukasnya. Dosen yang juga pernah ‘ngantor’ di depan Warung Sastra (lembaga Indonesian College) ini lantas berbagi rasa-kagumnya tentang begitu banyak fans yang menganalisis, mengajukan teori, hingga seserius itu.
Ada yang membikin threads sampai panjang, hanya dari bagian kecil di satu chapter tertentu dari manga bajak laut tersebut. Menurutnya, semua teori fans, baik parodi maupun serius, merupakan pertanda bahwa One Piece cukup berpengaruh dan bisa dikaji dalam ranah akademik. Manga karya Oda-sensei ini fleksibel dianalisis dengan teori sastra apa pun. Michael pun menawarkan banyak ide untuk riset bagi mahasiswa yang sedang skripsi: mulai dari teori strukturalisme, poskolonial, teori gender, psikoanalisis, hingga marxis dan eko-kritik (sastra dan lingkungan).
- Renanda Yafi Atolah: Epistemisida dan Rekayasa Tubuh – Membaca One Piece sebagai Fiksi Teknopolitik
Tiba waktu bagi pembicara pamungkas, Renanda Yafi Atolah atau akrab disapa Ofek. Insinyur listrik yang juga gemar menulis ini membuka presentasi dengan ungkapan tegas, “Sains netral adalah mitos.” Ia menyampaikan bahwa untuk riset itu butuh dana, hibah tertentu, dan pemberinya pasti punya kepentingan yang berperan.
Ofek lantas menyodorkan gagasan tentang “epistemisida”, istilah yang dinukilnya dari Boaventura de Sousa Santos. Epistemisida adalah pembunuhan pengetahuan, di mana pemerintah dapat menghapus sejarah, melarang riset, memusnahkan arsip dan kesemua itu terjadi dalam Tragedi Ohara dalam One Piece.

Ia juga mencermati bahwa di One Piece, pengetahuan adalah ancaman bagi pemerintah. Di tahap ini, kekerasan epistemik tidak hanya berhenti sebagai insiden, tetapi juga sebuah kebijakan sistemik yang sengaja diciptakan. Dan sosok Nico Robin adalah representasi dari perlawanan terhadap upaya jahat tersebut di manga karya Oda. Robin adalah simbol dari “hak untuk tahu” (right to know).
Menurut Ofek, One Piece dapat dibaca juga sebagai fiksi teknopolitik karena di dalamnya menjadikan sains dan teknologi menjadi titik konflik—terutama pasca-time skip. Ada pabrik buah setan Smile, modifikasi tubuh, genetika Vinsmoke, hingga kekerasan sistemik yang disembunyikan dengan merenggut tangis penduduk Wano. Unsur teknosains juga kental dalam dunia pasar gelap di One Piece, terutama hubungan antara ilmuwan Caesar Clown, dengan Sichibukai cum Broker Dofflaminggo, dan Yonkou Kaido.
Dampaknya bisa serius: pulau rusak, ekologi hancur, sejarah disensor, hingga penciptaan memori palsu. Dan di sinilah peran Nico Robin dapat menjadi simbol “keadilan epistemik” setelah kematian Profesor Clover. “Robin berjuang bukan hanya untuk bertahan, melainkan untuk mengungkap kebenaran,” tutupnya.



Mengapa Forum Ini Penting?
Di tengah bajir hiburan digital dan multi-distraksi instan yang menggerogoti otak, Forum Going Ohara menghadirkan ruang yang segar-menyegarkan: mengajak berpikir tanpa menggurui, menyelami dunia fiksi tanpa kehilangan daya kritis. Para peserta pun merasa terhubung dan terlibat aktif. Diskusi tidak hanya berlangsung di panggung, tapi juga berlanjut di teras, di emperan parkir yang remang sambil lesehan, juga merambah obrolan pribadi, bahkan ramai di unggahan media sosial.
Selain berbeda dengan konferensi ‘madzhab Tenryuubito’ yang justru meminta pembicaranya untuk membayar, forum Going Ohara “madzhab bajak laut” ini sekaligus menjadi bukti bahwa kajian budaya populer tidaklah remeh. Karya yang lahir di era modern ini dapat dibicarakan dari berbagai sudut pandang keilmuan.
Di sinilah One Piece menjadi titik-temu di antara banyak garis-pemisah sehari-hari. Ia juga dapat berfungsi sebagai korpus-uji: apakah sebuah karya, hanya karena populer, lantas dianggap picisan, pasaran, kurang adiluhung dan tidak bermutu? Apalagi jika karya tersebut berhasil menembus level menjadi “meme” (a unit of culture) yang membuat banyak orang terhubung di berbagai negara; mengisi sela-sela obrolan politik di warung kopi, alat satire di media sosial, hingga jolly-roger yang berkibar di berbagai aksi demonstrasi. Karenanya, tidak aneh jika masih banyak yang berharap akan ada lagi forum-forum yang mempersatukan semacam Going Ohara ini.[MnW/29-07-2025]

Catatan: Dokumentasi video Going Ohara #2 Forum Diskusi One Piece 26 Juli 2025 (siaran ulang) dapat ditonton di kanal YouTube Warung Sastra di sini.