Belakangan kita mendengar kata literasi dipercakapkan di setiap helatan acara yang berkaitan dengan aktvitas membaca, menulis, bahkan bedah buku. Kata tersebut segera menarik atensi kita untuk segera dipahami sebagai bagian dari aktivitas itu semua. Kita belum sampai mendalami apa sebenarnya literasi, namun merasa seakan-akan telah memahami cakupan maknanya melalui berbagai persinggungan kata lainnya.
Tulisan ini tidak berusaha menjelaskan sejarah literasi dalam konteks Indonesia, terutama menilik sejak kapan ia dimunculkan termasuk perluasan, penyempitan, bahkan bentuk peyoratifnya. Tentu saja bukan tidak mungkin untuk meneliti sampai sejauh itu. Pada kesempatan ini saya sekadar membatasi cakupan pembahasan literasi sebagai aktivitas menulis yang pada gilirannya merupakan kegiatan produksi pengetahuan.
Saya mulai dari problem mendasar saat ini yaitu ihwal kecenderungan kebanyakan orang dalam mendudukkan literasi. Taruhlah kata ini kita ambil maknanya dari KBBI: (a) kemampuan menulis dan membaca serta, (b) kemampuan individu dalam mengolah informasi dan pengetahuan untuk kecakapan hidup. Dua definisi ini kemudian menurunkan gagasan literasi sebagai bagian dari pendidikan bahasa dan literasi sebagai kemampuan memahami sesuatu.
Yang terakhir di atas lalu kita kenal menjadi beragam corak seperti literasi visual, literasi ekonomi, literasi matematika, dan lain sebagainya.
Nahasnya, bila literasi telah menjadi program pendidikan nasional, kita kenal kemudian menjadi Gerakan Literasi Sekolah, kata ini sekadar terejawantah ke dalam kegiatan membaca selama sepuluh sampai limabelas menit sebelum pelajaran dimulai. Bacaan yang dipilih cenderung manasuka, bergantung pada ketersediaan pustaka di sekolah. Namun, ia juga membuka peluang bagi peserta didik untuk membaca buku miliknya sendiri.
Gerakan Literasi Sekolah seolah-olah hanya kegiatan normatif yang disederhanakan sebagai aktivitas membaca. Itu pun tak jelas harus membaca dengan teknik seperti apa, apa saja bacaan yang hendaknya dikonsumsi, hingga masalah ketidaktahuan guru terhadap pola pembelajaran literasi. Dengan kata lain, program ini hanya berupaya mendekatkan buku kepada peserta didik. Tanpa rancangan pembelajaran yang jelas, terstruktur, dan lebih miris lagi: berjalan secara serampangan.
Kasus ini dapat diperpanjang sampai ke wilayah regulasi. Perumus tak mengerti kedudukan literasi dan sebaiknya menerapkannya dalam cakupan strategis seperti apa. Tapi kita dapat merangkum kecenderungan demikian pada satu pola tertentu.
Literasi kita masih berada di tahap lisanan. Diperparah lagi manakala kecenderungan menulis kita masih di ranah tersebut. Pun kecakapan membaca. Ia masih dianggap sebagai fase pramenulis. Seakan-akan sebelum menulis adalah membaca, bukan memosisikan membaca sebagai bagian langsung dan integral dari menulis.
Wacana literasi kita masih menempatkan menulis sebagai tahap kecakapan berbahasa “produktif” terakhir setelah berbicara. Sebelum itu, ia melewati proses menyimak dan membaca sebagai keterampilan berbahasa “reseptif”. Semua itu mengacu pada empat keterampilan berbahasa yang selama ini dipahami di bangku akademik, terutama dalam Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia: menyimak, membaca, berbicara, dan menulis.
Pembabakan itu tidak saja problematis, namun juga ahistoris. Seakan-akan keterampilan berbahasa itu gradasional dan posisi menulis berada di fase terakhir. Selain paling akhir ia juga dianggap sulit karena harus melewati fase-fase sebelumnya.
Selama ini pendidikan literasi kita masih terkungkung oleh kecenderungan demikian. Maka tak mengherankan bila produk tulisan mereka masih bias kecakapan lisanan. Ternyata kita tidak beranjak dari lisanan untuk memasuki aktivitas membaca maupun menulis.
Masalah Teknik
Pada dasarnya kita tak dapat membicarakan produksi pengetahuan jika kecenderungan menulis kita masih berpusar dalam lisanan. Demikian pula produksi pengetahuan kita masih sebatas klaim sepihak dan jauh dari ukuran semestinya.
Itu kenapa penting membicarakan terlebih dahulu apakah jangan-jangan kita bukan memproduksi pengetahuan, melainkan sekadar memproduksi informasi, bahkan sebatas data. Dua hal ini masih mendingan daripada hanya memproduksi “sesat pikiran” yang tertuangkan secara tertulis.
Jamak orang menulis tak mendasarkan keterampilannya secara sungguh-sungguh. Mereka menganggap menulis adalah kegiatan mengetik, menyusun kata, dan akhirnya terkumpul menjadi kumpulan paragraf. Mereka mengabaikan bagaimana seharusnya menyusun logika dalam susunan kalimat (state of mind), memadukan antargagasan menjadi bangunan terpadu (koherensi), sampai menengok kembali sejauh mana konsistensi yang dibangunnya.
Pendek kata, menulis memerlukan teknik khusus. Ia tak dapat dilakukan serampangan, semanasuka orang mengatakan menulis hanya menuangkan gagasan.
Seorang pelukis, misalnya, harus memahami teknik tertentu tentang garis, warna, dan pola-pola spesifik agar mampu menggoreskan kanvasnya ke papan sesuai kecenderungan estetika yang dianut. Sementara di bidang musik, katakanlah konduktor, harus menguasai teori musik agar mampu mengorkestrasi sejumlah pemain hanya dengan kedua tangannya. Paling elementer, tangan kanannya digunakan untuk ketukan dasar dan tangan kiri buat menginduksi instrumen.
Kita dapat merinci semua keterampilan di dunia. Akan tetapi, hal penting yang menautkan di antaranya adalah bagaimana ia dipelajari secara serius: dari ketelatenan sampai keterbukaan atas teori yang tersedia.
Sayangnya menulis dianggap sebelah miring dan sekadar diposisikan sebagai keterampilan biasa yang semua orang dapat melakukan tanpa teknik, teori, dan strategi tertentu. Problem demikian menandaskan betapa sebetulnya kita merasa akrab dengan dunia tulis-menulis, namun kenyataannya asing sama sekali. Kita belum benar-benar memahami mengenainya kecuali hanya sebatas pengeklaiman.
Kita merasa menguasai tapi pada dasarnya tak benar-benar memahami.
Pintu Masuk
Upaya produksi pengetahuan sudah semestinya memosisikan membaca sebagai bagian integral dari menulis. Bila tak dimulai dengan cara ini, membaca hanya sebatas mengumpulkan informasi sebanyak mungkin. Akan bertambah problematis jika hasil bacaan yang beragam itu dijejalkan ke dalam tulisan, yang pada akhirnya hanya berupa tempelan atau dekorasi pustaka.
Membaca bagian dari menulis menitikberatkan pada kemampuan interpretasi. Kecakapan evaluasi kritis tidak mungkin berjalan tanpanya. Itu semua dipakai dalam mengevaluasi secara etis maupun ideologis di belakang teks bacaan, sehingga kita dapat mencapai taraf membaca sebagai penulis.
Produksi pengetahuan merupakan pengendapan pikiran melalui tulisan. Seperti kita tahu, sejarah tulisan lahir karena perpanjangan dari memori eksternal manusia, yang secara praktis menyokong perkembangan ilmu pengetahuan. Tanpa tulisan, sejarah mustahil terkonstruksi sedemikian rupa sehingga membentuk dunia pengetahuan sebagaimana kita pahami sekarang.
Seorang produsen pengetahuan memahami apa yang seharusnya ditulis, dikembangkan, dan didiseminasikan. Ia sekurang-kurangnya harus mampu mengawali hal baru, suatu invensi yang dimungkinkan sesuai dengan pengetahuan yang dimiliki. Prasyarat ini tentu saja untuk menghindari produksi pengetahuan yang klise atau repetitif.[]