Kiat Marah yang Payah
Malam hari yang dingin
mencekam cepat menusuk pori-pori.
Dan keniscayaan lupa mendekam
di hati dan kantong mata telah mati.
Sisa detak arloji retak membakar meja sampai pagi.
Goresan pena sama saja.
Sama bosannya duduk tiada henti.
Meriang dan meradang menjelang di lorong semu abadi.
siapa yang tak rindu rumah?
Siapa yang tak rindu.
mungkin bukan.
—ini hanya soal waktu. Berani
bertaruh? Meski pernah bicara:
tubuh milik siapa yang rubuh?
Katamu, jalan-jalan di
Spanyol menyenangkan. Jalan-jalan
di Jepang tak kalah mengesankan.
Tapi kau takut jalan-jalan di sela
hatiku yang tertekan.
halaman buku tak sama dengan
halaman rumah. Luasnya pun
berbeda. Kurang lebih seperti penerimaanku dengan
penerimaanmu terhadap dunia.
Luasnya berbeda. Namun, sama-
sama terima. Aku tak muak ingin
jadi sempurna. Meski nyaris
mustahil. Aku kekal dalam impian
yang payah dan penuh tawa.
marah tak lebih dari sekadar cara payah
mempertahankan duka. Apa
guna selain takut pada keniscayaan
yang punah.
Sebelum berani
mengingatkan yang lupa.
Menyembuhkan yang sakit. Dan
memadamkan yang terbakar.
(2025)
Sebagian Lebaran Ada Padamu
Seadanya sisa bulan, kata-kata tak lagi mampu
menerjemahkan matamu yang biru.
Dan lebaran tak lagi sama.
Lontong dan rendang masih lupa rasa.
Hanya sisa hening sepiring berdua.
Meski daun pintu melambai kehadiran,
jendela menatap jauh keterasingan
—yang tak tereja tetaplah sama.
Pun jabat tangan dan lisan kebaikan
nyaris menyentuh napasmu yang menggantung
di rumah sanak saudara.
Selayang adanya kasih sayang,
aku membayangkanmu di ujung waktu
menikmati lontong rendang
dan melipat angpau bersamaku.
(2025)
Pasca Tahun Baru
Jalanan sepi sehabis hujan kesekian kali.
Aspal berlubang jadi wadah air menggenang.
Getar riak bergelombang ditiup angin tahun baru.
Tahun begitu sunyi selepas kembang api
meledak terakhir kali.
Kepagian kemarin,
pahitnya kopi jadi tak masuk akal.
Gula sepenuhnya dibawa lari orang. Tak bersisa.
Pulang.
Lewati gang sempit.
Jalan menurun.
Terseok-seok.
Terkekeh.
Memotong risau
tepat di persimpangan
temu mataku dan matamu
yang kedua kali.
Setelah pahitnya kopi,
ledakan kembang api,
dan jalanan sepi
tak lupa menasihati:
bahwa menyanggupi hidup
sama berarti siap menanggung air mata.
(2025)
Tempat di Mana Hanya Ada Kita
aku memimpikannya di atas ranjang tidurku,
sebuah tempat di mana hanya ada kita,
sebatas titik kecil di bawah tanda tanya,
dan lengkungan itu hanyalah pengandaian dari
setengah bentuk cinta—yang menempel
di jendela kamarku.
tempat di mana hanya ada kita,
tidak lebih dari sekadar kulacino
yang membekas di meja makanku.
dan lampu ruang tamu selalu berpijar
dan muka pintu menunggu ketukan
dan aku masih membisu di tengah
kesendirian.
sebuah tempat di mana hanya ada kita,
hanyalah rindu semata, hingga terang melipat malam,
kelam menggulung siang
terus berulang-berulang
(2025)
Kita Adalah Bom Waktu (2)
satu waktu,
Gustav menyadari
Hawa panas
dari pembakaran
duniawi yang belum
tuntas.
takut ia
tersulut seperi
terakhir kali
maka ia
bergegas pergi
seakan ia
tak pernah ada
dalam persoalan-
persoalan ini.
sekarang ia bebas
menjalani hidupnya yang ringkas
(2025)
Eve Berlalu
—untuk Natasha.
saat kata-kata jatuh
yang ku kira akan
tenggelam di nadimu,
ternyata semesta punya
kehendaknya sendiri
untuk membuatnya mengapung
dan tak pernah
mencapai dasar.
batu nyaris naik permukaan
dan terumbu karang
senantiasa
di bawah
—benang takdir kusut
sepasang sayap
terlempar kemari,
di padang lapang
yang terlampau sepi
aku menanti waktu
dan menanggalkan
segala
–gala
nya.
Waktu yang Tepat untuk Token Presensi
Waktu yang tepat untuk berangkat ke kelas, tidak sempat aku bayangkan sebagai sesuatu yang menakutkan. Kehadiran ialah riuh tanda tanya mahasiswa yang ragu dan yang tahu. Kehadiran jadi pemisah antara ingin dan enggan.
Di kelas, aku menyulam kata-kata.
Orang lain sibuk mengingat. Dan aku sibuk melupakan. Empat digit acak, seperti rindu memecah-belah segala kemungkinan.
Seakan waktu yang tepat adalah ketika aku menyeret kakiku sendiri di tengah pagi. Dan menggenggam tangan
menggigil di tengah dingin. Jelas, aku tidak mampu membedakan,
apakah aku hadir karena tuntutan revolusi
atau karena token presensi.
(2025)
Ketentuan yang Kini Sendu
Ketentuan di masa lalu, ku pikir normatif sederhana yang tidak terlalu berarti buatku. Ku pikir. Sesederhana melupakan PR dari guru, dan lanjut main lalu tidur di ranjang yang kini kosong—berbau apek dengan dinding lembap.
Sesederhana menutup mata pelajaran sejenak dan lari ke kantin—membungkam perut yang tak henti-hentinya mengeluh. Sedang pemangkasan rambut tak ada artinya bagiku. Bagi yang lain, senyawa dengan mahkota. Dan aku ada di sisi mereka.
Sisa-sisa ingatan mengalir dan membawa dingin di sekujur masa kini.
- Senin dan Selasa: almamater dan pantofel
- Rabu: atasan putih, celana abu, dan sepatu hitam
- Kamis: batik, celana abu, dan sepatu hitam
- Jumat: pramuka dan sepatu pantofel
Ketentuan-ketentuan kini sendu. Membuka paksa lemari rindu yang sepenuhnya beku. Di sana, segalanya tertanggal. Di hati, akhirnya tinggal.
(2025)