Tulisan ini bukan tulisan ilmiah. Ia tidak berdasarkan riset akademis yang harus dipertanggungjawabkan. Ini mungkin, lebih tepatnya, sejenis refleksi kultural tentang kondisi kebangsaan negara kita dan tentunya manusia yang menghuni bentangan territorialnya.
Di antara kita pasti ingat, beberapa dekade yang lalu Mochtar Lubis, seorang wartawan dan pengarang besar Indonesia, menyampaikan pidato kebudayaan yang diadakan di Taman Ismail Marzuki pada 6 April 1977. Di dalamnya ia pernah mengatakan ciri-ciri manusia Indonesia.
Hasil pidato tersebut bisa dikatakan sebagai autokritik atau refleksi kultural pada zamannya. Ringkasnya, beberapa tahun telah lewat. Namun apakah ciri-ciri manusia Indonesia yang diutarakan Mochtrar Lubis itu telah hilang? Atau justru masih relevan hingga sampai kini? Jangan-jangan semakin bertambah kriterianya dan makin memprihatinkan.
Jika kita hitung umur negara Indonesia sejak tahun 1945, bisa kita katakan bahwa eksistensi negara ini masih belum lama. Masih belia. Belum menginjak satu abad (masih 78 tahun). Namun sebagai sebuah bangsa yang mendiami gugusan pulau dari Sabang hingga Merauke, sudah tentu bangsa kita sudah cukup tua dan melewati berbagai macam terjangan sejarah. Sebagai contoh, katakanlah sebelum negara Indonesia ini lahir, telah banyak peradaban seperti Sriwijaya, Majapahit, Sunda Padjajaran, Perlak, Demak dan sebagainya yang sudah tentu meningalkan beberapa warisan kebudayaan terhadap Indonesia.
Percampuran antara berbagai macam suku bangsa yang kini melebur menjadi negara Indonesia ini, pada akhirnya, menciptakan sebuah eksistensi keberagaman yang kaya dan unik. Kemudian diikat dengan sebuah semboyan “Bhineka Tunggal Ika” yang diambil dari salah satu kitab Kakawih Sutasoma karya Mpu Tantular. Keberagaman yang kaya itu memang menjadi daya tarik tersendiri. Itu bisa sekaligus menjadi sumber daya kebudayaan negara, namun di sisi lain, keberagaamaan yang padat itu ternyata juga menyimpan persoalan dan problematika yang cukup kompleks.
Kita pernah mengalami beberapa persitiwa sejarah kemanusian yang cukup pilu. Seperti kasus kerusuhan Madura vs Dayak Sampit, kemudian konflik di Poso, Ambon, yang berbau agama, hingga di Lampung Tulang Bawang, penjarahan etnis Tionghoa 1998, serta kasus-kasus sejenis yang kebanyakan dipicu oleh persoalan etnikal dan agama.
Bukankah ini ironis? Mengingat kita tak asing pada ‘stempel’ bahwa bangsa Indonesia dikatakan sangat religius, ramah, memiliki semangat gotong royong tinggi, menghargai perbedaan dan sebagainya. Namun jika kita perhatikan dan renungkan secara mendalam, kenyataannya tidak sesuai yang digaung-gaungkan. Bukan berarti hal seperti itu tidak ada, namun, saya pikir makin ke sini bangsa ini menjadi sangat koruptif, manipulatif, juga saya pikir semakin barbar.
Seperti contoh seorang maling kecil di pedesaan tak jarang meregang nyawa habis dihajar masa tanpa ampun. Belum jika menyebutkan korban tawuran antarsekolah, antargangster, antar-suporter sepakbola, antarormas yang acap kali membawa senjata-senjata tajam. Kebengisan begal yang tak segan membunuh korbannya, kemudian fenomena terbaru kasus penyiksaan yang dilakukan seorang anak pejabat kementerian yang cukup sadis yang pada akhirnya membuka borok kinerja Dirjen Pajak di tubuh Kementerian Keuangan yang ternyata sangat koruptif. Lalu ada juga fenomena kebudayaan santet menyantet, terlebih lagi saat musim pilkada dan hal lain sejenisnya.
Persoalan kasus korupsi di Indonesia bisa saya katakan telah sangat mengakar dan mungkin “membudaya dan merajalela” di lingkaran elit pemegang kekuasan. Namun ternyata, mentalitas itu pun perlu kita sadari telah hidup dan terus bertumbuhkembang di tatanan masyarakat arus bawah. Seperti penyelewengan dana bantuan oleh pejabat pejabat tingkat RW, desa, kecamatan, kabupaten, provinsi, sampai pejabat pusat.
Berita tentang proyek-proyek kepentingan umum yang mangkrak atau bahkan hancur dan rusak dan seterusnya. Entah itu karena pemilihan bahan baku bangunan yang berkualitas rendah agar mengantongi laba yang besar dari proyek tenderan, dan kasus-kasus lainnya yang bisa anda urutkan sendiri. Jika boleh dikata, korupsi itu sudah menjadi bagian budaya manusia Indonesia.
Emha Ainun Nadjib atau yang lebih akrab di panggil Cak Nun atau Mbah Nun pernah menulis, “Korupsi menjadi salah satu “sahabat” sehari-hari kita. Korupsi menjadi salah satu identitas terpenting dari bangsa yang besar ini, bangsa yang selalu merasa besar ini, bangsa yang selalu membesar-besarkan dirinya ini.”
Kiranya perkataan dari Emha Ainun Nadjib tersebut mesti kita renungkan secara mendalam.
Dan yang cukup menyedihkan mentalitas seperti itu tumbuh sumbur bahkan terkesan dinormaliasi. Seperti di lingkup komunitas intelektual akademis. Merambah ke kalangan mahasiswa dan juga beberapa oknum birokrasi kampus. Bahkan tak jarang juga racun seperti itu bersemayam di dalam gerakan aktivis mahasiswa.
Tak jarang saya mendengar dan mengetahui beberapa aktivitas demonstrasi yang mengatasnamakan rakyat berdasarkan orderan orang-orang berkepentingan tertentu. Kalaupun tidak begitu, mereka berdemonstrasi untuk mencari uang sumpalan mulut mereka.
Sudah sepantasnya kita merasa malu akan kenyataan itu. Terlebih lagi saya pernah membaca hal gila baru-baru ini yang membuat saya tidak habis pikir bahwa 500 triliun dana kemiskinan habis hanya untuk studi banding dan rapat-rapat semu di hotel. Orang-orang miskin dijadikan barang dagangan festival. “Eksploitasi kemiskinan”. kemudian yang terbaru 300 triliyun rupiah uang di Dinas Perpajakan menghilang entah kemana.
Bukankah ini cukup memprihatinkan? Kebudayaan bangsa kita seolah menciptakan pejabat-pejabat yang membahas tema kemiskinan, penindasan dan keprihatinan. Namun bisa dikatakan tidak berhasil dalam implementasinya, gerakan aplikatifnya, praktik konkretnya. Seharusnya kita sudah mulai harus menyadari betul bahwa mana hal yang sifatnya seremonial dan mana yang substansial.
Saya berpikir hal krusial apa yang membuat bangsa indonesa menjadi sedemikian rumit dan ihwal apa saja yang mampu merombak paradigma masyarakat hingga ke sendi-sendi kulturalnya. Sebab jika terus seperti ini proses berbangsa dan bernegara kita hanya akan terus mengakibatkan kehancuran perlahan-lahan.
Kita bukan hanya mengalami krisis budaya. Tapi juga berbagai macam ketertindasan. Ketertindasan ekonomi, ketertindasan intelektual, ketertindasan pendidikan dan ketertindasan-ketertindasan lainnya. Kita berada pada posisisi krisis multidimensional. Belum lagi hari ini kita terlempar memasuki sebuah budaya baru. Budaya global digital yang saling terhubung.
Bangsa Indonesia yang sebenarnya belum tuntas menyelesaikan persoalan-persoalan sosial budaya dari hal kecil kini harus juga menghadapi tuntutan narasi-narasi global. Yang pada akhirnya jika tidak disikapi secara matang akan mengakibatkan krisis identitas dan ketimpangan kelas yang sangat tinggi. Juga patologi-patologi sosial di dalamnya.
Saya ingin kembali ke isu yang saya sentuh di awal. Tentang “Manusia Indonesia” yang pernah diungkapan oleh Mochtar Lubis itu, masih relevankah dengan situasi hari ini atau malah bertambah banyak? Mohon kita renungkan bersama.[]
_________________________________
Penyunting: M. Naufal Waliyuddin
💫 Wow, blog ini seperti roket melayang ke galaksi dari kemungkinan tak terbatas! 🎢 Konten yang menegangkan di sini adalah perjalanan rollercoaster yang mendebarkan bagi pikiran, memicu kegembiraan setiap saat. 🎢 Baik itu inspirasi, blog ini adalah harta karun wawasan yang menarik! 🌟 🚀 ke dalam pengalaman menegangkan ini dari penemuan dan biarkan pemikiran Anda berkelana! 🚀 Jangan hanya mengeksplorasi, rasakan kegembiraan ini! #MelampauiBiasa Pikiran Anda akan berterima kasih untuk perjalanan menyenangkan ini melalui alam keajaiban yang menakjubkan! ✨