slot gacor slot gacor slot gacor slot gacor
Sastra: Sebuah Jalan Ritmis Menjadi Manusia - Metafor.id

Situs Literasi Digital - Berkarya untuk Abadi

Metafor.id
Metafor.id
Monday, 07 July 2025
  • Login
  • Register
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Hikmah
    • Sosok
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Tips & Trik
    • Kelana
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
No Result
View All Result
Metafor.id
No Result
View All Result
Home Kolom Esai

Sastra: Sebuah Jalan Ritmis Menjadi Manusia

Fauzan Anwar Z by Fauzan Anwar Z
1 September 2021
in Esai
0
Sastra: Sebuah Jalan Ritmis Menjadi Manusia

https://womasz.github.io/

Share on FacebookShare on TwitterShare on WhatsAppShare on Telegram

“All I am is literature, and I am not able or willing to be anything else.”

― Franz Kafka

Jika kita ingin mendefinisikan perihal seluk-beluk apa itu sastra, sudah tentu tulisan sederhana ini tidak akan cukup untuk membabarkannya. Lagi pula tulisan ini tidak hendak menjelaskan tentang apa itu sastra. Tulisan sederhana ini hanya ingin menjelaskan secara singkat sastra sebagai sebuah jalan ritmis untuk menjadi seorang ‘manusia’. Jika ada yang tidak sependapat dan kurang berkenan pada tulisan ini, saya mohon maaf karena keterbatasan pengetahuan saya terhadap sastra.

Dalam kesejarahannya, sastra adalah bagian yang tak terpisahkan dalam setiap kebudayaan masyarakat. Kita bisa lihat bagaimana di setiap kebudayaan memiliki cerita rakyatnya (folklore) masing-masing. Baik itu cerita lisan maupun tulisan. Setiap karya sastra yang lahir adalah sebuah usaha untuk meperlihatkan kepada kita tentang kenyataan sejarah kehidupan. Tiada karya sastra tanpa sejarah. Sebab karya sastra pada dasarnya dibangun dari inti sejarah. Dan seorang sastrawan sejati akan selalu menolak tirani sejarah.

Saat arus zaman membawa peristiwa-peristiwa yang makin lama semakin mengerikan untuk dibayangkan, setidaknya sastra mampu membawa kita untuk ‘keluar’ dari bayang-bayang itu. Pada era ini, di mana modernitas mencapai aspek puncaknya, dimensi kesusastraan menjadi semakin pudar dalam kehidupan masyarakat. Keindahan dan dimensi didaktis sastra tertutupi oleh gedung-gedung pencakar langit, oleh riuhnya kabar di televisi, kabar di gadget kita, serta gemerlap lampu dan produk–produk material lainnya–pusparagam hasil dari ‘kemajuan manusia’ yang bernama modernisasi.

Namun meski demikian, Emha Ainun Nadjib, saat ia berada di sebuah acara majalah sastra Horison dalam orasi kebudayaannya, beliau masih menaruh harapan dan tak kehilangan semangat pada sastra. Dalam orasinya beliau mengatakan:

“Sastra tidak akan musnah oleh riuh rendahnya negara serta Industri dan kapitalisme yang sangat tidak berpihak pada manusia. Sebab manusia secara alamiah akan sangat membutuhkan sastra untuk mengolah ‘proses perohanian dan pelembutan kehidupan’.”

Berdasarkan perkataan itu, saat daya rawat kesusastraan terasa semakin melemah, maka tugas utama  seorang ‘sastrawan’ adalah merawat, membesarkan, serta membumikan kembali kesusastraan pada kehidupan bermasyarakat. Sebab sastra bukanlah barang mewah yang hanya bisa dinikmati oleh kaum elit intelektual saja. Sastra harus kembali menjadi bagian dari setiap kehidupan masyarakat pada umumnya. Sastra sejatinya tidak hanya terbatas pada dimensi literasi an sich. Sastra lebih luas dari itu.

Sastra adalah dimensi ritmis perjuangan panjang manusia untuk membebaskan diri dari jeratan-jeratan dan keterikatan berlebih terhadap dunia. Sastra juga adalah senjata manusia untuk dapat berkata tidak pada segala kekuasaan yang ketika belum puas mengatur hidup kita, ingin juga memerintah kesadaran kita secara semena-mena.

Jika kita mengangap sastra sebagai alat untuk kemashuran diri, sastra pun tidak akan berarti apa-apa pada diri serta kehidupan khalayak–kecuali hanya menjadi sebuah mercusuar ego yang menjulang tinggi.

Belajar sastra adalah berproses untuk menjadi manusia yang benar-benar manusia. Karena manusia bukanlah sebuah eksistensi yang ajeg. Bukan entitas stagnan yang seolah sudah selesai. Menjadi manusia adalah proses yang terus berkelanjutan. Dan sastra adalah salah satu alat untuk ‘menjadi manusia itu’.

Seorang Begawan Guru dari India pernah berujar bahwa, “Pertumbuhan diri manusia sejatinya bukan berarti kita terus membesar dalam segala aspek. Pertumbuhan diri manusia adalah saat kita menjadi semakin tipis seperti udara. Dan hal itu bisa ditandai dengan ketika Kehadiran Diri menjadi sangat kuat, namun personalitas ke-aku-an semakin melemah”.

Berdasarkan perkataan begawan tersebut, secara eksplisit sangat jelas pentingnya pengendalian anasir ke-aku-an. Terlebih, ke-aku-an atau keegoisan pada peradaban hari ini sudah berada pada tahap yang sangat mengkhawatirkan. Manusia dengan ego tingginya tak segan-segan untuk merendahkan, menindas, bahkan membunuh sesamanya. Sastra, yang di mana dalam pendalamannya sangat menitikberatkan pada pengolahan dimensi halus pada diri manusia, pada dasarnya untuk melatih kepekaan diri tentang universalitas kehidupan.

Manusia dengan segala anugrah potensinya mampu merubah tanah dan mendewasakannya menjadi padi, menjadi sayuran, menjadi bangunan dan berbagai macam jenisnya. Bahkan kotoran pun bisa manusia rubah menjadi buah atau bunga, jika kita bisa mendewasakannya ke arah yang benar. Demikian pun dengan sastra.  Sastra mampu mendewasakan manusia ke arah yang semestinya sesuai titik koordinat masing-masing.

Manusia adalah lakon utama dalam sejarah, maka secara tidak langsung manusia pun adalah bahan baku dasar dan sekaligus korbannya. Sastra secara mendasar menitikberatkan pada persoalan ini. Sastra pada intinya tidak memiliki misi lain selain merubah manusia. Baik itu secara individual maupun komunal. Berbagai macam karya sastra telah lahir, baik itu yang berbau romantik, bersifat perlawanan, bernafaskan  profetik, dan lain sebagainya. Karya sastra akan selalu terikat dengan fakta realitas kehidupan yang terjadi.

Sastra adalah manifestasi perasaan serta gejolak diri manusia dalam menyikapi kehidupan. Sastra mengendarai kendaraan yang bernama bahasa. Bahasa sastra harus senantiasa menjebol bahasa keseharian. Karya sastra, terutama puisi, di mana kata-kata diubah ke dalam unit-unit ritmis maupun imaji-imaji metafor, jika dalam perkataan Octavio Paz–seorang sastrawan Meksiko–berfungsi untuk “melebur kenyataan yang bagi kita tampak bertentangan dan tidak sederhana menjadi satu kesatuan makna indah yang utuh”.

Hari ini ketika begitu banyak manusia-manusia yang heterogen “diseragamkan” oleh cambuk propaganda dan virus-virus kepopuleran, karya dan kreasi sastra seolah terpukul keras dan memasuki dunia persembunyian. Menyikapi realitas kehidupan yang sangat begitu paradoks dan kompleks, kehadiran sastra sesungguhnya mampu menjadi oase pelepas dahaga di tengah gurun-gurun ketidakpastian.

Aktivitas sastra harus kembali menemukan semangat purbanya. Ia harus mulai turun menghujani dan mengguyuri kehidupan bermasyarakat yang semakin kering, kasar, gersang dan seolah beralih menjadi kehidupan robotik.

Mari kita refleksikan sejenak betapa hebatnya pengaruh kumpulan kata-kata di kitab-kitab suci yang ada di dunia. Baik itu Islam, Yahudi, Kristen, Hindu, Budhha, dll. yang sejak puluhan ribu tahun silam hingga saat ini, semua manusia di kolong langit  jika meminjam istilah Pak Achdiat K. Mihardja berada dalam pengaruh  “mahkota sastra” tersebut. Bahkan seorang pemikir asal mesir bernama Nasr Hamid Abu Zayd pernah mengatakan bahwa kehidupan manusia jika disingkat adalah “haddlaratun nash” (peradaban teks) yang pada akhirnya melahirkan “muntaj tsaqofi” (produk budaya).

Dengan perkembangan teknologi yang semakin pesat tanpa dibarengi dengan kesadaran tinggi akan kehidupan, lambat laun romantisme dan kasih sayang akan semakin pudar. Dan jika romantisme hilang maka saya berani mengatakan bahwa mahluk yang bernama manusia itu telah punah. Sebab jika sebuah peradaban sangat memberhalakan sifat-sifat materialistik dalam kehidupan, otomatis manusia akan terjebak dalam sebuah negeri bebal budaya. Dan sejarah mencatat: bahwa kebebalan budaya nyaris selalu menjadi biang dari kepunahan peradaban manusia.

Kiranya untuk menutup tulisan singkat ini saya akan mengutip puisi dari seorang penyair besar Meksiko:

“Aku tidak pernah sendiri
Aku selalu bicara kepadamu
Kau selalu berbicara kepadaku
Aku bergerak dalam gelap
Menanam lambang-lambang”.

Tags: esaifauzan anwarfranz kafkasastrasastra: sebuah jalan ritmis menjadi manusia
ShareTweetSendShare
Previous Post

Bentang dan Jet Lag Blues

Next Post

Senyum Pak No: Bekali Jiwa dengan Rasa Bahagia

Fauzan Anwar Z

Fauzan Anwar Z

Asal Bandung dan bergerak di komunitas Sastra Angin. Bisa disapa via Instagram @fauzananwarz

Artikel Terkait

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)

2 April 2024

Sepuluh menit setelah tanggal berganti menjadi 29...

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1
Esai

Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

1 April 2024

28 Maret 2024 Masehi. Malam 18 Ramadhan 1445 Hijriah. Saya tiba di Ladaya, Tenggarong, setelah menempuh lebih dari satu setengah...

Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi
Esai

Maraknya Perundungan Tanda Rendahnya Budaya Literasi

17 March 2024

Belakang ini isu perundungan bagai bom waktu. Setiap hari bisa meledak di mana-mana, baik di sekolah hingga pesantren elite sekalipun....

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar
Esai

Public Speaking Bukan Hanya Keterampilan Orang Terpelajar

4 April 2023

Berbicara, sebagai kebutuhan primer dalam berinteraksi, dapat membuat sebuah pertemuan menjadi lebih hidup. Bagi kebanyakan orang, sering atau banyak bicara...

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Baca Juga

Surat dari Sekar

Surat dari Sekar

10 November 2021
Pendidikan, Multiple Intelligences dan Persoalan Era Digital

Pendidikan, Multiple Intelligences dan Persoalan Era Digital

25 June 2021
Korelasi Pandangan Ilmu Kalam dan Kiri Islam Hassan Hanafi

Korelasi Pandangan Ilmu Kalam dan Kiri Islam Hassan Hanafi

21 June 2021
Menyikapi Pemikiran Barat Seperti Jamaluddin al-Afghani

Menyikapi Pemikiran Barat Seperti Jamaluddin al-Afghani

31 January 2022
Gambar Artikel Idealisme dan Pembantaian

Idealisme dan Pembantaian

9 December 2020

Angklung: Warisan Budaya Sunda

6 December 2021
Gambar Artikel Serat Badar Lunar

Serat Badar Lunar

21 November 2020
Dimulai dari Ibu

Dimulai dari Ibu

6 May 2021
Gambar Artikel Mind Management

Mind Management

27 November 2020
Gadis Masochist

Gadis Masochist

27 May 2021
Facebook Twitter Instagram Youtube
Metafor.id

Metafor.id adalah “Wahana Berkarya” yang membuka diri bagi para penulis yang memiliki semangat berkarya tinggi dan ketekunan untuk produktif. Kami berusaha menyuguhkan ruang alternatif untuk pembaca mendapatkan hiburan, gelitik, kegelisahan, sekaligus rasa senang dan kegembiraan.

Di samping diisi oleh Tim Redaksi Metafor.id, unggahan tulisan di media kami juga hasil karya dari para kontributor yang telah lolos sistem kurasi. Maka, bagi Anda yang ingin karyanya dimuat di metafor.id, silakan baca lebih lanjut di Kirim Tulisan.

Dan bagi yang ingin bekerja sama dengan kami, silahkan kunjungi halaman Kerjasama atau hubungi lewat instagram kami @metafordotid

Artikel Terbaru

  • Kiat Marah yang Payah dan Puisi Lainnya
  • Siasat Bersama Wong Cilik dan Upaya Menginsafi Diri: Sebuah Perjamuan dengan Sindhunata
  • Cosmic Hospitality dan Puisi Lainnya
  • Kenangan, Bahasa, dan Pengetahuan
  • Penjual Susu dan Puisi Lainnya
  • Peringati Hari Buku Nasional, Forum Buku Berjalan Adakan Temu Buku di Wisdom Park UGM Yogyakarta
  • Menyulut Api Literasi dari Kediri: Mahanani Book & Art Festival
  • Lelaki Tua yang Dipermainkan Nasib
  • Membangun Literasi Peduli Bumi: Festival Buku Berjalan
  • Kandang Menjangan Menggugat dan Puisi Lainnya
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 2 (Selesai)
  • Diri yang Tak Bersih dan Sejumlah Tegangan – Bagian 1

Kategori

  • Event (11)
    • Publikasi (2)
    • Reportase (9)
  • Inspiratif (31)
    • Hikmah (14)
    • Sosok (19)
  • Kolom (63)
    • Ceriwis (13)
    • Esai (50)
  • Metafor (207)
    • Cerpen (51)
    • Puisi (137)
    • Resensi (18)
  • Milenial (46)
    • Gaya Hidup (25)
    • Kelana (11)
    • Tips dan Trik (9)
  • Sambatologi (70)
    • Cangkem (18)
    • Komentarium (32)
    • Surat (21)

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

No Result
View All Result
  • Home
  • Metafor
    • Cerpen
    • Puisi
    • Resensi
  • Sambatologi
    • Cangkem
    • Komentarium
    • Surat
  • Kolom
    • Ceriwis
    • Esai
  • Inspiratif
    • Sosok
    • Hikmah
  • Milenial
    • Gaya Hidup
    • Kelana
    • Tips & Trik
  • Event
    • Reportase
    • Publikasi
  • Tentang Metafor
    • Disclaimer
    • Kru
  • Kirim Tulisan
  • Kerjasama
  • Kontributor
  • Login
  • Sign Up

© 2021 Metafor.id - Situs Literasi Digital.

Welcome Back!

OR

Login to your account below

Forgotten Password? Sign Up

Create New Account!

OR

Fill the forms bellow to register

All fields are required. Log In

Retrieve your password

Please enter your username or email address to reset your password.

Log In