(Surat Balasan untuk Sobrun Jamil)
Pertama-tama, mbok dimaafkan saya ini. Menjelang dua bulan sudah surat dari sampeyan masih saya telantarkan. Konflik hati ini jiann ngrepotke. Alias, saya mencoba ambil jarak dulu dari kepenulisan dan beragam tetek-bengek yang berurusan dengan itu. Taman-taman literasi digital yang biasanya saya setori tulisan pun sekian lama belum juga saya setori.
Sampai pada suatu ketika Mas Helmi, redaktur sebuah website yang saya rutin baca (CakNun.com), mengospek saya sebagai penulis anyaran di Kadipiro—tempat saya bekerja saat ini. Itu gara-gara saya iseng mengirim tulisan atas ajakan Mbah Emha di rubrik Wisdom of Maiyah di CakNun.com. Ndilalah Mas Helmi ngonangi kalau yang nulis itu saya. Setelah itu, dipaksalah saya buat nulis tulisan apa saja di web itu, yang agak panjang, bukan sependek di Wisdom of Maiyah, diberi tenggat waktu dua hari saja. Dan sejak saat itu pula agak tergugah diri saya buat bangun dari rehat nulis.
Cak Sobrun, meski kita masih kontakan di WhatsApp, rasanya kurang blues kalau belum saya balas surat anda sebelumnya. Nah, terkait konsep asbabun nuzul itu, saya ada maksud mengapa cuma menjelaskan sedikit keterangan perihal kita ketemu. Yakni supaya sampeyan juga ikut menjelaskan, agar lebih detail atau apalah itu. Padahal di zaman seperti ini kita ndak perlu-perlu amat buat mendetail dalam segala hal. Cukup ngomongin garis besarnya saja, entah yang dijelaskan itu paham atau malah tidak karu-karuan pemahamannya, tidak penting juga buat kita, toh?
***
Baru saja kemarin lusa, rekan kerja saya di Syini Kopi ada yang overthinking. Ia memikirkan, kalau saja Tuhan ini Maha Adil dan Maha Segalanya, lantas mengapa manusia diperbolehkan berbuat dosa kalau saja nanti dihukum sendiri oleh-Nya. Kalau saja kita ini ditakdirkan jadi orang jahat dan tempatnya di neraka, apa tidak ada kesempatan kalau kita ini bisa dicintai oleh-Nya?
Lantas saya teringat dengan salah satu nomor Emha Ainun Nadjib , Novia Kolopaking & KiaiKanjeng di album Sayang Padaku, judulnya “Semau-maumu”. Yang salah satu liriknya;
Kehidupan dan kematian
Keuntungan dan kerugian
Kau sendiri yang menentukan
Sesudah Tuhan
Dari potongan lirik itu, saya pahami kalau kita ini diberi kewenangan oleh-Nya untuk menentukan bagaimana kita menjalani kehidupan. Widih, kemaki ngomong kehidupan kayak sudah sip saja hidup saya ini. Mbel.
Maka, perihal kahanan Indonesia yang sudah kayak gini, ya memang sudah takdir-Nya. Tapi kita sebagai cah enom yang ndak cuma ngopa-ngopi dan asah-asah cucian di kedai kopi, kita terus menuliskan perjalanan hidup agar terus baik dan indah apa-apanya. Minimal, ya buat dan untuk diri kita sendiri. Lama-lama lak katut semuanya.
Begitulah sekiranya masa-masa saya libur menulis, Cak. Masih tetap berkomunikasi dan melekan dengan orang-orang di Kadipiro, ngomongin apa saja yang kebanyakan ya kurang fungsi-fungsi amat buat masa depan.
Oh ya, hampir saya lupa. Perihal The Beatles yang nyontek The Tielman Brothers, agaknya tidak perlu saya salahkan. Sebab The Tielman Brothers sendiri sudah lebih dulu terkenal di Eropa, sedangkan The Beatles terkenal di kotanya sendiri saja belum. Toh ya namanya inspirasi. Kalau tidak boleh terinspirasi, mbok itu kopisop-kopisop dengan cat dasar tokonya putih bersih silakan disenggaki. Kok mulai dari warna dan menunya ndak jauh beda sama J*nji J*wa, wqwq.
Dan kalau dikomparasikan antara Rolling Stones dan The Beatles, ya okelah kalau Rolling Stones lebih sip. Wong mereka tidak bubar, kok. Tetap konser sana-sini dari jaman 60-an sampai 2000-an ini. Sedangkan masa aktif The Beatles cuma sepuluh tahun. Dan The Beatles belum menangi jaman keemasan live concert, yang baru bermula di awal 70-an, Rolling Stones-lah yang menikmatinya.
Akar musik Rolling Stones setahu saya murni dari blues. Sedangkan The Beatles lebih berani membuka diri buat improvisasi. Coba bandingkan musik-musik The Beatles dari satu album ke album yang lain, sesuai urutan waktu. Transisinya sangar, tidak grusa-grusu dan tidak pula mencla-mencle seperti kebijakan wong nduwur di kahanan COVID-19 saat ini. Hesss yasudah lah, pokoknya The Beatles lebih sip buat saya. Mbok ndak usah bergumul menyinggung itu terus kalau tantangan saya dulu belum juga dilaksanakan: muter lagu Ummi Kultsum di Kapeo Kopi pas lagi rame-ramenya.
Eh, saya dengar Kapeo Corporation buka tempat lagi, Terakota, perpaduan kopi dan donat yang mungkin diadakan karena Cak Sobrun jenuh berhadapan dengan mesin espresso dan alat-alat seduh kopi di depan matanya. Maka donat mungkin bisa sedikit mencerahkan matanya.
Jangan lupa terangkan pada saya dan rakyat Metafor.id perihal klasifikasi customer Kapeo Kopi selain adanya ukhti-ukhti photogenic itu. Sehat-sehat Cak Sobrun dan keluarga Kapeo Corporation!
Kadipiro, April 2021