Sengaja saya bercerita di pertengahan bulan Juni, saat yang lain sedang gempar menyambutnya dengan banyak harapan, banyak coretan dan caption di berbagai postingan, entah itu melalui story WhatsApp atau hanya sekilas terucap. Ya, sebuah kata legendaris dari sosok puitis Sapardi Djoko Damono, siapa yang tak kenal dengan hujan bulan juni? Pasti tidak asing kita dengar di kalangan milenialis yang sibuk mencari jati diri.
Lain halnya dengan cara ini, saya yang berceritaka padamu, dari deret harap yang semoga tak henti terucap. Dari kalimat pinta yang bersayap agar terbang tak hanya sampai atap. Justru hari ini saya kembali mengenal sebuah kata bernama “sunyi”. Tapi, semoga ada suatu detik dalam satu jam pada hari di antara salah satu bulan Juni yang membuat saya bisa bertemu denganmu.
Kau tau? Menunggu adalah kebiasaan, berdiri berjam-jam di setiap sudut pintu, melihat kanan kiri di sekeliling, tapi setiap akhir dari hari yang berlalu tak juga saya temui. Jadi sudah cukup saya bersahabat dengan sunyi, dan ku titipkan rasa itu kepadamu.
Jika benar takdirnya sudah melewatimu, maka kuharap Tuhan menghendaki diriku menyapamu walaupun dalam lelap di malam dingin bulan Juni. Hanya saja, bila masih berjalan beriringan, menapak di tengah kencang kehidupan, tolong berhenti! Berbalik-arahlah dan temui saya.
Hari ini saya kembali bertanya, jika memang menunggu adalah selalu tentang pulang, maka bolehkah saya memintamu agar tak pernah pergi? Biar selamanya kata pulang itu asing. Benarkah jika dengan pergi, itu akan selalu berujung pulang? Atau bisa saja kau hanya pergi dan tidak pernah kembali?
Dengan berdalih pergi sebentar, dan saya percaya, mungkin bulan Juni akan tertawa, bahwasanya sampai di pertengahan ini, tak saya temui langkah kakimu semakin kencang terdengar di telinga. Barangkali kini punggungmu semakin jauh melangkah ke arah yang berbeda.
Jika pulang adalah jawaban, maka semoga kau tidak pernah keberatan dari pertanyaan yang sudah saya siapkan. Tapi tenang, saya akan mencoba mencari jawabannya dari mulut orang. Atau mungkin lebih baik saya museumkan tanda tanya itu, agar kau segera pulang?
Sudahlah, pulang hanya tentang siapa dan apa yang ternyata diprioritaskan. Sebab, sebenarnya tolak ukur itu ada pada dirimu sendiri, meski sampai detik ini saya tidak tau, apa saya pernah ada di pertimbanganmu untuk kau anggap penting atau tidak.
Heii, cukup! Bulan Juni akan semakin menertawakan segala kebodohan ini: saya yang tak tau bahwasanya pergi memang tidak selalu tentang pulang.
“Andai saja”, sebuah kata penyesalan yang hanya akan datang ketika kau tak terima dengan keadaan. Atau sebuah kejadian yang hanya kau anggap kebetulan itu adalah tentang ketidaksengajaan. Tapi kalimat manis dari Fiersa Besari mematahkan, bahwa sebenarnya kebetulan adalah sebuah takdir yang menyamar.
Saya hanya tidak ingin mempercayai sebuah ketidakpastian terlalu dalam. Tolong, beri tahu saya jika dengan pergi adalah caramu melawan takdir, maka bisakah itu saya sebut ketiksengajaan? Tapi sayang, ternyata itu adalah takdir yang sedang menyamar.
Yap, serumit ini jika saya harus menulis tentang kata “sunyi” yang lahir karena sebuah kepergian dan meninggalkan kata perintah yang melewati pertimbangan dari prioritasnya, yaitu pulang!–yang pada akhirnya selalu tentang pergi.
Sebelum bulan Juni berganti Juli, saya ucapkan terima kasih meski saya tidak menemukanmu di sini. Sepertinya saya hanya berlari kencang tanpa mengerti seperi apa terjal jalan pada bumi yang saja pijaki. Mungkin saya harus lebih memahami bahwasanya segala semoga akan bisa saya dapati hanya ketika Tuhan menghendakinya.
Ini bukan tentang Juni yang tak bisa memberi kesan berarti. Ini hanya tentang saya yang mencoba memberi arti, karena setiap sisi dari kehidupan tak mampu dimaknai sendiri. Ada kalanya dengan pergi. kita mengerti. Ada saatnya dengan pulang, kita memahami. Meski, penantian tidak juga berakhir dengan temu yang pasti.
Tapi inilah hidup, beberapa bait puisi dan prosa yang mewakili tak akan selalu sampai di hati jika tak benar-benar terjadi.[]