Hai, aku tidak peduli jika tulisan ini dianggap bodoh oleh orang lain, juga tidak cemas kalau tulisan ini tak pernah sampai pada kedua mata itu. Betapa aku tidak ingin melibatkan perasaan ketika membicarakan dirinya, sebab aku takut. Aku takut membenarkan sesuatu yang muncul dari persepsiku sendiri. Aku takut menyalahkan segalanya tentang dia yang pada dasarnya tak kuketahui seperti apa kenyataannya.
Hari ini, aku memimpikanmu. Aku mendamba sebuah kehadiran, tapi ternyata aku lupa untuk menyertakan maksud “hadir” yang sebenarnya, hingga hadir itu hanya menemuiku lewat sebuah mimpi. Di mimpi itu, engkau datang. Lebih tepatnya, kau pulang pada rumah yang kau pilih untuk kau tinggalkan. Kau kembali pada hati yang sudah kau hancurkan kepercayaannya.
Tangan itu untuk pertama kalinya diulurkan kepadaku. Figur yang harusnya mendampingiku tumbuh dan mengajariku membaca dunia, justru memperkenalkan dirinya saat aku sudah melewati masa-masa sulit itu.
Kujabat tangannya dan tak terlihat sedikit pun penyesalan di wajahnya. Kudapati senyum yang tak kupahami artinya. Betapa aku ingin marah dan menuntut penjelasan darinya, tapi dia berlagak santai seolah tiada pernah terjadi apa-apa. Seakan ini hanyalah kesalahan sepele yang bisa selesai dengan cukup mengucap kata maaf.
Hadir, kau berhasil membuat air mataku menetes. Entah air mata kebahagiaan karena dia benar nyata di hadapanku, atau justru air mata kebencian dari ego yang menguasaiku.
Aku benci dengan keadaan seperti ini. Aku benci dengan diriku yang tak pernah bisa jujur bahwa sebenarnya aku sangat merindukanmu. Aku hanya ragu, kenapa aku harus merindukan kehadiran sosok yang tak pernah menganggapku dan mengapa aku harus mengharapkan kehadiran orang yang telah mengabaikanku begitu saja.
Hadir yang menyamar itu adalah sebuah mimpi, jembatan tanpa tiang yang membuat mata senduku menatapnya. Dia tak banyak bicara dan lekas pergi begitu saja. Betapa bodohnya aku, tak mengenggamnya lebih erat agar aku tidak kehilangan untuk yang kedua kalinya. Tapi kubiarkan langkah itu tak berhenti, kulepaskan tanganku sampai pada ujung jarinya yang perlahan tak bisa kusentuh lagi.
Aku tahu, kehadiran ini bukan sepenuhnya kamu, hadir ini ada karena aku, karena perasaan yang kulibatkan dari dulu, yang sampai hari ini tak hanya sekali kau patahkan. Tapi, aku selalu punya cara untuk merekatkannya lagi, menyambung segala sudut yang berhasil kau putus dengan ego dan amarahmu.
Aku tidak peduli, hadir yang kuingin adalah kamu yang seutuhnya, kamu yang tak hanya menemuiku jika malam tiba, kamu yang bisa lebih lama duduk dan bercerita, kamu yang memeluk cemasku dengan percayamu, kamu yang merangkul raguku dengan yakinmu, dan hadir dengan benar-benar kamu yang memulai deritaku.
Kini, aku hanya ingin hadir itu tak hanya tertulis di lembar diary-ku atau sekadar terucap setiap kali aku menengadahkan tangan untuk berdoa, tapi aku ingin hadir itu ada, bersamaku dan selalu didekatku, meskipun aku tidak tau jarak yang sebenarnya terbentang. Mungkin saja jarak kita tak bisa diukur dengan logika, karena kamu sudah berada di keabadian-Nya, atau jarak nya terbentang sangat panjang dan beragam hingga tak mampu kau kenali rindu yang kusiapkan khusus untuk menuntunmu pulang. Dan bisa pula, jaraknya hanya selangkah, tapi kau memilih untuk tak saling menyapa.
Kau tahu? Ternyata aku hanya sedang bergelut dengan diriku sendiri, melawan ego dan kerinduan, hingga mendamba hadir untuk kusalahkan. Hadir yang menyamar ini bisa saja terjadi karena tidak ada sehari pun yang kulewatkan tanpa memikirkanmu. Entahlah, pertanda apa yang ingin Tuhan sematkan. Apapun itu, tanpa munafik, aku selalu mengaharapkan kita menatap matahari yang sama, meski di belahan bumi yang berbeda. Semoga doaku senantiasa menjaga.
Dari berbagai kalimat panjang yang kutulis untukmu, dari berserakannya pikiranku, dari riuh isi kepalaku, dan dari sesaknya hati dan perasaanku dalam mengharap sebuah kehadiran, hanya sebaris pertanyaan untukmu, “Apakah kau merindukanku seperti aku merindukanmu?”.